January 19, 2009

Is There A Nuclear Strategy ?

By: 070610138

ABSTRAK

The term nuclear strategy refers to a military strategy employed by nuclear weapons states, states that posses nuclear weapons. Nuclear strategy details how many nuclear weapons to deploy, what delivery systems to put them on, and what kind of policies to adopt regarding the circumstances in which they would be used. Nuclear weapons are weapons of mass destruction and cannot be made to serve rational ends. Nevertheless, nuclear weapons states claim that nuclear weapons are able to deter nuclear or conventional attack by threatening disastrous retaliation. This policy is called nuclear deterrence. Throughout human history war has served an end. The famous historian and philosopher Carl von Clausewitz coined the phrase that "war is politics with other means”. With the advent of nuclear weapons, however, war and strategizing for military conflict changed its character.

Key words : strategy, nuclear weapons, nuclear strategy, detterence, cold war

NUKLIR SEBAGAI STRATEGI PENANGKALAN

Walaupun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang, sejarah memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada instrumen untuk memenangkan perang. Hal ini kemungkinan terjadi karena kedua Blok yang saling bertikai, pada masa Perang Dingin, memiliki kemampuan nuklir yang relatif berimbang, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasa akan terkena dampak besar jika terjadi perang nuklir. Secara umum, deterrence dapat diartikan sebagai ancaman yang berpotensi menimbulkan lebih banyak kerugian dibandingkan keuntungan apabila suatu pihak melakukan serangan, sehingga membuatnya memutuskan untuk tidak melakukan serangan tersebut.

Mengenai deterrence ini, Herman Kahn dalam bukunya On Thermonuclear War membagi tiga kategori deterrence nuklir.

  1. Tipe I : Deterrence atas serangan langsung terhadap negara.
  2. Tipe II : menggunakan ancaman strategis untuk mengancam (deter) musuh agar tidak melakukan aksi provokatif daripada serangan langsung. Deterrence tipe kedua ini, terlihat sebuah konsep pada perang dingin yang dikenal dengan “payung nuklir” (nuclear umbrella). Dalam konsep ini, suatu negara dapat saja mendapatkan perlindungan nuklir tanpa harus memilikinya. Hal ini terlihat dari bagaimana Amerika Serikat melindungi sekutunya dengan kapabilitas nuklir yang dimiliki. Sekalipun tidak ada kewajiban secara eksplisit untuk menggunakan senjata nuklir dalam membela sekutu yang diserang, kemungkinan untuk melakukannya tetap ada – khususnya dalam merespon serangan senjata pemusnah massal – sehingga konsep ini dianggap memiliki nilai deterrence terhadap lawan potensial.
  3. Tipe III : Deterrence bertahap terhadap aksi yang kurang provokatif. Hal ini merujuk pada aksi yang diancam karena penyerang potensial khawatir bahwa pihak yang diserang atau pihak lain akan melakukan tindakan terbatas baik itu secara militer maupun bukan, yang dapat membuat serangan menjadi tidak menguntungkan.

Dalam menjalankan strategi penangkalan nuklir ada beberapa asumsi pokok yang harus dimiliki:

  1. Watak defensif, interaksi strategis baru berlangsung pada saat atau setelah serangan pertama dari pihak lawan.
  2. Serangan balasan dilakukan dengan mengandalkan persenjataan yang dapat diselamatkan dari serangan pertama lawan.
  3. Rasionalitas dan mirror-image, pihak lawan berpikir dengan logika yang sama seperti yang dilakukannya.

Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata defensif dan mengandalkan serangan terhadap obyek-obyek militer (counterforce).

STRATEGI NUKLIR PADA MASA PERANG DINGIN

Sebagaimana telah disinggung di atas, pada masa perang dingin penggunaan strategi nuklir didominasi oleh Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Pada awalnya monopoli senjata nuklir berada di tangan Amerika Serikat, yaitu sejak tahun 1945 hingga 1949. Uni Soviet baru menguasai teknologi nuklir pada tahun 1949, namun belum memiliki minat untuk mengembangkan persenjataan nuklir. Hal ini disebabkan oleh dominasi pemikiran Joseph Stalin di dalam perumusan strategi militer Uni Soviet. Stalin merupakan penafsir ortodoks pemikiran Marx dan Engels. Kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa kemenangan di dalam setiap pertempuran hanya ditentukan oleh disiplin moral pasukan. Oleh Stalin, premis tersebut kemudian dirumuskan dan dibakukan sebagai unsur utama untuk memenangkan perang. Selain itu, Stalin juga sangat percaya pada kekuatan konvensional dan tidak percaya pada serangan-pendadakan (surprise attack).

Namun seiring makin berkembangnya kemampuan dan kekuatan nuklir Amerika Serikat, Uni Soviet mulai merasakan arti penting keberadaan senjata nuklir. Sejak pertengahan tahun 1950-an di Uni Soviet muncul perdebatan antara kelompok Tradisionalis dan Modernis mengenai penggunaan senjata nuklir. Perdebatan ini menyebabkan Uni Soviet mengambil jalan tengah dengan tetap mempertahankan tingkat kepemilikan senjata konvensional dan secara bersamaan juga mengembangkan kemampuan nuklir. Pada masa pemerintahan Kruschev strategi nuklir makin diterima sebagai kebutuhan strategis oleh Uni Soviet dan pada tahun 1960 Kruschev dan Menteri Pertahanan, Malinovsky berhasil merinci tujuan penggunaan senjata nuklir, kapan digunakan dan bagaimana senjata tersebut digunakan.

Doktrin nuklir tersebut intinya menyatakan bahwa senjata nuklir akan digunakan pada serangan pendadakan di setiap perang lokal yang melibatkan Amerika Serikat atau perang antara kubu sosialis dan kapitalis yang pasti meningkat menjadi perang nuklir habis-habisan. Isi doktrin ini sering juga disebut strategi opsi tunggal. Namun karena pada saat itu kekuatan nuklir Uni Soviet masih rendah doktrin tersebut hanya dipandang sebagai pernyataan penangkal terhadap doktrin perang terbatas AS. Selanjutnya pada masa pemerintahan Breznev-Kosygin tahun 1964 hingga 1970 strategi nuklir Uni Soviet tidak mengalami perubahan kecuali tidak mengikuti doktrin Krushev yang menyatakan bahwa perang antara kubu sosialis dan kapitalis pasti akan meningkat menjadi perang nuklir total melainkan menggantinya dengan Uni Soviet akan menjawab tantangan Amerika Serikat pada setiap konflik, lokal & global dengan senjata konvensional ataupun nuklir.

Di dalam perkembangan selanjutnya Uni Soviet makin menegaskan doktrin strategi nuklir mereka dengan merinci unsur-unsur untuk memenangkan perang yaitu:

1. Penangkalan yang lebih berdaya guna adalah persiapan perang.

2. Kemenangan akan dicapai melalui serangan pre-emtif, dan;

3. Bahwa eksistensi sosial, ekonomi, politik dan militer Uni Soviet dapat dipertahankan.

Selain itu, Uni Soviet juga diyakini telah mampu menyusun ukuran kemenangan di dalam perang nuklir. Ukuran-ukuran tersebut adalah:

  1. Meskipun tidak terhindar dari kehancuran, Uni Soviet tetap dapat bertahan.
  2. Melanjutkan perang sampai musuh tidak berdaya.
  3. Mampu menduduki Eropa.
  4. Memegang kendali untuk mengembangkan sosialisme ke seluruh dunia.

Uni Soviet memandang Eropa memiliki nilai yang sangat strategis. Hal ini disebabkan oleh:

  1. Pengalaman historis & geopolitik dimana Uni Soviet selalu mendapatkan ancaman dari barat.
  2. Eropa Barat merupakan sekutu Amerika Serikat sehingga Uni Soviet beranggapan akan mendapatkan keuntungan jika mampu memecah kerjasama AS-Eropa.

Nilai strategis atas Eropa ini menyebabkan Uni Soviet mengambil kebijakan differential yaitu menjalankan strategi pengakhiran ketegangan terhadap Eropa dan anti terhadap Amerika Serikat.

Dalam mengembangkan strategi nuklir Uni Soviet mengandalkan persenjataannya pada peluru-peluru kendali landas darat karena:

  1. Ketepatan dan kecepatannya melebihi rudal-rudal jelajah, pesawat pembom dan rudal-rudal yang dipasang pada kapal selam.
  2. Tidak perlu menghadapi sistem pertahanan udara dan sistem anti-kapal selam (anti-submarine warfare, ASW).

STRATEGI NUKLIR AMERIKA SERIKAT

Untuk menghadapi Uni Soviet yang telah mampu menguasai teknologi nuklir, Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1950-an mengembangkan strategi massive retaliation. Strategi ini menyatakan bahwa kekuatan nuklir strategis dan taktis Amerika Serikat digunakan tidak saja untuk menangkal serangan nuklir terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya melainkan juga untuk menangkal setiap serangan negara-negara komunis terhadap negara lain di seluruh dunia. Untuk mendukung strategi tersebut Amerika Serikat mengembangkan bom hidrogen, senjata nuklir taktis dan pesawat pembom jarak jauh (B-52). Pada tahun 1953 senjata-senjata nuklir taktis tersebut mulai ditempatkan di Eropa dan pada tahun 1955 pesawat pembom strategis B-52 mulai beroperasi.

Namun, strategi ini banyak mengandung kelemamahan yaitu, pertama, Amerika Serikat diragukan utk menggunakan senjata nuklir. Pandangan ini didasari pada fakta bahwa di perang konvensional sebelumnya (Perang Korea) Amerika Serikat tidak menggunakan senjata nuklir. Kedua, Amerika Serikat tidak mampu menjamin dirinya terhindar dari serangan nuklir US. Padahal efek penagkalan efektif jika Amerika Serikat tidak berada dalam posisi rawan terhadap serangan nuklir Uni Soviet. Ketiga, Serangan nuklir Amerika Serikat terhadap Uni Soviet mengandalkan pangkalan udara di Inggris & Eropa Barat padahal kekuatan konvensional Barat di Eropa lebih kecil dibandingkan kekuatan konvensional Uni Soviet dengan demikian Amerika Serikat belum memiliki sarana memadai untuk membuat Uni Soviet bertekuk lutut. Untuk mengatasi kelemahan tersebut Amerika Serikat lalu mengembangkan pemikiran Perang Nuklir Terbatas untuk melengkapi strategi massive retaliation. Pemikiran ini mengakui bahwa tidak semua agresi terhadap Barat dapat ditangkal dengan melakukan serangan langsung ke Uni Soviet. Dengan demikian Amerika Serikat memperluas keberedaan senjata-senjata nuklir taktisnya ke negara-negara sekutunya yang lain dan tempat-tempat lain yang berdekatan dengan Uni Soviet.

Sekali lagi strategi ini dpandang memiliki kelemahan karena dapat mendorong Uni Soviet menyerang Amerika Serikat karena telah mengetahui kelemahan strategi massive retaliation sehingga menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik lokal dan perang nuklir terbatas menjadi makin besar. Dengan demikian yang terjadi adalah sebuah paradoks: menghindari perang nuklir malah memicu perang nuklir global.

Pada tahun 1960-an Amerika Serikat mengembangkan strategi flexible response. Strategi intinya terletak pada keluwesan Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman keamanan dengan cara meningkatkan kemampuan menghadapi semua bentuk perang, baik besar-besaran maupun terbatas, nuklir ataupun konvensional. Strategi ini menekankan pada prinsip counterforce dengan alasan untuk mengurangi jumlah korban penduduk sipil jika terjadi perang nuklir. Dengan menjalankan prinsip counterforce maka terbuka kesempatan bagi Amerika Serikat untuk melakukan serangan pre-emtif.

Strategi ini juga memiliki kelemahan yaitu counterforce efektif apabila persenjataan strategis Amerika Serikat digunakan sebelum senjata-senjata lawan digunakan. Artinya counterforce dapat merangsang Amerika Serikat untuk melakukan first strike menjadi lebih besar. Ini menyebabkan ancaman perang nuklir menjadi lebih besar karena Uni Soviet akan melihat implikasi tersebut dan melakukan upaya untuk tidak diserang terlebih dahulu. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Uni Soviet mengembangkan ICBM (Inter-continental Ballistic Missile) dan SLBM (Sea Launch Ballistic Missile) pada pertengahan 1960-an. Kondisi ini dapat mengancam terjadinya perlombaan senjata yang tidak terkendali.

Kelemahan tersebut mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan strategi nuklir yang baru. Strategi tersebut disebut sebagai MAD (Mutual Assured Destruction). Strategi ini menekankan pada pemikiran siapapun yang memulai serangan pertama tidak akan memenangkan perang atau menjadi pihak yang kalah karena kekuatan pukul (second strike) kedua belah pihak akan melakukan pembalasan yang dahsyat. Pemikiran ini menyebabkan Amerika Serikat berusaha untuk menyusun strategi agar sejumlah persenjataan strategisnya tidak rawan dari serangan-dadakan lawan. Jawaban yang diberikan Amerika Serikat atas kebutuhan tersebut adalah dengan menghentikan pengembangan jumlah ICBM yang dimilikinya sebanyak 1054 namun memperbesar jumlah SLBM-nya sebagai sistem yang tidak rawan serangan-dadakan. Berbeda dengan flexible response yang menggunakan prinsip counterforce, MAD menggunakan prinsip countervalue.

Untuk menjaga agar efek penangkalan dari strategi ini, yaitu kehancuran yang meyakinkan (assured destruction), berjalan efektif Amerika Serikat berusaha memperkuat hubungan keamanannya dengan Uni Soviet dengan melakukan pengawasan senjata. Hal ini dibutuhkan karena jika jumlah senjata telah melebihi dari jumlah yang diperlukan maka nilai strategis dari strategi ini akan hilang. Salah satu pengaruh positif dari MAD adalah dicapainya kesepakatan mengenai ABM (Anti-Ballistic Missile Treaty) dan SALT I (Strategic Arms Limited Talks I) pada tahun 1972.

Namun, perkembangan persenjataan Uni Soviet di tahun 1970-an yang terus meningkat kembali melahirkan kritik terhadap strategi nuklir Amerika Serikat. Strategi MAD dirasa tidak lagi mampu untuk menghadapi persenjataan Uni Soviet yang kemampuannya telah meningkat. Amerika Serikat juga dipandang tidak lagi cukup hanya mengandalkan serangan pada kota-kota dan pusat-pusat industri Uni Soviet. Pemikiran ini berusaha mendorong Amerika Serikat untuk juga menjalankan prinsip counterforce di dalam strategi nuklirnya. Selain itu, Amerika Serikat dipandang perlu untuk meningkatkan kemampuan persenjataannya dan menentukan seperangkat sasaran-sasaran yang akan dihancurkan jika terjadi perang. Kritik-kritik ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai Presidential Directive 59 (PD 59) pada tahun 1980. PD 59 memberikan pedoman-pedoman mengenai apa yang hendaknya dilakukan Amerika Serikat dalam menghadapi konflik dengan Uni Soviet. PD 59 memuat puluhan ribu daftar sasaran yang akan dihancurkan Amerika Serikat jika terjadi perang. Namun, walaupun memuat puluhan ribu daftar target, target-taget tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok besar yaitu: 1) kekuatan nuklir Uni Soviet; 2) Kekuatan konvensional; 3) Pimpinan-pimpinan militer dan politik serta fasilitas komunikasi, dan; 4) Sasaran-sasaran ekonomi dan industri Uni Soviet.

STRATEGI NUKLIR PASCA PERANG DINGIN

Berakhirnya perang dingin, tidak serta merta kemudian mengakhiri penggunaan arsenal nuklir dalam membentuk politik luar negeri negara pemilik nuklir. Khususnya bagi Amerika Serikat, nuklir tetap dipandang sebagai hal yang penting dalam pembentukan politik luar negeri. Pada era 90-an, terdapat tiga pemikiran utama dalam penggunaan nuklir Amerika Serikat.

Pertama, yaitu adanya kebutuhan untuk berjaga-jaga atas kemungkinan terjadinya pergeseran ideologi di Rusia maupun munculnya nasionalisme radikal Rusia yang berpotensi mengancam Amerika Serikat. Kedua, yaitu adanya kebutuhan untuk menjaga superioritas atas Cina, menjaga kondisi deterrence dengan Cina dan mungkin mengalahkan Cina, semisal dalam kasus Taiwan. Ketiga, nuklir dianggap dapat membantu dalam menangani musuh Amerika Serikat, yang sering dianggap sebagai rogue states seperti Libiya, Irak, Iran, Suriah, dan Korea Utara yang dianggap memiliki ambisi memiliki nuklir.

Pembahasan mengenai strategi nuklir pasca Perang Dingin akan difokuskan pada strategi nuklir Amerika Serikat. Hal ini didasari oleh fakta bahwa hingga kini Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang memiliki keunggulan nuklir. Tumbangnya komunisme menyebabkan Amerika Serikat mengubah strategi nuklirnya. Pada tahun 1991, George Bush mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama yang terdapat di Jerman Barat. Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa kemungkinan Perang Dunia Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di Uni Soviet melakukan hal yang serupa.

Pada tahun 1994 dilakukan peninjauan ulang atas sifat, peran dan jumlah senjata-senjata nuklir Amerika Serikat. Hasil dari peninjauan ulang ini adalah Nuclear Posture Review (NPR) 1994. Namun, isi dari NPR 1994 ini masih bersifat konservatif. Amerika Serikat masih mengambil sikap wait and see menghadapi perubahan situasi interasional yang terjadi.

Pasca perang dingin mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan pengaturan pengontrolan senjata nuklir. Upaya Amerika Serikat ini berpusat pada perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty) II yang disepakati tahun 1993. START II berisikan kesepakatan Amerika Serikat dan Rusia untuk mengurangi jumlah senjata nuklirnya: dari 12.000 hulu ledak nuklir pada tahun 1990 menjadi antara 3000 dan 3500 pada tahun 2003. Namun, pada tahun 1997 masa pengurangannya diperpanjang hingga tahun 2007 karena persoalan politik dan teknis. Selain itu, Amerika Serikat juga bekerjasama dengan negara-negara eks-Uni Soviet lainnya untuk mencegah penyebaran senjata-senjata nuklir akibat kebocoran nuklir.

Walaupun, Amerika Serikat telah melakukan sejumlah kebijakan terkait persenjataan nuklirnya, Andrew Butfoy menyatakan bahwa saat ini strategi nuklir Amerika Serikat dalam kondisi tidak menentu. Karena di satu sisi, Uni Soviet telah runtuh sehingga  tidak lagi relevan bagi strategi keamanan Amerika Serikat saat ini. Namun, di sisi yang lain Amerika Serikat masih enggan untuk meninggalkan pendekatan-pendekatan dan konsep-konsep keamanan pada masa Perang Dingin.

ALASAN NEGARA-NEGARA MEMBANGUN PERSENJATAAN NUKLIR

Negara akan berusaha untuk mengembangkan nuklir jika mereka tidak memiliki alternatif lain dalam menghadapi sebuah ancaman militer yang sangat serius bagi keamanan mereka. Jika hal tersebut tidak terjadi maka Negara-negara tersebut merasa lebih baik untuk tidak mengembangkan nuklir sama sekali. Argumen tersebut menempatkan nuklir sebagai sebuah instrument keamanan internasional namun isu nuklir tidak hanya mengenai permasalahan militer tetapi juga mengenai konsensus politik dari berbagai kelompok kepentingan di dalam negerinya sendiri dan juga menjadi sebuah simbol modernitas dan identitas di dunia internasional.

Secara mendalam, Scott D. Sagan dalam artikelnya memaparkan ada 3 alasan atau pendekatan yang dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, the security model yang berfokus pada upaya Negara untuk meningkatan keamanan nasionalnya dari ancaman pihak asing terutama dari ancaman nuklir. Dasar dari pendekatan ini adalah pemikiran realis yang menyatakan bahwa setiap Negara harus mampu menjaga kedaulatannya serta keamanan nasionalnya sendiri. Hal ini dikarenakan oleh ancaman terhadap daya rusak yang dapat ditimbulkan oleh senjata nuklir mendorong setiap Negara untuk meningkatkan kemampuannya guna mengimbangi Negara lain yang mengembangkan nuklir dengan menimbulkan deterrence.

Pendekatan tersebut menghasilkan 2 kebijakan yaitu Negara kuat dapat memaksakan kepentingannya untuk memperoleh kepentingan nasionalnya dengan mengmbangkan nuklir. Penggunaan nuklir terkait dengan kebijakan Negara unutk mempergunakan kebijakan ynag paling riskan namun paling potensial untuk mencapai kepentinganya (brinkmanship). Di sisi lain, Negara-negara kecil menjdi pihak yang lemah karena pilihan mereka terbatas pada keikutsertaan dalam bentuk aliansi Negara-negara yang memiliki nuklir. Bagi beberapa Negara-negara, tergabungnya dengan suatu aliansi akan menjaganya dari kehancuran. Hal ini mengacu pada kondisi yang deterrence.

Kedua, the domestic politics model yang menekankan pada pemanfaatan nuklir sebgai alat politik serta tarik-menarik kepentingan antar elit politik di dalam negeri. Ketika suatu kelompok elit mampu mempengruhi arah kebijakan suatu Negara unutk menggunakan nuiklirnya demi kepentingan kelompok tersebut. Dalam hal ini setiap aktor selalu aktif dalam memaksakan kepentinganya sehingga seringkali terjadi benturan antar kepentingan.

Ketiga, the norms model berfokus pada penggunakaan nuklir sebagai sebuah simbol meodernitas serta identitas suatu bangsa di dunia internasional. Pengambilan keputusan mengenai penggunaan nuklir mencerminkan perilaku Negara di dunia internasional karena lewat proses pengambilan keputusan ini membentuk identitas dan simbolisasi tertentu bagi Negara tersebut. Dalam hal ini arah kebijakan suatu Negara tidak ditentukan oleh pemimpin bangsa atau elit politik tapi oleh norma yang berlaku.

Ketiga alasan tersebut yang akhirnya mendorong sebuah Negara mempergunakan nuklir sebagai sebuah instrumen politik. Kemampuan Negara dalam mengembangkan nuklir tidak bisa lepas pada adanya konflik kepentingan yang terjadi pada masyarakat domestiknya.

ALASAN NEGARA-NEGARA MEMPERTHANKAN PESENJATAAN NUKLIR

Davis dan Gray menjelaskan bahwa Nuclear Non-Proliferation Treaty telah efektif secara legal pada tahun 1970, yang kemudian diperbaharui pada tahun 1995 dan mewajibkan penandatangan traktat ini untuk berkomitmen melucuti senjata nuklir. Sekalipun proses pelucutan senjata merupakan tujuan akhir dari traktat semacam NPT, tidak satupun negara nuklir percaya bahwa pelucutan merupakan hal yang dapat diterapkan, bijak ataupun diinginkan.

Hal ini tentunya berkaitan dengan sunk-cost yang telah dikeluarkan oleh negara-negara nuklir dan juga kenyamanan atau kelebihan yang didapatkan oleh negara dengan memiliki arsenal nuklir. Ada beberapa konteks politik yang menempatkan senjata nuklir memiliki kegunaan, yang membuatnya menjadi semacam penjamin bagi negara yang memilikinya untuk dapat menekan lawan. Secara teknis, senjata nuklir merupakan ancaman yang kredibel dalam usaha untuk menghindarkan agar lawan tidak melakukan tekanan lebih keras atau mengancam keamanan nasional. Deterrence nuklir dapat saja tidak berjalan, akan tetapi negara manapun yang diketahui memiliki senjata nuklir akan akan diperlakukan dengan “lebih hormat”

Selain itu, keengganan dari negara-negara untuk melucuti arsenal nuklirnya juga disebabkan oleh munculnya negara-negara baru yang giat meningkatkan kapabilitasnya dalam bidang nuklir dan dianggap berusaha atau bahkan memiliki senjata nuklir, maupun tipe senjata pemusnah massal lainnya.

KEGUNAAN SENJATA PEMUSNAH MASSAL

Setidaknya ada enam kegunaan dari senjata nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat.

1. dapat mencegah, menghukum, dan jika diperlukan, untuk mengalahkan musuh regional yang mengancam atau menggunakan senjata pemusnah massal untuk menyerang Amerika Serikat.

2. memperbesar efek deterrent dan mungkin compellent bagi sekutu yang terancam dengan senjata pemusnah massal.

3. untuk mengimbangi kemungkinan gagalnya pasukan konvensional Amerika Serikat atau sekutunya.

4. mencegah munculnya pesaing dalam masa damai, krisis, maupun perang.

5. untuk melakukan misi peperangan yang tidak dapat dilakukan dengan senjata konvensional.

6. merupakan senjata yang mengukuhkan kedudukan Amerika Serikat sebagai superpower dan sebagai penjamin terciptanya general deterrence.

Bagaimanapun, sekalipun situasi kini tidak setegang perang dingin, nampaknya nuklir masih menduduki peranan penting dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri negara-negara yang memilikinya. Hal ini dapat terlihat dalam kasus bagaimana Korea Utara berhasil menggunakan nuklirnya untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara luar. Bukti lain, sejak George W Bush menjadi Presiden dan kemudian disusul dengan tragedi 11 September, telah membuat Amerika Serikat mencoret Anti Balistic Missile Treaty dan Comprehensive Test Ban Treaty. Amerika Serikat kembali menyiagakan dan memperkuat sistem pertahanan misilnya, serta tidak menutup kemungkinan menggunakan first-use option. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran Amerika Serikat bahwa rogue state akan menggunakan nuklir atau jenis senjata pemusnah massal lain dalam menyerang kepentingan Amerika Serikat.

Tujuan daya-rusak luar biasa dari gudang persenjataan nuklira adalah untuk menggertak atau mencegah musuh agar tidak mengeluarkan aksi kebijakan luar negeri yang tak dapat diterima dengan cara mengancam serangan balasan nuklir apabila pihak musuh melakukan langkah tersebut. Sepanjang ancaman tersebut dianggap dapat diandalkan, maka musuh diduga secara efektif berhasil digertak.


No comments: