January 19, 2009

Strategy as Art of Decision Making: How decisive is a strategist?

By: Azel

Seseorang yang strategis adalah orang yang memiliki kemampuan dalam melakukan perencanaan yang terbaik untuk memperoleh keuntungan atau memperoleh kesuksesan. Untuk mampu melakukannya, seorang yang strategis wajib memiliki art of decision, kemampuan untuk mengambil keputusan yang bisa diapikasikan baik dalam situasi yang bisa diduga dan tidak bisa diduga. Dalam paper ini penulis akan membahas tentang apa saja hal yang dibutuhkan untuk bisa menjadi orang yang strategis, yang membuatnya berbeda dengan orang hebat pada umumnya.

Berikut ini beberapa definisi seorang strategis:

1. Seorang yang mampu menemukan inovasi yang berbeda dengan orang pada umumnya, jadi seorang strategis memiliki ciri khas tersendiri dalam mencapai kesuksesannya. Walaupun goal yang ingin dicapai sama dengan orang pada umumnya, namun seorang strategis mengetahui betul bagaimana strategi yang paling tepat.

2. Merupakan man of thought dan man of act, harus memiliki kemampuan untuk berpikir dan bertindak sekaligus.

3. Seorang yang mampu menganalisis dengan baik permasalahan yang dihadapi.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, tentu muncul pemikiran bahwa untuk menjadi seorang strategis dibutuhkan banyak keahlian khusus. Pada dasarnya, esensi yang paling penting adalah analisis. Analisis adalah hal yang mutlak dibutuhkan dalam resolusi konflik dan wajib dimiliki oleh seorang strategis. Masalah kritis yang berbeda tentu memiliki penyelesaian yang berbeda pula, sehingga kemampuan untuk menemukan titik penting menjadi diperlukan. Titik penting itulah yang kemudian diabstraksikan dan digunakan untuk mengidentifikasi masalah mengklasifikasi untuk mengetahui esensi sebenarnya dari suatu masalah. Apabila pengklasifikasian telah berhasil dilakukan, akan mudah untuk menyederhanakan masalah. Inilah konsep penting menjadi seorang strategis yang jarang dimiliki orang pada umumnya.

Hal yang membedakan seseorang yang mampu berpikir secara strategis dan orang yang berpikir managerial dan intuitive adalah pada kemampuannya untuk memetakan masalah. Seseorang yang berpikir secara managerial memang sangat well-planned dan terstruktur dalam bersikap, sedangkan seseorang yang berpikir secara intuitive memiliki kemampuan untuk memprediksi hal yang baru dan mampu fokus pada tujuan yang diinginkan, tetapi keduanya tidak memiliki kemampuan untuk memetakan masalah dan mencari esensi terpenting dari masalah tersebut untuk kemudian ditata ulang sesuai dengan kebutuhan. Seorang strategis harus memiliki tujuan yang spesifik dan mengesampingkan hal yang tidak diperlukan sehingga pelaksanaannya akan efektif dan efisien terhadap tujuan.

Seorang strategis juga harus pandai menganalisis keadaan yang dihadapi karena no analysis, no restructure yang berarti bahwa keadaan tidak akan berubah menjadi lebih baik dan penyelesaian yang akhirnya diambil bukanlah keputusan yang strategis. Dalam strategic thinking, pemahaman akan elemen yang paling esensial dalam masalah merupakan hal pertama yang wajib dilakukan.

Sudah menjadi hal yang lumrah apabila setiap orang menganggap dirinya sebagai orang yang mampu berpikir secara strategis. Alasan orang menganggap dirinya sebagai seorang strategis adalah karena orang tidak mengetahui siapa sebenarnya seorang strategis. Strategi adalah suatu hal yang menuntut pemikiran secara konseptual dan menciptakan sesuatu dari yang awalnya tidak ada. Jadi apabila seseorang masih melihat suatu acuan dalam bertindak strategi, maka itu bukanlah strategi, itu hanya memperbaiki saja. Seorang strategis tidak memikirkan tentang apa yang terjadi pada masa kini, akan tetapi berpikir tentang apa yang mungkin akan terjadi. Seorang strategis juga tidak berpikir “apa itu”, melainkan “apa yang mungkin”. Seperti kutipan dalam sebuah blog:

“Stretegists usually favor thinking about the future instead of the present, strategists are bored by what is and focus on what could be.”

Terhadap konsep yang salah tentang seorang strategis, banyak orang berpikir bahwa apabila mereka bertindak dalam batas aturan yang benar dan tidak kreatif maka mereka adalah seorang strategis. Hal ini tidak selamanya benar karena seorang strategis berpikir dalam kerangka pikir yang sangat besar dan juga berpikir ke depan dalam waktu yang bersamaan. Mungkin orang yang paling strategis adalah seorang pemimpin yang memberikan “petunjuk” kepada orang yang dipimpinnya bukannya memberikan “perintah” secara spesifik. Situasi tersebut akan mendorong munculnya pengambilan keputusan secara otonomi dan memunculkan inisiatif individual. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang strategis, mendorong bawahan untuk bisa menjadi pihak yang turut aktif dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan melibatkan lebih dari hanya memproses informasi, tetapi juga melibatkan proses interpersonal. Seseorang harus bisa memutuskan melibatkan orang lain dalam pembuatan keputusan atau tidak melibatkan orang lain sama sekali. Strategi dalam pengambilan keputusan pasti dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu keberadaan informasi, tingkat superioritas sebuah keputusan, penerimaan keputusan tersebut oleh orang lain, dan waktu yang diperlukan untuk mengambil keputusan.

Terdapat lima pendekatan yang bisa dipakai sebagai aplikasi strategi dalam pengambilan keputusan:

1. Membuat keputusan seorang diri. Alasannya adalah karena hanya orang tersebut yang memiliki seluruh informasi yang dibutuhkan sehingga bisa mengetahui keputusan mana yang terbaik. Masalah penerimaan dari orang lain sudah bukan lagi menjadi prioritas karena yang harus dilakukan adalah membuat keputusan dengan cepat.

2. Mencari infomasi dari orang lain, lalu ambil keputusan seorang diri. Proses pencarian informasi dari pihak lain bisa menjadi sumber pertimbangan yang bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini perlu diambil apabila informasi yang dimiliki masih kurang dari yang dibutuhkan.

3. Konsultasi dengan orang lain sebelum mengambil keputusan. Apabila keputusan yang paling baik belum jelas, lebih baik dilakukan konsultasi personal dengan orang lain untuk melihat bagaimana pandangan mereka masing-masing. Mendengarkan pendapat orang lain akan membantu meningkatkan kemungkinan diterimanya sebuah keputusan.

4. Membuat kelompok diskusi untuk memperluas pilihan. Partisipasi dari orang lain akan membantu memunculkan kemungkinan yang bisa dipelajari lebih dalam. Mendengarkan pendapat orang lain juga akan membantu anggota kelompok untuk memahami dan mengerti keputusan tersebut.

5. Menanyakan pendapat kelompok untuk mencapai konsensus. Apabila semua anggota kelompok memiliki perspektif masing-masing dan sulit untuk mendapatkan goal yang sama, perlu dilakukan pembuatan konsensus untuk menemukan titik temu dalam pengambilan keputusan.

Membuat keputusan yang baik tidak hanya tergantung dengan penempatan informasi yang dibutuhkan tetapi juga dalam hal melibatkan orang yang tepat dalam waktu yang tepat.

Strategi memberikan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan. Bagi sebuah perusahaan, pengambilan keputusan memberi arah untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, cara untuk mengimplementasikan strategi yang baik adalah dengan memahami nilai penting yang berperan dalam pengorganisasian dan pangsa pasar suatu perusahaan.

Strategi adalah hal yang sangat kritis, akan tetapi sering muncul dua perspektif ekstrim yang berbeda dalam pemikiran seorang eksekutif, yang satu percaya bahwa strategi adalah segalanya sehingga konsekuensinya waktu yang ada akan dihabiskan untuk berpikir, bukan untuk melakukan sesuatu. Pemikiran ekstrim yang kedua adalah operationally efficient mindset, meletakkan segala sesuatu untuk diselesaikan secara efisien tanpa memperhatikan penting tidaknya hal tersebut. Itulah sebabnya pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Banyak yang percaya bahwa membangun strategi akan membuat perusahaan menjadi adaptif dengan keadaan yang terjadi dan memberikan hasil yang maksimum. Pengambilan keputusan harus diliputi dengan pilihan alternatif yang jelas dan pemahaman konsekuensinya jelas. Tetapi yang paling penting adalah bahwa keputusan harus berada dalam kerangka pikir yang tepat agar waktu tidak akab terbuang percuma untuk mendebatkan isu yang salah.

Seorang yang strategis harus memiliki kemampuan untuk menggambarkan masalah yang ada dalam framework game theory, mempelajari skenario dengan cepat, melakukan prediksi, dan menganalisis keputusan. Dengan adanya analisis keputusan, akan dapat dipahami apakah keputusan yang diambil merupakan keputusan yang strategis atau belum, apakah bisa diterapkan dalam semua keadaan atau tidak, dan apakah sudah menunjukkan kemampuan aplikasi strategi sebagai seni mengambil keputusan.

Dalam konteks waktu penggunaannya, strategi sebagai seni pengambilan keputusan harus bisa digunakan kapan saja. Seperti diketahui, damai adalah the absence of threatening adversaries, yaitu absennya kekuatan antagonis yang memaksa dengan cara kekerasan.

Terdapat tiga macam penerapan strategi:

  1. A plan of action = strategi yang digunakan dalam perencanaan sebuah

aksi

  1. Penggunaan resources yang digunakan sebagai cara untuk mencapai tujuan
  2. presupposed adversaries = membayangkan keberadaan pihak lawan sehingga akan muncul sebuah pemikiran yang menuntut adanya strategi di dalamnya.

Ketiga strategi di atas merupakan bentuk penerapan strategi klasik. Dalam strategi klasik, pemimpin yang memiliki posisi tertinggi sekaligus kedaulatan tertinggi akan turun tangan apabila terdapat defining moment yang bisa berupa grand strategy dan crisis strategy.

Berikut ini skema penggunaan strategi sebagai seni pengambilan keputusan:

Strategy => policy => statecraft => defining moment

Strategy adalah wilayah pemimpin tertinggi untuk turun tangan mengelola secara langsung. Sedangkan policy merupakan keputusan yang diambil dalam kondisi peace, dengan argumen “perang hanya bagian dari rencana” (Clausewitz). Policy memiliki posisi di atas strategi karena strategi adalah bentuk pengaplikasian policy, dan policy yang menjadi pedoman utama. Policy di sini bukan lagi kebijakan tetapi merupakan sesuatu dalam bidang politik yang memiliki legitimasi secara public yang kemudian ditindaklanjuti menjadi kebijakan atau policy. Contoh perubahannya adalah militer yang kemudian posisinya berada di bawah politik, tidak lagi menempati posisi teratas.

Statecraft adalah hal berhubungan dengan rakyat. Elemen pentingnya adalah keberadaannya yang selalu ada pada saat yang menentukan. Defining moment adalah keadaan yang bisa memunculkan dua kondisi, yaitu grand strategy dan crisis strategy.

Seorang strategis selalu mampu bersikap decisive pada saat dibutuhkan. Hal ini hanya bisa dicapai apabila seorang strategis sudah memiliki pattern sebelumnya yang bisa diaplikasikan dengan tepat (grand strategy). Apabila keadaan tidak sesuai dengan pattern yang telah dipersiapkan, yang terjadi adalah crisis strategy.

Pada dasarnya sifat alamiah strategi adalah precedented, yaitu bisa ditebak polanya, inilah yang umumnya terjadi dalam grand strategy. Akan tetapi crisis strategy memiliki sifat tidak bisa ditebak dan apabila tidak segera dipetakan apa masalahnya dan kemudian dianalisis esensi inti dari masalah tersebut, akan sulit untuk melakukan restrukturisasi pemikiran. Bila tidak ada restrukturisasi pemikiran, yang terjadi kemudian adalah chaos, yaitu keadaan yang semakin buruk. Cara untuk mengatasinya adalah dengan konsep organizational yaitu perpaduan policy dan bisnis. Policy merupakan framework strategi yang menjadi dasar pengaplikasian strategi, dan bisnis memiliki sisi intuitive yang sangat baik sehingga perpaduan kedua hal tersebut akan mampu digunakan sebagai strategi untuk mengadapi keadaan krisis.

Ketika strategi berada dalam lingkup grand strategy, strategi akan bisa diaplikasikan di manapun (applicable everywhere). Sebagai contoh konsep A digunakan untuk menghadapi keadaan A, konsep B digunakan untuk menghadapi keadaan B, dan begitu seterusnya. Strategi seperti ini tentunya merupakan strategi yang sangat baik digunakan dalam pengambilan keputusan, akan tetapi keadaan yang konstan dan diisi oleh variable konstan menjadi kelemahan utama strategi dalam grand strategy.

Seperti yang diungkapkan oleh Sun Tzu, element of surprise adalah hal yang mutlak harus ada dalam strategy. Element of surprise ini terkandung dalam crisis strategy, saat keadaan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diduga dan tidak bisa ditebak. Apabila seorang strategis sudah memiliki kesiapan dengan crisis strategy, maka yang dipertaruhkan bukan lagi keadaan perang atau damai, akan tetapi art of decision-lah yang kemudian memainkan peran. Art of decision adalah kemampuan untuk mengambil keputusan yang bisa diaplikasikan baik dalam situasi yang bisa diduga maupun yang tidak bisa diduga. Apabila kemampuan ini telah dimiliki oleh seseorang, orang itulah yang dinamakan seorang strategis.

Dahulu, strategi dianalogikan dengan where do you want to go? Tetapi sekarang analogi strategi sudah berubah menjadi how do you want to get there? Pertanyaan itu mengandung pilihan, strategi apa yang akan diambil untuk mencapai tujuan. Hal ini merupakan way of thinking, bagaimana seorang strategis mampu berpikir dengan tepat dan inovatif, berbeda dengan pemikiran orang pada umumnya. Analisis awal seorang strategis adalah memotong musuh pada pangkalnya, yaitu speed victory dengan konsep mengalahkan musuh mulai dari strateginya. (Sun Tzu). Kemudian yang perlu dilakukan adalah belajar mengenali pola lawan dan memetakannya agar bisa menemukan critical issues yang bisa diabstraksi untk menyederhanakan masalah yang dihadapi. Inilah esensi dari strategy as art of decision making yang menunjukkan bahwa seorang yang memiliki pemikiran strategis pasti sangat decisive, mengingat kemampuannya untuk mengambil keputusan dengan tepat dan strategis.

Dunia pada era globalisasi menuntut komitmen yang lebih kuat dari seorang strategis untuk menciptakan perubahan dan memberi petunjuk yang jelas ke arah perbaikan. Seorang strategis yang memiliki pandangan visioner jauh ke depan adalah bagian dari mekanisme terwujudnya perubahan ini, dengan kontribusi memberikan ide untuk menciptakan strategi dan energi. Dalam pelaksanaannya, seorang pemimpin yang strategis harus memiliki kemampuan untuk membangkitkan semangat untuk maju bagi yang dipimpinnya. Tetapi, menjadi seorang strategis yang baik saja masih belum cukup. Kemampuan untuk mengambil keputusan menuntut lebih dari hanya sekedar kemampuan untuk mencari strategi yang cocok dengan lingkungan, tetapi juga bagaimana seseorang mampu menempatkan diri dalam lingkungan sosial.

Visi seorang strategis selain memberi petunjuk juga untuk mewujudkan sesuatu yang dirasa mustahil dengan kemampuan yang luar biasa. “Visionary leadership inspires the impossible – fiction becomes truth.” (Westley and Mintzberg 1983: 31). Contohnya adalah efek keputusan Lenin yang menyebabkan terjadinya revolusi pada tahun 1917, saat Lenin berhasil memimpin Revolusi Komunis dalam masyarakat primitif pra kapitalis. Banyak pihak yang percaya bahwa kemampuan melakukan persuasi dan determinasilah yang menyebabkan revolusi itu benar-benar terjadi, walaupun semua kondisi sosial dan ekonomi Rusia menentang keras gerakan tersebut. Dengan kata lain, satu orang pemimpin yang strategis bisa mengambil keputusan yang mengubah benang sejarah.

Seorang strategis dalam mengambil keputusan pasti menyadari betul apa implikasi yang bisa terjadi atas keputusan yang diambilnya karena seorang strategis memegang peran yang sangat vital dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk membaca masalah dan menemukan langkah yang strategis agar keputusan yang diambil tidak memberi implikasi yang buruk, contohnya keputusan yang menyebabkan Korea Utara mendapat serangan bom. Kedua belah pihak – baik Korea Utara maupun AS – berada dalam posisi keras dan sulit mencapai kompromi dalam berbagai dialog. AS yang terus menekan Korea Utara untuk menghentikan operasi yang berbahaya menggunakan senjata pemusnah masal. Akan tetapi Kang Sok-Ju, Menlu Korea Utara membalas dengan tegas, “We are a part of the axis of evil and you are a gentleman. This is our relationship. We cannot discuss matters like gentlemen. If we disarm ourselves because of U.S pressure, then we will become like Yugoslavia or Afghanistan’s Taliban, to be beaten to death.” (Failed diplomacy: the tragic story of how North Korea got bomb pp.25).

Tanpa adanya pengambilan keputusan yang bisa menjadi titik temu, enam tahun menjadi waktu yang sangat alot bagi kedua belah pihak untuk mencapai kompromi. Kesepakatan pada tanggal 13 Februari menjadi kesepakatan yang seakan tidak memiliki target yang jelas, Korea Utara diharuskan menonaktifkan semua fasilitas nuklirnya dan ditukar dengan 950.000 ton bahan bakar tidak memiliki deadline yang jelas. Semua keputusan yang diambil dalam berbagai pertemuan tidak menemukan titik temu yang bisa memperbaiki keadaan. Unsur strategi sebagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan kurang menjadi prioritas dalam kasus Korea Utara ini. Mungkin setiap pihak menganggap keputusan yang diambilnya sudah merupakan kesepakatan yang strategis, akan tetapi penilaian strategis tidaknya suatu keputusan adalah penilaian yang relatif, apa yang dianggap strategis oleh AS atau Korea Utara belum tentu dianggap strategis oleh dunia. Di sinilah peran seorang strategis untuk mampu berpikir secara objektif sehingga bisa memahami nilai relatif suatu keputusan dari berbagai sudut pandang sehingga bisa diambil suatu keputusan yang tepat dan bisa diaplikasikan dalam keadaan apapun, hal yang tidak dimiliki oleh keputusan tanpa strategy as art of decision making di dalamnya.

Strategi sebagai seni dalam pengambilan keputusan akan membawa pada ujung persoalan, pemecahan masalah, dan penemuan hal yang paling esensial. Seorang strategis adalah seseorang yang memiliki peran sangat menentukan dalam mengambil keputusan. With no exception, for sure.


No comments: