January 19, 2009

Nuclear Strategy : “Is There A Nuclear Strategy?”

By: 070710567

Senjata nuklir merupakan senjata yang bersumber tenaga dari reaksi nuklir serta fusi nuklir dan mempunyai daya pemusnah massal yang luar biasa dibanding senjata lain. Hingga saat ini senjata nuklir telah digunakan hanya dua kali dalam pertempuran dunia yaitu pada masa Perang Dunia II oleh Sekutu Amerika Serikat untuk menundukkan Jepang dengan meledakkan pusat bisnis negara yang ada di Hiroshima dan Nagasaki. Pada masa itu daya ledak bom nuklir yg dijatuhkan di sebesar 20 kilo (ribuan) ton TNT sehingga saat itu hanya mampu untuk memusnahkan sebuah kota. Sedangkan bom nuklir sekarang ini sudaha berdaya ledak lebih dari 70 mega (jutaan) ton TNT yang berarti sanggup meniadakan sebuah peradaban di satu benua. Selain itu perkembangan teknologi juga memungkinkan proses penjatuhan nuklir lebih praktis melalui berbagai cara, seperti melalui peluru kendali, peluru kendali balistik, dan bahkan Peluru kendali balistik jarak benua. Tidak seperti dulu yang dilakukan secara manual melalui pesawat pengebom.

Walaupun dengan kemunculan senjata yang mempunyai daya penghancur praktis tidak terbatas seperti senjata nuklir. Bukan berarti senjata yang bersifat konvensional tidak terpakai, sehingga seluruh spesifikasi falsafah-falsafah ciptaan strategis pada masa pra perang nuklir juga tidak terpakai. Karena pada perang nuklir dimungkinkan timbulnya resiko kematian kolektif yang bersifat total diantara pihak yang bersengketa. Berbeda dengan strategi perang pada masa sebelumnya yang dibuat hanya untuk mengatasi kondisi penghancuran eskalasi saja, tanpa melibatkan aspek non-eskalasi. Justru dengan adanya Perang Nuklir membuat persepsi masing-masing pihak untuk tidak melakukan serangan awal (first strike) karena takut akan munculnya serangan balasan (counter strike) yang lebih krusial. Dengan begitu masing-masing pihak akan melakukan sebuah strategi serta taktis dalam melakukan sebuah tindakan agar hasil yang didapat lebih efektif dan efisien.

Pada sebuah strategi keamanan, senjata nuklir baru menimbulkan efek yang sangat substansial pada masa Perang Dingin. Pada masa ini, ke dua Blok yang saling bertikai (Amerika Serikat dan Uni Soviet) menggunakan senjata nuklir sebagai strategi pertahanan menghadapi kemungkinan serangan musuh.

Walaupun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang pada masa Perang Dunia II, sejarah memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada instrumen untuk memenangkan perang. Hal ini terjadi karena kedua Blok yang saling bertikai memiliki kemampuan nuklir yang relatif berimbang, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasa akan terkena dampak besar jika terjadi perang nuklir. Ketegangan ini pun juga berlangsung dalam temporal yang relatif lama dibandingkan dengan perang dunia sebelumnya.

Mengenai deterrence ini, Herman Kahn dalam bukunya ”On Thermonuclear War” membagi tiga kategori deterrence nuklir :

  1. Deterrence atas serangan langsung terhadap negara. Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence), nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nuklir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan. Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first strike) lawan. Mekanisme kedua adalah penolakan yang melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata defensif dan mengandalkan serangan terhadap objek-objek militer (counterforce).
  2. Menggunakan ancaman strategis untuk mengancam musuh agar tidak melakukan aksi provokatif dari serangan langsung. Deterrence tipe kedua ini, terlihat sebuah konsep pada perang dingin yang dikenal dengan “payung nuklir” (nuclear umbrella). Dalam konsep ini, suatu negara dapat saja mendapatkan perlindungan nuklir tanpa harus memilikinya. Hal ini terlihat dari bagaimana Amerika Serikat melindungi sekutunya dengan kapabilitas nuklir yang dimiliki. Sekalipun tidak ada kewajiban secara eksplisit untuk menggunakan senjata nuklir dalam membela sekutu yang diserang, kemungkinan untuk melakukannya tetap ada, khususnya dalam merespon serangan senjata pemusnah massal, sehingga konsep ini dianggap memiliki nilai deterrence terhadap lawan potensial.
  3. Deterrence bertahap terhadap aksi yang kurang provokatif. Hal ini merujuk pada aksi yang diancam karena penyerang potensial khawatir bahwa pihak yang diserang atau pihak lain akan melakukan tindakan terbatas baik itu secara militer maupun bukan, yang dapat membuat serangan menjadi tidak menguntungkan.

Strategi Nuklir Uni Soviet

Pada masa pemerintahan Joseph Stalin, Awalnya militer Uni Soviet masih menganggap bahwa kemenangan di dalam setiap peperangan hanya ditentukan oleh disiplin moral pasukan. Premis tersebut kemudian dirumuskan dan dibakukan sebagai unsur utama untuk memenangkan perang. Selain itu, Stalin juga sangat percaya pada kekuatan konvensional dan tidak percaya pada serangan pendadakan (surprise attack). Jadi Uni Soviet mengalami ketertinggalan dalam pengembangan teknologi nuklir di banding Amerika Serikat yang telah memonopoli senjata tersebut sejak pasca perang Dunia II pada tahun 1945 hingga 1949. Walaupun senjata nuklir pada perang dingin di dominasi oleh kedua kubu namun temporal penciptaan senjata nuklirnya berbeda.

Namun seiring makin berkembangnya kemampuan dan kekuatan nuklir Amerika Serikat, Uni Soviet mulai merasakan arti penting keberadaan senjata nuklir. Sejak pertengahan tahun 1950-an di Uni Soviet muncul perdebatan antara kelompok Tradisionalis dan Modernis mengenai penggunaan senjata nuklir. Di satu sisi hanya ingin meningkatkan senjata konvensional dan di lain sisi ingin memperbaharui teknologi nuklir saja. Perdebatan ini menyebabkan Uni Soviet bersikap moderat dengan tetap mempertahankan tingkat kepemilikan senjata konvensional dan secara bersamaan juga mengembangkan kemampuan nuklir.

Lalu pada masa pemerintahan Kruschev strategi nuklir makin diterima sebagai kebutuhan strategis oleh Uni Soviet dan pada tahun 1960 Kruschev dan Menteri Pertahanan, Malinovsky berhasil merinci tujuan penggunaan senjata nuklir, kapan digunakan dan bagaimana senjata tersebut digunakan. Doktrin nuklir tersebut intinya menyatakan bahwa senjata nuklir akan digunakan pada “serangan pendadakan di setiap perang lokal yang melibatkan Amerika Serikat atau perang antara kubu sosialis dan kapitalis yang ’pasti’ meningkat menjadi perang nuklir habis-habisan”. Isi doktrin ini sering juga disebut strategi opsi tunggal. Namun karena pada saat itu kekuatan nuklir Uni Soviet masih rendah doktrin tersebut hanya dipandang sebagai pernyataan penangkal terhadap doktrin perang terbatas AS.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Breznev-Kosygin tahun 1964 hingga 1970 strategi nuklir Uni Soviet tidak mengalami perubahan kecuali tidak mengikuti doktrin Krushev yang menyatakan bahwa “perang antara kubu sosialis dan kapitalis pasti akan meningkat menjadi perang nuklir total” melainkan menggantinya dengan “Uni Soviet akan menjawab tantangan Amerika Serikat pada setiap konflik, lokal dan global dengan senjata konvensional ataupun nuklir”. Di dalam perkembangan selanjutnya Uni Soviet makin menegaskan doktrin strategi nuklir mereka dengan merinci unsur-unsur untuk memenangkan perang yaitu dengan menyatakan bahwa kemenangan akan dicapai melalui serangan pre-emtif atau pendahuluan perang serta menekankan bahwa eksistensi sosial, ekonomi, politik dan militer Uni Soviet tetap dapat dipertahankan walaupun menerapkan doktrin tersebut. Selain itu Uni Soviet juga menetapkan rencana - rencana kemenangannya melalui beberapa tindakan yang akan ditempuhnya diantaranya pendudukan atas wilayah Eropa Barat serta memegang kendali penuh atas pengembangan sosialisme ke seluruh dunia. Uni Soviet juga menyatakan sikap tegas untuk melanjutkan perang hingga musuh tidak berdaya dan tetap bertahan walaupun mengalami kehancuran total.

Uni Soviet menganggap bahwa wilayah Eropa Barat memiliki nilai yang sangat strategis terkait dengan hubungannya yang sangat kental dengan Amerika Serikat. Sehingga bila Uni Soviet dapat menguasainya maka tali merah penghubung di antara mereka akan putus dan ancaman serta kemungkinan buruk dapat di reduksi karena kendali nuklir Amerika Serikat dominannya berada pada wilayah di daratan eropa tersebut. Nilai strategis atas Eropa Barat ini menyebabkan Uni Soviet mengambil kebijakan differential détente yaitu menjalankan strategi pengakhiran ketegangan (détente) terhadap Eropa Barat dan anti-détente terhadap Amerika Serikat. Diskriminasi ini berfunsi agar Uni soviet dapat membangun suatu keadaan netral bagi Eropa Barat. Sedangkan dalam strategi implementasi senjata, Uni Soviet lebih memilih sistem pertahanan daratan melalui peluru kendali landas darat yang memiliki kecepatan serta akurasi yang lebih unggul di banding senjata atau sistem pertahanan lain baik di udara maupun di maritim

Strategi Nuklir Amerika Serikat

Untuk menghadapi Uni Soviet yang telah mampu menguasai teknologi nuklir, Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1950-an mengembangkan strategi massive retaliation. Strategi ini menyatakan bahwa kekuatan nuklir strategis dan taktis Amerika Serikat digunakan tidak saja untuk menangkal serangan nuklir terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya melainkan juga untuk menangkal setiap serangan negara-negara komunis terhadap negara lain di seluruh dunia. Untuk mendukung strategi tersebut Amerika Serikat mengembangkan suatu senjata militer yang taktis lalu menempatkannya di Eropa Barat. Namun, strategi ini banyak mengandung kelemahan yaitu, Amerika Serikat diragukan untuk menggunakan senjata nuklir, pandangan ini didasari pada fakta bahwa pada perang konvensional di Korea, Amerika Serikat tidak menggunakan senjata nuklir. Selain itu Serangan nuklir Amerika Serikat terhadap Uni Soviet mengandalkan pangkalan udara di Eropa Barat, padahal kekuatan konvensional di Eropa Barat lebih kecil dibandingkan kekuatan konvensional Uni Soviet dengan demikian Amerika Serikat belum memiliki sarana memadai untuk membuat Uni Soviet bertekuk lutut.

Untuk mengatasi kelemahan tersebut Amerika Serikat lalu mengembangkan pemikiran Perang Nuklir Terbatas untuk melengkapi strategi massive retaliation. Pemikiran ini mengakui bahwa tidak semua agresi terhadap Barat dapat ditangkal dengan melakukan serangan langsung ke Uni Soviet. Dengan demikian Amerika Serikat memperluas keberedaan senjata-senjata nuklir taktisnya ke negara-negara sekutunya yang lain dan tempat-tempat yang berdekatan dengan Uni Soviet selain Eropa Barat. Tetapi tetap saja strategi Perang Nuklir Terbatas ini dipandang memiliki kelemahan karena dapat mendorong Uni Soviet menyerang Amerika Serikat karena telah mengetahui kelemahan strategi massive retaliation sehingga menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik lokal dan perang nuklir terbatas menjadi makin besar. Dengan demikian yang terjadi adalah sebuah paradoks bahwa menghindari perang nuklir malah memicu perang nuklir global.

Selanjutnya, pada tahun 1960-an Amerika Serikat mengembangkan strategi flexible response. Strategi intinya terletak pada keluwesan Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman keamanan dengan cara meningkatkan kemampuan menghadapi semua bentuk perang, baik besar-besaran maupun terbatas, nuklir ataupun konvensional. Strategi ini menekankan pada prinsip counter force dengan alasan untuk mengurangi jumlah korban penduduk sipil jika terjadi perang nuklir. Dengan menjalankan prinsip counter force maka terbuka kesempatan bagi Amerika Serikat untuk melakukan serangan pre-emtif. Namun strategi ini juga memiliki kelemahan yaitu counter force dapat berjalan dengan efektif apabila persenjataan strategis Amerika Serikat digunakan sebelum senjata - senjata lawan digunakan. Artinya counter force dapat merangsang Amerika Serikat untuk melakukan first strike menjadi lebih besar. Ini menyebabkan ancaman perang nuklir menjadi lebih besar karena Uni Soviet akan melihat implikasi tersebut dan melakukan upaya untuk tidak diserang terlebih dahulu. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Uni Soviet mengembangkan ICBM (Inter-continental Ballistic Missile) dan SLBM (Sea Launch Ballistic Missile) pada pertengahan 1960-an. Kondisi ini dapat mengancam terjadinya perlombaan senjata yang tidak terkendali.

Kelemahan tersebut mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan strategi nuklir yang baru. Strategi tersebut disebut sebagai MAD (Mutual Assured Destruction). Strategi ini menekankan pada pemikiran “siapapun yang memulai serangan pertama tidak akan memenangkan perang atau menjadi pihak yang kalah karena kekuatan pukul (second strike) kedua belah pihak akan melakukan pembalasan yang dahsyat”. Pemikiran ini menyebabkan Amerika Serikat berusaha untuk menyusun strategi agar sejumlah persenjataan strategisnya tidak rawan dari serangan-dadakan lawan. Jawaban yang diberikan Amerika Serikat atas kebutuhan tersebut adalah dengan menghentikan pengembangan jumlah ICBM yang dimilikinya sebanyak 1054 namun memperbesar jumlah SLBM-nya sebagai sistem yang tidak rawan serangan-dadakan. Berbeda dengan flexible response yang menggunakan prinsip counterforce, MAD menggunakan prinsip countervalue.

Untuk menjaga agar efek penangkalan dari strategi ini, yaitu kehancuran yang meyakinkan (assured destruction), berjalan efektif Amerika Serikat berusaha memperkuat hubungan keamanannya dengan Uni Soviet dengan melakukan pengawasan senjata. Hal ini dibutuhkan karena jika jumlah senjata telah melebihi dari jumlah yang diperlukan maka nilai strategis dari strategi ini akan hilang. Salah satu pengaruh positif dari MAD adalah dicapainya kesepakatan mengenai ABM (Anti-Ballistic Missile Treaty) dan SALT I (Strategic Arms Limited Talks I) pada tahun 1972.

Namun, perkembangan persenjataan Uni Soviet di tahun 1970-an yang terus meningkat kembali melahirkan kritik terhadap strategi nuklir Amerika Serikat. Strategi MAD dirasa tidak lagi mampu untuk menghadapi persenjataan Uni Soviet yang kemampuannya telah meningkat. Amerika Serikat juga dipandang tidak lagi cukup hanya mengandalkan serangan pada kota-kota dan pusat-pusat industri Uni Soviet. Pemikiran ini berusaha mendorong Amerika Serikat untuk juga menjalankan prinsip counterforce di dalam strategi nuklirnya. Selain itu, Amerika Serikat dipandang perlu untuk meningkatkan kemampuan persenjataannya dan menentukan seperangkat sasaran-sasaran yang akan dihancurkan jika terjadi perang. Kritik-kritik ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai Presidential Directive 59 (PD 59) pada tahun 1980. PD 59 memberikan pedoman-pedoman mengenai apa yang hendaknya dilakukan Amerika Serikat dalam menghadapi konflik dengan Uni Soviet. PD 59 memuat puluhan ribu daftar sasaran yang akan dihancurkan Amerika Serikat jika terjadi perang. Namun, walaupun memuat puluhan ribu daftar target, target-taget tersebut dapat dikategorisasikan menjadi empat daerah berbeda yang komprehensif, yaitu kekuatan nuklir, senjata konvensional, pimpinan-pimpinan militer dan politik, serta Sasaran-sasaran ekonomi atau industri Uni Soviet.

Strategi Nuklir Pasca Perang Dingin

Setelah Uni Soviet runtuh dan terpecah menjadi beberapa bagian otomatis seluruh kompenen senjatanya baik konvensional maupun nuklir tidak dapat di pertahankan lagi sehingga perlu direduksi secara perlahan intensitasnya. Hal itu juga menjadikan Amerika Serikat memonopoli kembali kekuatan nuklir yang paling fundamental di antara yang lain. Serta mempengaruhi banyak kebijakan dan mengubah strategi nuklirnya. Pada tahun 1991, George Bush mengurangi secara signifikan jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama yang terdapat di Eropa Barat. Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa kemungkinan Perang Dunia Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di Uni Soviet melakukan hal yang serupa. Tetapi pada tahun 1994 dilakukan peninjauan ulang atas sifat, peran dan jumlah senjata-senjata nuklir daripada kebijakan Amerika Serikat yang disebabkan oleh keraguan atas krisis keamanan dan ketidak percayaanya terhadap oposisinya dahulu yang disertai oleh penunjukan sikap siaga dan wait and see. Hal tersebut juga mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan pengaturan pengontrolan senjata nuklir. Upaya Amerika Serikat tersebut berisikan kesepakatan antara Amerika Serikat dengan Rusia untuk mengurangi jumlah senjata nuklirnya dari 12.000 hulu ledak nuklir pada tahun 1990 menjadi antara 3000 dan 3500 pada tahun 2003. Namun, pada tahun 1997 masa pengurangannya diperpanjang hingga tahun 2007 karena persoalan politik dan teknis. Selain itu, Amerika Serikat juga bekerjasama dengan negara-negara eks-Uni Soviet lainnya untuk mencegah penyebaran senjata-senjata nuklir akibat “kebocoran nuklir”. Walaupun, Amerika Serikat telah melakukan sejumlah kebijakan terkait persenjataan nuklirnya, tetapi sebenarnya tindakan atas strategi nuklir Amerika Serikat tersebut dalam kondisi yang tidak menentu. Karena dalam kubu internal pun terdapat berbagai macam perdebatan Pertama, adanya kebutuhan untuk berjaga-jaga atas kemungkinan terjadinya pergeseran ideologi di Rusia maupun munculnya nasionalisme radikal Rusia yang berpotensi mengancam Amerika Serikat. Kedua, yaitu adanya kebutuhan untuk menjaga superioritas atas Cina, menjaga kondisi deterrence dengan Cina dan mungkin mengalahkan Cina, semisal dalam kasus Taiwan. Ketiga, nuklir dianggap dapat membantu dalam menangani musuh Amerika Serikat, yang sering dianggap sebagai rogue states seperti Libya, Irak, Iran, Suriah, dan Korea Utara yang dianggap memiliki ambisi memiliki nuklir. Uni Soviet telah runtuh sehingga tidak lagi relevan bagi strategi keamanan Amerika Serikat saat ini. Namun, di sisi yang lain Amerika Serikat masih enggan untuk meninggalkan pendekatan-pendekatan dan konsep-konsep keamanan pada masa Perang Dingin.

Berbagai macam kebijakan strategi atas nuklir muncul karena banyak alasan yang mendukung mengapa negara - negara ingin untuk membuat serta mengembangkan senjata nuklir baik dengan keabsahan atau tidak dari segi yuridis. banyak ahli berpendapat bahwa Negara akan berusaha untuk mengembangkan nuklir jika mereka tidak memiliki alternatif lain dalam menghadapi sebuah ancaman militer yang sangat serius bagi keamanan mereka. Jika hal tersebut tidak terjadi maka Negara-negara tersebut merasa lebih baik untuk tidak mengembangkan nuklir sama sekali. Argumen tersebut menempatkan nuklir sebagai sebuah instrumen keamanan internasional namun isu nuklir tidak hanya mengenai permasalahan militer tetapi juga mengenai konsensus politik dari berbagai kelompok kepentingan di dalam negerinya sendiri dan juga menjadi sebuah simbol modernitas dan identitas di dunia internasional.

Secara mendalam, Scott D. Sagan dalam artikelnya memaparkan ada 3 alasan atau pendekatan yang dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, the security model yang berfokus pada upaya Negara untuk meningkatan keamanan nasionalnya dari ancaman pihak asing terutama dari ancaman nuklir. Dasar dari pendekatan ini adalah pemikiran realis yang menyatakan bahwa setiap Negara harus mampu menjaga kedaulatannya serta keamanan nasionalnya sendiri. Hal ini dikarenakan oleh ancaman terhadap daya rusak yang dapat ditimbulkan oleh senjata nuklir mendorong setiap Negara untuk meningkatkan kemampuannya guna mengimbangi Negara lain yang mengembangkan nuklir dengan menimbulkan deterrence. Pendekatan ini menghasilkan 2 kebijakan yaitu Negara kuat dapat memaksakan kepentingannya untuk memperoleh kepentingan nasionalnya dengan mengmbangkan nuklir. Penggunaan nuklir terkait dengan kebijakan Negara unutk mempergunakan kebijakan ynag paling riskan namun paling potensial untuk mencapai kepentinganya. Di sisi lain, Negara-negara kecil menjadi pihak yang lemah karena pilihan mereka terbatas pada keikutsertaan dalam bentuk aliansi negara-negara yang memiliki nuklir. Bagi beberapa Negara-negara, tergabungnya dengan suatu aliansi akan menjaganya dari kehancuran. Hal ini mengacu pada kondisi yang deterrence. Kedua, the domestic politics model yang menekankan pada pemanfaatan nuklir sebgai alat politik serta tarik-menarik kepentingan antar elit politik di dalam negeri. Ketika suatu kelompok elit mampu mempengaruhi arah kebijakan suatu Negara unutk menggunakan nuiklirnya demi kepentingan kelompok tersebut. Dalam hal ini setiap aktor selalu aktif dalam memaksakan kepentinganya sehingga seringkali terjadi benturan antar kepentingan. Ketiga, the norms model berfokus pada penggunakaan nuklir sebagai sebuah simbol modernitas serta identitas suatu bangsa di dunia internasional. Pengambilan keputusan mengenai penggunaan nuklir mencerminkan perilaku Negara di dunia internasional karena lewat proses pengambilan keputusan ini membentuk identitas dan simbolisasi tertentu bagi Negara tersebut. Dalam hal ini arah kebijakan suatu Negara tidak ditentukan oleh pemimpin bangsa atau elit politik tapi oleh norma yang berlaku.

Selain itu sangat sulit bagi suatu negara bila telah membangun suatu senjata dengan biaya serta fasilitas yang sangat tinggi dan kemudian diharuskan untuk melucutinya melalui ratifikasi NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty). Merupakan suatu kerugian apabila menghilangkan kenyamanan atau kelebihan yang sudah didapatkan oleh negara arsenal nuklir. Hal itulah yang membuat banyak negara tetap bersikeras dalam mempertahankan nuklir terkait fungsinya yang fundamental dalam mengatasi krisis keamanan serta dapat mereduksi tekanan oposisinya. Bila telah membangun akan membutuhkan durasi serta usaha yang relatif tinggi untuk meredamnya, apalagi menghilangkannya secara totalitas.

Setidaknya ada enam kegunaan dari senjata nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat menurut Davis dan Gray, yaitu:

  1. dapat mencegah, menghukum, dan jika diperlukan, untuk mengalahkan musuh regional yang mengancam atau menggunakan senjata pemusnah massal untuk menyerang Amerika Serikat
  2. memperbesar efek deterrent dan mungkin compellent bagi sekutu yang terancam dengan senjata pemusnah massal
  3. untuk mengimbangi kemungkinan gagalnya pasukan konvensional Amerika Serikat atau sekutunya
  4. mencegah munculnya pesaing dalam masa damai, krisis, maupun perang
  5. untuk melakukan misi peperangan yang tidak dapat dilakukan dengan senjata konvensional
  6. merupakan senjata yang mengukuhkan kedudukan Amerika Serikat sebagai superpower dan sebagai penjamin terciptanya general deterrence

Atas dasar beberapa kelebihan itulah yang menyebabkan dunia internasional sangat agresif terhadap isu nuklir karena dengan begitu negara dengan kapabilitas rendah pun dapat menjadi sebesar negara superpower. Sehingga walaupun Perang Dingin telah berakhir, ketenaran nuklir masih dapat menciptakan ketegangan secara global hingga sekarang.


No comments: