January 19, 2009

Telaah Diskursus “Konser Musik Bertajuk Pro-Perdamaian dan Pro-Kemanusiaan” Dipandang Dari Sudut Strategi dan Strategis Di Era Kontemporer

By: M Nizar

Abstract

Peace music concert is created by many of stakeholders, one of them is musician. As cultural, musician entertains people in the music concert by make a good arrangement of sounds. Then, there is moving area of musician, from cultural to structural. As structural, musician is not only pure entertaining, but also doing some social activities, such as peace music concert, then the profit of that useful for charity. Next, from cultural to structural, musician does postmodern strategist for postmodern war. Postmodern war isn’t conducted by state, plus includes a lot of values that aren’t used to in modern war.

Key Words: Konser Musik Perdamaian, Musisi, Postmodern Strategy, Postmodern Strategist

Pendahuluan

Negara, sebagai salah satu aktor dalam politik, memiliki tanggung jawab yang besar terhadap menjaga dan melindungi warga negaranya dari ancaman. Ancaman itu bisa berdampak pada sistem sosial yang berada di dalamnya. Perdamaian dalam suatu tatanan kemanusiaan merupakan nilai yang sangat diinginkan oleh warga negara. Namun, negara sebagai aktor yang sangat bertanggung jawab terhadap hal itu mengalami kesulitan untuk menjalankannya. Maka, terjadi sebuah “pergeseran” tanggung jawab, yaitu keamanan warga negara bukan hanya tanggung jawab negara semata, melainkan juga menjadi tanggung jawab warga negaranya.

Warga negara yang juga merupakan suatu civil society adalah sekumpulan dari beberapa kelompok manusia yang memiliki beberapa nilai dan kepentingan yang berbeda-beda. Pemusik atau artist merupakan salah satu kelompok kepentingan di dalam suatu negara. Pemusik memiliki peran dan fungsi sebagai penghibur dengan memainkan alat musik instrumental atau dengan bernyanyi. Kadang kala, para pemusik tidak hanya sekedar menghibur penonton dari atas panggung atau dari layar kaca, melainkan juga menjalankan tugasnya untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu sesuai dengan keinginan dan kepentingannya.

Glenn Fredly merupakan salah satunya. Beliau merupakan pemusik asal Indonesia yang telah berhasil melaksanakan konser musik perdamaian di Maluku.[1] Perlu diketahui bahwa Glenn tidak hanya menjalankan perannya sebagai pemusik, tetapi beliau juga menjalankan peran sebagai pembawa pesan perdamaian. Pesan perdamaian, yang dibawa oleh pemusik Glenn dkk., merupakan sebuah pembuktian akan kepedulian pemusik terhadap lingkungan sekitar. Namun, mengapa aktivitas sosial tersebut diangkat oleh penulis?

Penulis disini menganalisa pergeseran aktivitas pemusik di era kontemporer. Pemusik di era kontemporer tidak hanya menjalankan peran dan fungsinya sebagai penghibur dengan segala musik yang dihidangkannya, tetapi juga menjalankan peran dan fungsi yang sama sekali berbeda dengan kondisi kulturalnya sebagai pemusik. Lalu, penulis menempatkan pemusik yang bermain dalam suatu arena konser musik sebagai sekelompok masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu dengan menggunakan konsep strategi postmodern sebagai langkah strategis untuk mencapai kepentingannya tersebut. Seperti halnya teroris yang juga memiliki kepentingan yang harus terlaksana dengan menggunakan strategi postmodern sebagai langkah strategis dalam suatu postmodern war.[2]

Kelompok pemusik seperti Glenn dkk., menurut penulis, bahwa mereka merupakan sekelompok manusia yang bertujuan untuk membantu sekelompok manusia lainnya dengan menggunakan musik sebagai sarana dan alat yang notabene merupakan keahliannya. Lalu perumusan masalah yang akan diangkat penulis adalah “bagaimana strategi postmodern diaplikasikan dalam suatu konser musik yang bertajuk pro-perdamaian dan pro-kemanusiaan?”. Dalam mengupas perumusan masalah diatas, maka penulis berusaha terlebih dahulu untuk mengembangkan: “problematika musik dalam konteks kultural dan struktural”, “konser musik sebagai arena dan alat dalam menjalankan strategi postmodern”, dan “memahami pemusik sebagai strategist yang mengaplikasikan strategi postmodern”.

Penulis tidak akan menghidangkan banyak data-data, karena hampir semua data merupakan mediated reality yang hanya menggembirakan obyektifitas “belaka”. Lalu, penulis lebih suka mendiskursuskan musik dengan mengoposisikannya dengan otoritas negara yang sangat dilematis dalam mengupayakan perdamaian dan menjaga ketentraman warga negaranya sehingga kalangan pemusik melakukan tujuannya dalam mengupayakan perdamaian dan pro-kemanusiaan, serta mencoba untuk mengkaji strategi posmoderen yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat para ilmuwan “pinggiran” dari sebuah mainstream yang mengagumkan standarisasi rasionalitas ilmiah.

Problematika Musik: Cultural à Structural?

Musik bagi sebagian masyarakat merupakan budaya sekaligus hiburan yang menyenangkan. Tidak sedikit masyarakat rela untuk menonton konser musik walau kondisinya sedang hujan, panas, maupun hingga larut malam. Musik juga sudah menjadi gaya hidup masyarakat. Bahkan, sekaliber presidenpun sangat suka terhadap musik. Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga sering menghadiri konser musik, salah satunya beliau menghadiri konser musik perdamaian dengan tema Hug The World With Music di Jakarta.[3] Secara kultural, musik dipahami sebagai mana halnya diatas. Musik merupakan cerminan budaya tarik suara yang merupakan seni yang diucapkan atau disuarakan. Kandungan seni yang dimiliki tersebut mampu untuk menarik orang-orang untuk mendengarkannya. Karena kandungan musik yang kultural tersebut, muncullah beberapa ide struktural yang berusaha memanfaatkannya.

Secara struktural, musik tidak hanya dipandang sebagai mana asalnya diciptakan. Musik lebih jauh digunakan untuk menarik simpati atau masa terhadap berbagai masalah yang ada. Sehingga musik merupakan alat kepentingan bagi beberapa kalangan. Musik tidak lagi sekedar membahagiakan secara natural kepada masyarakat yang menikmatinya. Ada pergerakan diskursus yang coba memanfaatkan musik secara struktural. Diskursus musik seperti itu muncul karena otoritas yang mampu menciptakan “obyektifitas” akan musik. Benturan antar diskursus “musik” dengan otoritas juga pernah terjadi. Negara sebagai pemegang otoritas berusaha menempatkan klasifikasi musik yang boleh muncul di permukaan. Gerakan musik bawah tanah dan gerakan kritis para pemusik terhadap pemerintah akan mendapatkan perhatian khusus dari sang otoritas. Tidak jarang para pemusik selalu mengkritisi otoritas dengan nada-nada dan lirik-lirik yang pedas maupun halus. Terkadang juga kritikan itu mampu melewati lintas batas negara dengan menggunakan kecanggihan alat-alat moderen yang notabene dibanggakan oleh kaum “rasionalitas ilmiah”.

Penulis melihat bahwa musik memasuki ruang baru dalam kondisi yang struktural. Para pemusik sekarang dibawa oleh kondisi struktur rezim asing untuk memasuki ruang yang bukan koridornya. Koridor itu adalah menyampaikan pesan perdamaian melalui konser musik. Hasil penjualan dari konser musik tersebut digunakan untuk membantu manusia di belahan bumi lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Para pemusik tersebut berusaha mengangkat dirinya pada wilayah kemanusiaan secara struktural yang tidak hirau pada kondisi dunia. Langkah nyata para pemusik dilakukan dengan tidak menanggalkan identitas yang melekat pada dirinya.

Problematika terhadap diskursus musik sebagai kultural dan struktural menjadi kajian yang perlu untuk diangkat. Seperti halnya diskursus pengobatan moderen yang dilakukan oleh dokter. Michel Foucault berpendapat bahwa terjadi pergeseran diskursus terhadap memandang penyakit sebagai musuh umat manusia yang negatif dan membayakan kehidupan sehingga perlu untuk dijauhi, namun kini terdapat diskursus baru yang melihat penyakit sebagai obyek positif yang dikaji oleh ilmu positivis – serta penyakit tidak lagi dipandang sebagai “makhluk lain”, namun dipandang sebagai makhluk yang kasat mata dengan segala haknya di dalam tubuh manusia.[4]

Melalui pandangan Foucault diatas, maka diskursus tentang musik sebagai kultural juga telah bergeser kepada diskursus musik sebagai struktural. Pergeseran tersebut muncul karena terdapat hubungan yang dinamis antara diskursus dan kekuasaan. Telah dijelaskan di atas bahwa musik terlahir secara kultural sebagai budaya yang berfungsi sebagai penghibur dan sarana berkreasi terhadap nada-nada. Namun, musik secara struktural sudah memasukkan unsur-unsur lain berupa penyampai pesan perdamaian, memberikan bantuan kemanusiaan dari hasil pertunjukkan musik, atau bahkan sebagai wadah kritik kepada rezim yang berkuasa. Musik tidak lagi sekedar permainan nada-nada yang harmoni namun juga memainkan peranan ekonomi, politik, sosial, budaya, dll.

Di situlah letak problematikanya, ketika wilayah musik bergeser ke wilayah yang lain, sehingga tidak jarang menimbulkan benturan kepentingan antar struktural dan identitas. Misalnya, musik menuju politik hanya sebagai alat kampanye yang secara pragmatis digunakan para politisi untuk menutupi kelemahan kualitasnya sebagai calon eksekutif maupun legislatif – dengan menggunakan hiburan musik sebagai bius yang memabukkan rakyat dalam alunan nada-nada. Intinya bahwa nada-nada yang dilantunkan sudah memasuki ranah struktural.

Seperti Bryan Adams, beliau melakukan konser musik perdamaian di Georgia beberapa pekan lalu.[5] Lalu, bintang pop asal Inggris yaitu Paul McCartney juga melakukan konser musik perdamaian di Tel Aviv, Israel.[6] Yang lebih berani adalah Scorpion, grup band tersebut memastikan pihak penyelenggara bahwa mereka akan datang ke Jakarta dan Bali untuk memberikan pesan perdamaian melalui konsernya pasca peledakan bom di depan Kedubes Australia di Jakarta.[7] Terlihat jelas bahwa musik yang dibawakan oleh para musisi diatas tidak sekedar alunan musik yang harmonis, namun juga melantunkan nada-nada pesan bagi para warga atau bahkan negara yang sedang bertikai. Keberanian para musisi tersebut untuk memasuki wilayah yang berkonflik membuktikan bahwa ranah musik sudah beralih diskursus dari kultural menuju struktural.

Konser Musik: Postmodern Strategy?

Telah disinggung di bagian pendahuluan bahwa pemusik merupakan bagian dari civil society. Postmodern mendefinisikan civil society sebagai sektor ketiga (third sector) yang akan menjadi sektor strategis dalam membangun sebuah alternatif sosial dan keteraturan dunia.[8] Artinya bahwa pemusik merupakan bagian dari sektor ketiga dalam beberapa susunan sektor yang ada dalam suatu negara. Tentunya, sektor ketiga ini tidaklah memiliki otoritas besar jika dibandingkan dengan sektor pertama seperti negara. Tetapi dalam beberapa hal, sektor ketiga memiliki peran strategis. Sebut saja konser musik yang merupakan sebuah aktivitas dari para pemusik. Para pemusik yang bergabung dalam aktivitas tersebut menjalankan beberapa tujuan, tujuan yang paling “rasional” bagi para positivis adalah mencari keuntungan dari tiket pengunjung. Konser musik dengan alasan semacam itu merupakan sebuah tindakan semi struktural. Artinya bahwa masih ada sisi-sisi kultural yang melekat pada konser tersebut. Konser musik yang paling kultural adalah suatu konser musik yang murni menunjukkan keahliannya ke hadapan para pengunjung, tanpa adanya kondisi struktural semacam memperhatikan profitabilitas keuangan.

Namun diskursus semacam kultural tersebut dengan sangat skeptis bisa dilakukan oleh kebanyakan musisi. Terdapat pergeseran diskursus yang terjadi, konser musik tidak lagi murni menjalankan aktivitas kulturalnya. Telah disinggung diatas bahwa konser musik menjadi alat dan arena dalam menyampaikan pesan dan kepentingan terhadap sesuatu. Salah satunya adalah konser musik bertajuk pro-perdamaian dan pro-kemanusiaan yang akhir-akhir ini sering dilakukan oleh para pemusik papan atas sampai pemusik papan bawah.

Banyak konser musik maupun pentas musik menyajikan tema, seperti anti global warming, anti poverty, serta berbagai tema kemanusiaan yang lain. Penulis di sini beranggapan bahwa mereka (konser musik) sedang melaksanakan aktivitas irreguler war (perang yang tidak biasa) terhadap problematika kemanusiaan dengan memanfaatkan senjata musik. Perang ireguler berarti bahwa suatu perang yang tidak konvensional yang dilaksanakan oleh citizen dalam merespon setiap penetrasi fisik maupun non-fisik. Hemat kata, perang ireguler koheren dengan perang postmodern (postmodern war).

Postmodern war berusaha mendekonstruksi makna, misalnya dahulu, bunuh diri merupakan dosa besar bagi penganut ideologi dan agama tertentu, tetapi setelah makna bunuh diri dimasuki unsur perjuangan terhadap norma-norma yang seharusnya diperjuangkan, maka bunuh diri tidak lagi bersifat dosa melainkan perjuangan suci. Dahulu dalam conventional war, terdapat aspek-aspek kalkulasi geografi, pasukan, senjata, dll. Tetapi dalam postmodern war lebih memperhatikan makna, simbol, dan nilai, yang tidak memasukkan kategori struktural seperti kalkulasi, walaupun dimasukkan tidak akan menjadi tolak ukur yang utama.

Dekonstruksi, menurut Derrida, merupakan strategi teks yang berusaha untuk melawan konsep yang mapan dengan menegasikan dan mengoposisinya.[9] Dalam kaitannya dengan konser musik tersebut, bahwa pemikiran rasional dalam sebuah acara konser musik tidak selamanya mendominasi. Pemikiran rasionalitas semacam ingin mencari keuntungan tersebut telah bergeser ke arah diskursus yang baru mengenai nilai, makna, dan simbol. Pemusik sekarang ini lebih cenderung untuk melakukan hal-hal yang di luar rasionalitas ekonomi, seperti konser peduli yang bertemakan kemanusiaan semacam pertunjukkan yang digelar oleh Glenn Fredly di Maluku. Patut diakui bahwa tidak semua pemusik bertujuan non-rasional seperti Glenn.

Postmodern war tersebut menghasilkan postmodern strategy pula. Artinya bahwa perang yang tidak konvensional tersebut dihadapi dengan strategi postmodern. Sistem dalam postmodern war juga telah mengalami perubahan jika dibandingkan dengan sistem dalam modern war.[10] Cara berpikir modern war selalu terpaut oleh negara. Artinya bahwa negara memiliki otoritas mutlak dalam menentukan perang. Tetapi dalam postmodern war, setiap orang bisa melakukan perang, namun perang yang diartikan di sini merupakan iregular war. Lalu, irregular strategy juga dilakukan. Titik sentral irregular strategy yang ingin penulis tekankan bahwa penggunaan konser musik merupakan salah satu postmodern strategy yang sekaligus berguna sebagai alat dan arena dalam beramal dan membantu kepada sesama manusia di belahan bumi lainnya.

Konser musik bernilai sebagai postmodern strategy karena konser musik mampu untuk mengumpulkan masa, lalu setelah masa dikumpulkan maka sang musisi melakukan perang diskursus atau berusaha untuk berperang melawan ide-ide konflik yang ingin didengungkan pihak-pihak yang ingin melakukan konflik. Titik distingsinya adalah perang yang dilakukan tidak dilakukan oleh negara dan perang yang dilakukan adalah perang diskursus atau perang untuk mempengaruhi orang lain terhadap pentingnya perdamaian. Perang tersebut bernada postmodern karena merupakan kritik terhadap negara yang seharusnya lebih berkewajiban untuk menjaga perdamaian dan kemanusiaan.

Lalu, konser musik seakan-akan atau bahkan bersikap postmodern terhadap negara dengan memerangi apa yang seharusnya merupakan tanggung jawab resmi otoritas semacam negara. Selanjutnnya, ekses kedaulatan juga menjadi kritik pedas karena wilayah yang berkonflik selalu berada di dalam wilayah negara. Setelah itu, konser musik hadir dalam balutan postmodern strategy yang seakan-akan menjadi solusi akan problematika kemanusiaan, walaupun hal tersebut adalah bukan solusi strategi kemanusiaan yang final.

Musisi: Postmodern Strategist?

Penelope menegaskan bahwa seorang strategist bisa berprofesi apapun, dan strategist selalu berpikir konseptual untuk masa mendatang.[11] Tentunya, cara berpikir konseptual ala managers dan intuitives sungguh berbeda dengan strategist. Kehnici Ohmae, dikenal sebagai Mr. Strategy, memetakan cara berpikir strategis yang sungguh disting dari para managers dan intuitives.[12] Managers berpikir struktural, editing, rapi, baik, dan benar. Intuitives berpikir sesuatu hal yang segar dan baru. Sedangkan, strategist berpikir tentang mengeliminasi hal-hal yang tidak penting, tetapi bukan berarti bertindak efektif dan efisien seperti halnya para manager. Sisa dari eliminasi yang tidak terbuang tadi akan direstrukturasi lagi menurut kepentingan strategist, serta menyiapkan manuver lebih lanjut terhadap aksi kompetitor di lapangan.

Kelihatannya, cara berpikir strategist tersebut hampir sama dengan cara berpikir Derrida mengenai teks yang didekonstruksi lalu merekonstruksinya lagi, begitu seterusnya agar tercipta suatu teks yang lebih berkualitas di kemudian hari.[13] Serta, Ohmae menambahkan bahwa untuk lebih menyukseskan strategist di lapangan maka harus menambahkan beberapa hal, salah satu diantaranya adalah mengetahui critical issue-nya. Setelah mengetahui critical issue, maka seorang strategist harus mengalkulasi manuver lebih lanjut, atau mengonsep cara bertahan dan menang dalam suatu arena kompetisi. Dalam hal ini, penulis mencoba menganalisa pemusik atau musisi yang mencoba menjadi strategist dalam konser musik yang bertemakan perdamaian.

Model bertahan dan memenangkan kompetisi ala strategist, menurut Ohmae, mengandung beberapa hal, yaitu fokus pada keahlian yang dimiliki, meningkatkan keahlian di bidang lain, serta mengubah peraturan permainan. Pemusik (walaupun tidak semua), menurut penulis, menghadapi perang postmodern. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa perang postmodern bukan merupakan perang atas hasil dari otoritas resmi suatu negara, seperti halnya perang dunia maupun perang dingin. Pemusik sedang dalam berperang secara postmodern melawan benih-benih pertikaian antar kelompok masyarakat bahkan entitas negara. Keahlian utama pemusik adalah bermusik dan mengumpulkan massa dalam suatu ajang pertunjukkan musik.

Menurut penulis, pemusik fokus pada keahliannya (bermusik & mengumpulkan massa) untuk melawan musuh postmodern (nilai anti-perdamaian). Melalui keahliannya tersebut, pemusik dengan berani untuk menyerukan pesan-pesan perdamaian yang pro-kemanusiaan dan secara tidak langsung juga sedang berperang melawan diskursus peperangan berupa pola pemikiran yang menjatuhkan derajat rakyat. Artinya bahwa dengan keahlian bermusik maka diharapkan mampu untuk maju ke dalam medan pertempuran postmodern. Sebelum terjun dalam medan postmodern, tentu saja pemusik telah melakukan beberapa analisis atau riset mengenai penyebab peperangan dan perang seperti apa yang sedang dihadapi. Dengan kata lain, critical issues apa yang sedang dialami oleh sektor grass root?

Pemusik dengan secara tidak langsung mengetahui bahwa di dunia ini, terdapat pertikaian yang tentu saja berasal dari pola diskursus dan power. Ekses terhadap kedaulatan dapat saja menimbulkan gejolak sosial. Atas dasar tersebut, maka pemusik terjun untuk bertempur dan merebut perdamaian walaupun kemenangan yang diperoleh sulit dijelaskan secara empiris dan rasionalitas ilmiah. Artinya bahwa jika kita bandingkan dengan cara penciptaan perdamaian ala negara, maka sudah jelas bahwa cara-cara impresif negara lebih mudah ditangkap dan diterima oleh panca indera sehingga empirisme dan rasionalitas ilmiah bisa menggunakannya. Tetapi bagaimana dengan konflik yang masih berbekas di tingkatan pemikiran yang bersifat laten? Selanjutnya, Penulis menekankan bahwa pemusik berusaha untuk mempengaruhi masyarakat dan segenap stakeholder yang bertikai agar suasana damai tercipta. Indikator pengaruh untuk mencapai perdamaian yang dilakukan oleh pemusik tersebut memang sulit untuk diukur dengan metode ilmiah secara formal, sehingga penulis mengatakan bahwa pemusik menggunakan strategi postmodern.

Untuk mempertegas cara berpikir strategist yang dilakukan oleh pemusik tersebut, maka penulis kembali mengadopsi pemikiran Ohmae mengenai 3C. 3C tersebut adalah Costumer, Corporation, dan Competitor.[14] 3C juga disebut sebagai strategi segitiga (Triangle Strategy). Dalam prakteknya, pemusik mengorganisasi 3C untuk menciptakan strategi yang postmodern. Costumer para pemusik adalah masyarakat dan stakeholders; Corporation yang digunakan adalah organisasi internasional, sponsor perusahaan, dll; dan Competitor tentu saja para penggiat pro-perdamaian yang lain: PBB, aktivis internasional, dll. Tetapi langkah strategis dalam menghadapi competitor yang dibangun oleh para pemusik, mengadopsi Ohmae, adalah The Power Of An Image. Artinya bahwa para pemusik membangun postmodern image terhadap para conventional peace builder yang lain. Ada catatan lain bahwa kompetitor yang dihadapi oleh pemusik tidak sama dengan kompetitor yang dihadapi oleh para pebisnis. Kompetitor yang dihadapi oleh pemusik yang menyerukan pesan perdamaian tersebut lebih bersifat saling mendukung (partner). Selanjutnya, dengan mengolah triangle strategy tersebut maka pemusik bisa memaksimalkan tujuannya dalam menyampaikan pesan-pesan pro-perdamaian & pro-kemanusiaan yang menurut penulis bahwa para musisi tersebut juga melakukan perang postmodern dengan memerangi pola diskursus perang irregular.

Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis bahwa aksi konser musik pro-perdamaian dan pro-kemanusiaan tersebut merupakan kritikan tersendiri terhadap negara. Karena problematika sosial tersebut seharusnya bisa diselesaikan menurut otoritas resmi yang dimiliki oleh negara. Tetapi pemusik merasa skeptis oleh peran negara yang fluktuatif dalam menyelesaikan atau bahkan mencegah konflik, sehingga yang menjadi korban tentunya adalah masyarakat. Aksi strategis pemusik dengan mengadakan konser musik perdamaian tersebut memberikan kejelasan bahwa musisi juga bisa berperan penting dalam menjaga keteraturan dunia. Pemusik juga bisa berfungsi sebagai penyeimbang terhadap pola penyelesaian konflik. Artinya bahwa modern peace building diimbangi dengan postmodern peace building.

Kesimpulan

Tentu saja dalam menjawab perumusan masalah diatas yaitu “bagaimana strategi postmodern diaplikasikan dalam suatu konser musik yang bertajuk pro-perdamaian dan pro-kemanusiaan? Maka penulis berkesimpulan bahwa strategi postmodern digunakan dalam postmodern war. Musisi sebagai postmodern strategist menghadapi postmodern war. Postmodern war disini berupa peperangan yang tidak dilakukan oleh negara dan perangnya bersifat ireguler. Lalu perang ireguler yang dimaksud adalah perang yang saling menyebarkan pengaruh-pengaruh / pesan yang menyerukan perdamaian terhadap pesan yang menyerukan agar tidak berdamai, bentrokan tersebut menimbulkan perang ireguler. Selanjutnya, musisi melakukan perang tersebut dengan model perang diskursus atau perang nilai. Dimana musuhnya adalah benih pertikaian yang tentu saja bersifat laten yang dikemudian hari bisa juga secara eksplosif berbentuk manifes.



[1] Dikutip dari berita: Glenn Fredly Prakarsai Konser Musik Perdamaian Di Maluku, diakses dari www.kapanlagi.com, 15 Desember 2008.

[2] Baca lebih lengkap: H. Haines & M. Tetreault. 2004. Postmodern War and Historical Memory. Karya ini dipresentasikan di the annual meeting of the International Studies Association, Le Centre Sheraton Hotel, Montreal, Quebec, Canada. 10-10-2008, dari: http://www.allacademic.com/meta/p74600_index.html.

[3] Dikutip dari berita: Presiden SBY Hadiri Konser Musik Perdamaian: Hug The World With Music, diakses dari www.kapanlagi.com, 15 Desember 2008.

[4] Lihat lebih lengkap mengenai pergeseran diskursus pengobatan moderen dalam tulisan The Birth of the Clinic: An Archeology of Medical Perception karya Foucault sebagai arkeolog dalam buku Richard Harland. 2006. Superstrukturalisme: Pengantar Komprehensif kepada Semiotika, Strukturalisme, dan Poststrukturalisme. Bandung: JalaSutra. Hal: 143. & John Sturrock (ed.). 2004. Strukturalisme-Poststrukturalisme: Dari Levi Strauss Sampai Derrida. Surabaya: Jawa Pos Press. Hal: 170.

[5] Dikutip dari berita: Bryan Adams Gelar Konser Musik Perdamaian di Georgia, di: www.indoselebriti.com. Diakses: 24 Desember 2008.

[6] Dikutip dari berita: Paul McCartney Gelar Konser Perdamaian, di: www.inilah.com. Diakses: 24 Desember 2008.

[7] Dikutip dari berita: Scorpion Gelar Konser Perdamaian: Pasti Datang Ke Indonesia, di: www.detikhot.com. Diakses: 24 Desember 2008.

[8] Lihat sekumpulan pengertian Civil Society di: www.answer.com. Diakses: 15 Desember 2008.

[9] Lihat lebih lengkap buku Scott Burchill, dkk. 2001. Theories of International Relations. New York: PALGRAVE. Hal: 186-187.

[10] Lihat lebih rinci tulisan Chris H. Gray. 1997. The System of Postmodern War, dalam Postmodern War: the New Politics of Conflict. London: Routledge. Hal: 168-184.

[11] Dikutip dari: Do You Think You’re A Strategist? Di: http://blog.penelopetrunk.com, diakses: 24 Desember 2008.

[12] Lihat lebih lengkap: Kenichi Ohmae. 1982. Mind of Strategist: the Art of Japanese Business. New York: McGraw Hill Co.

[13] Lihat lebih lengkap: Muhammad Fayyadl. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKIS.

[14] Kehnici Ohmae (1982)… Opcit.


No comments: