January 19, 2009

Strategi Nuklir dan Dinamika Hubungan Internasional

By: Pera Utami

Pasca terujinya kedahsyatan efek bom nuklir pada pengeboman Hiroshima dan Nagasaki beberapa dekade silam, nuklir telah memiliki tempat tersendiri dalam pembuatan kebijakan dan menjadi faktor yang signifikan dalam membentuk kebijakan luar negeri bagi negara-negara yang memilikinya. Terminologi strategi nuklir, yaitu penggunaan senjata nuklir untuk mencapai kepentingan dalam politik internasional muncul seiring dengan penggunaan instrumen ini dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Namun ada pertentangan yang muncul mengenai nuklir akibat dari daya hancurnya. Kelompok pertama mengtakan bahwa nuklir tidak bisa digunakan karena tidak ada jaminan keselamatan dalam pengembangannya serta terlalu berbahaya, namun pihak lain berpendapat, dengan kelebihannya nuklir mampu menjadi sebuah senjata yang tidak tertandingi. Menggunakan cara pandang apapun, nuklir –baik sebagai instrumen militer atau bukan- telah mendapat tempat tersendiri dalam perumusan sebuah kebijakan.

Keywords : nuklir, bom nuklir, kebijakan, strategi nuklir, politik internasional, instrument militer

I. Perkembangan Studi Strategi

Studi strategi telah mengalami perkembangan sejak era klasik bahkan ketika system negara ala Westphalia belum terbentuk. System kerajaan dan negara kota pada era itu sudah mulai menerapkan strategi militer dan ekonomi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Para politisi, ekonom, dan kaum akademisi lainnya telah menjabarkan pengertian strategi dalam ruang lingkup mereka masing-masing. Namun pada hakikatnya, strategi merupakan bagian utama dari studi militer dan politik, yang kemudian diadopsi dan ditransformasi oleh sebagian besar ilmu lain dan menjadi strategi lain di luar strategi militer.

Sun Tzu adalah salah satu ahli strategi kuno yang berasal dari Tiongkok yang hidup pada tahun 403 – 221 SM. Sun Tzu merupakan salah satu strategist terbaik yang pernah ada dan telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan studi strategi. Sun Tzu banyak dipengaruhi oleh system kerajaan Tiongkok pada era tersebut, dimana ekspansi mencari daerah lain untuk ditaklukkan masih menjadi isu penting kerajaan. Perebutan wilayah, sumber daya alam, dan perbudakan masih menjadi hal yang sangat krusial bagi perkembangan dan kehidupan kerajaan saat itu.

Salah satu ajaran Sun Tzu dalam The Art of War yang selalu diingat adalah victory without war atau kemenangan tanpa perang[1]. Kemenangan tanpa perang tersebut diraih dengan cara yang tanpa kekerasan, namun lebih mengarah pada tindakan yang tidak merugikan kedua belah pihak baik secara fisik maupun material. Pada tataran ini, diplomasi sudah memasuki peranan yang penting dalam menentukan definisi kemenangan tersebut. Maka didalamnya juga pasti terkandung posisi-posisi dan kekuatan posisi tawar yang dipertaruhkan dan sangat menentukan arah kebijakan yang akan diterapkan. Maka pada kelanjutannya, negosiator atau diplomat ulung akan sangat berguna untuk menentukan masa depan kerajaan.

Strategist lainnya yang juga memainkan peran penting dalam studi strategi adalah Carl von Clausewitz yang hidup pada era Napoleon (1780-1831). Karya Clausewitz yang fenomenal dan menjadi pedoman di beberapa negara dalam hal referensi literatur dalam pengambilan keputusan militer adalah On War (1873), dimana pada tulisannya ini, Clausewitz menjabarkan secara realistik bagaimana dan seperti apa perang dilaksanakan beserta strategi dan taktiknya. Jika Sun Tzu menjabarkan Strategi Perang dalam kategori pembahasan yang lebih artistik, maka Clausewitz menjabarkannya dengan bahasan yang lebih realistis. Sun Tzu mengaitkan perang dengan seni, sedangkan Clausewitz mengaitkannya dengan kontak fisik secara nyata.

II. Teknologi Nuklir dalam Instrumen Militer

Perkembangan teknologi semakin mengalami kemajuan dan selalu menemukan inovasi-inovasi terbaru dalam setiap perkembangannya. Tidak terkecuali dalam pengembangan teknologi nuklir yang dimulai sejak abad ke-19 dengan ditemukannya senyawa radioaktif uranium oleh Marrie dan Pierre Curie yang sebelumnya telah ditemukan oleh Antoine Henri Becqurele pada tahun 1896[2]. Uranium merupakan salah satu gugus unsur senyawa kimia yang memiliki fungsi dahsyat. Senyawa ini dapat memancarkan radiasi nuklir dan mengalami reaksi fusi berantai yang dapat meledakkan sebuah pulau kecil hanya dengan beberapa gram uranium yang direaksikan. Penemuan pasangan Currie ini bahkan telah membuat penemunya meninggal lebih cepat karena terkena radiasi nuklir yang berlebihan selama hidupnya meskipun pasangan Curie dan Becquerel telah berhasil mendapatkan dua hadiah Nobel atas penemuan tersebut.

Penemuan Currie tidak terkenal hanya sampai disitu saja. mengembangkan lebih jauh penelitian tersebut hingga kemudian uranium berhasil dijadikan senjata yang kemudian disebut bom nuklir. Keberhasilan atas penemuan ini telah memberikan arti tersendiri bagi dunia, terutama bagi hubungan internasional. Pengaruh pengembangan nuklir sebagai bagian dari komponen militer sebuah negara telah memberikan warna baru bagi hubungan antar negara dengan munculnya security dilemma atas kepemilikan nuklir suatu negara.

Kepemilikan senjata nuklir pada awal pengembangannya hanya dilakukan oleh negara-negara adidaya di abad ke 20. Nuklir mulai menjadi bagian yang hangat diperbincangkan negara-negara di dunia ketika pertengahan abad ke 20, dimana Perang Dunia Kedua yang berakhir dengan pemboman atas Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945 dari udara merupakan titik tolak perbincangan dunia atas kehadiran senjata nuklir. Sebelumnya, nuklir hanya menjadi bagian tersendiri dalam teknologi persenjataan dan belum pernah diterapkan. Dibawah perintah Franklin D.Roosevelt, Amerika Serikat menyerang balik pasukan Jepang dengan serangan udara dengan bom nuklir yang meluluh-lantakkan kedua kota tersebut sehingga pemerintah Jepang menyatakan menyerah atas Amerika Serikat dan kemudian dikenai embargo militer hingga saat ini.

Kehancuran Hiroshima dan Nagasaki adalah karena kejatuhan bom nuklir yang membuat kedua kawasan itu kini menjadi mandul dan mengandung toksin yang berbahaya bagi kesehatan sehingga tidak dijadikan kawasan pemukiman yang baik bagi rakyat Jepang. Demikian dahsyat efek kerusakan yang hanya ditimbulkan oleh beberapa kilogram uranium yang direaksikan sebagai bom fusi. Jika pada era persenjataan sebelumnya, tank baja, rudal, dan pesawat tempur dengan kekuatan ultrasonik serta kapal selam dengan teknologi mutakhir menjadi acuan kemajuan teknologi persenjataan, maka sejak dikembangannya nuklir dan dibuktikan kedahsyatannya dengan bom atas Hiroshima dan Nagasaki, maka nuklir adalah senjata tertinggi tanpa tanding hingga saat ini. Nuklir kemudian mengambil posisi sebagai senjata mematikan yang sulit ditandingi dan menjadi bagian terbesar dalam bargaining power sebuah negara.

Hampir semua negara dengan kekuatan minyak yang terkandung di negaranya berusaha mengembangkan nuklir sebagai alat pertahanan yang juga menjadi alat detterence agar bargaining power mereka sebagai negara pengahsil minyak tetap tinggi. Jikapun tidak mengembangkan sendiri nuklirnya, negara tersebut akan beralinsi dengan negara yang mengembangkan teknologi nuklir dalam persenjataannya. Diantaranya adalah Arab Saudi yang memiliki hubungan khusus dengan Amerika Serikat, Iran yang mengembangkan sendiri pengayaan uranium meskipun mendapat kecaman dari Amerika Serikat dan sekutunya, serta Korea Utara yang mengembangkan nuklir sebagai kekuatan utama negaranya meskipun secara ekonomi Korea Utara tdak memiliki kekuatan apapun.

Meskipun tidak semua negara penghasil minyak mengembangkan teknologi nuklir dalam perkembangan militer dan keamanan negaranya atau tidak semua negara mampu dan berhasrat ingin mengembangkan nuklir sebagai teknologi pertahanannya, ada sebagian negara yang berusaha mengembangkan nuklir melalui proyek-proyek uji coba. Dengan serangkaian proyek uji coba tersebut, negara-negara yang beberapa di antaranya merupakan negara Eropa dan anggota NATO, ingin mencoba mengembangkannya dengan mengadakan uji coba di tempat-tempat yang terpencil dan jauh dari peradaban manusia. Salah satu kawasan favorit para ilmuwan dan negara yang mengadakan uji coba adalah di beberapa pulau di kawasan Pasifik Selatan.

Negara-negara di Pasifik Selatan merupakan negara-negara pulau yang berukuran geografis kecil, berpenduduk sedikit, belum berpemerintahan baik, dan beberapa diantaranya masih menjadi koloni negara-negara lain. Salah satunya adalah French Caledonia, yang merupakan koloni Perancis hingga saat ini. French Caledonia adalah salah satu diantara banyak negara Pasifik Selatan yang masih sangat ketergantungan dengan bantuan asing termasuk dari Eropa dan sejumlah negara lainnya. Ketergantungan dan kolonisasi yang terjadi bukanlah tanpa alasan. Hal ini berkaitan dengan keberadaan uji coba nuklir di sejumlah negara-pulau tersebut.

Pada tahun 1980an, terjadi serangkaian uji coba pengayaan dan upgrade senjata nuklir yang dilakukan beberapa negara Eropa di Pasifik Selatan selama beberapa tahun. Pada saat itu, negara-negara asing tersebut mengembangkan nuklir dengan membangun cabang- cabang pusat penelitian pengembangan nuklir beserta tindakan-tindakan uji coba, yakni dengan meledakkan nuklir di beberapa tempat untuk melihat efek yang dihasilkan. Uji coba tersebut dilakukan berulang kali dan dianggap sebagai hal yang lumrah karena mereka melakukannya di tempat yang dianggap zero dan hanya tempat yang kurang berguna di muka bumi. Namun pada perkembangannya, tindakan-tindakan uji coba tersebut memberikan masalah tersendiri bagi ekosistem yang terdapat dikawasan tersebut, sehingga lahirlah perjanjian proliferasi nuklir untuk melindungi kawasan Pasifik Selatan sebagai area uji coba nuklir. Pada era uji coba tersebut, banyak negara mengalami kegagalan sehingga hanya segelintir diantaranya yang berhasil dan kini memiliki senjata nuklir dalam referensi teknologi dan instrumen militer mereka. Diantaranya adalah Iran, Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, Rusia, China, India, Pakistan, Mesir, Syria, Perancis, Inggris, dan Israel[3].

III. Strategi Nuklir

Pengembangan teknologi nuklir masuk sebagai bagian dari instrumen militer tidak berhenti pada tataran sebagai koleksi senjata. Pada tahun 1962, Perang Dingin menemui puncaknya. Ketika itu terjadi Krisis Misil Kuba yang melibatkan Uni Soviet dan Amerika Serikat di Kuba. Uni Soviet mengirimkan empat buah rudal dengan hulu ledak nuklir ke Amerika Serikat melalui empat kapal selam berteknologi tinggi yang menyusup melalui bawah perairan Amerika Serikat melalui Samudra Pasifik.

Ketika Uni Soviet sedang menyusup, penjaga perairan Amerika Serikat tidak menangkap adanya sinyal penyusup di bawah perairan mereka sementara teknologi keamanan Amerika Serikat pada era tersebut merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Sementara itu, kapal selam semakin dekat dengan daratan Amerika Serikat. Para kapten kapal dibekali otoritas khusus untuk meledakkan rudal kapanpun mereka mau tanpa harus menunggu perintah dari pemerintah pusat Uni Soviet. Namun sebuah dilema besar melanda para kapten kapal yang membawa rudal hulu nuklir tersebut sehingga membatalkan penyerangan tersebut dan memilih untuk pulang kembali ke Uni Soviet.

Dilema yang terjadi bukan tanpa alasan. Bahkan jika ingin ditentukan siapa yang lebih manusiawi dan rasional saat itu, mungkin yang paling rasional hanyalah para kapten kapal tersebut. Betapa tidak, seandainya keempat rudal berhulu nuklir itu berhasil ditembakkan ke daratan Amerika Serikat, mungkin saat ini dunia sudah tidak ada dan berakhir sejak 1962. Kekuatan satu rudal Uni Soviet tersebut dapat menghancurkan satu negara Amerika Serikat. Dan kombinasi keempatnya akan menghancurkan sebagian besar pulau dunia. Rudal tersebut berkekuatan super masiv dengan panjang 20 meter dan berhulu ledak nuklir yang sangat dahsyat.

Pada tataran inilah strategi nuklir memainkan peran yang sangat penting dalam pengambilan kebijakan. Tindakan keempat kapten kapal Uni Soviet tersebut hanyalah sebuah tindakan rasional yang mampu berjalan dengan baik ketika situasi dunia berada dalam kendali keputusan mereka. Pada saat perang dingin, dimana nuklir menjadi santapan sehat negara-negara di dunia saat itu disamping pembahasan mengenai ideologi, amat sedikit orang yag dapat berpikir rasional. Karena pada dasarnya, ide untuk menerapkan nuklir sebagai instrumen militer yang tentunya akan dijadikan instrumen peperangan sudah merupakan tindakan yang irrasional. Hal tersebut terkait dengan dampak yang dapat ditimbulkan oleh efek ledakan nuklir dan sisa radiasinya yang dapat mengganggu tatanan dan keseimbangan ekosistem dunia.

Nuklir menjadi sebuah ide dengan kekuatan dahsyat merupakan inovasi yang hebat sekaligus seperti sebagai sebuah kutukan. Kepemilikan atas senjata nuklir dan pengayaan dalam bentuk lainnya menjadi suatu bentuk ancaman bagi sejumlah negara. Nuklir bukanlah perangkat militer yang dapat diperangkan (undeployed arms), mengingat dampak yang akan ditimbulkannya. Diantaranya adalah :

Terjadi peningkatan sebanyak 5 juta ton asap tebal di atas awan yang dapat menghalangi sinar matahari untuk sampai ke bumi.

Temperatur global menjadi turun drastis dan menjadi “Little Ice Age”, dimana bumi akan tertutupi oleh salju dimana-mana.

Penipisan lapisan ozon secara masiv

Terjadi penurunan produktivitas manusia diikuti kematian secara besar-besaran akibat kerusakan alam secara masiv.

Segala yang dimiliki oleh nuklir ini memiliki poin tersendiri jika direferensikan dengan ahli strategi sebelumnya yang sudah disebutkan terlebih dahulu. Jika mengacu pada Sun Tzu dengan victory without war – nya, maka nuklir sudah merupakan contoh aplikasi yang cukup baik karena nuklir memang bukan tipe persenjataan yang dapat dengan mudah diaplikasikan di medan perang. Bahkan medan perang nuklir pun masih belum terdefinisi secara jelas karena perang buklir memang bukan perang yang dapat dilaksanakan seperti halnya perang konvensional. Victory without war menjadi lebih rasional dalam menjelaskan aplikasi nuklir dalam teknologi instrumen militer, dimana meskipun tidak berperang, sebuah negara dapat ditakuti dan dapat mengancam negara lain hanya dengan menggunakan keberadaan nuklir di negaranya sebagai bagian dari perangkat militer. Dan dengan hal ini pula, hakikat nuklir sebagai undeployed arm akan menjadi bagian dari tercapainya perdamaian, karena negara-negara akan menghindari perang dan lebih memilih jalan damai melalui diplomasi untuk mencapai kepentingan negaranya maskipun dalam aplikasinya para pengembang nuklir akan memiliki bargaining power yang lebih besar dibanding yang tidak sama sekali.

Sedangkan kaitannya dengan Clausewitz, dimana di dalam On War, Clausewitz banyak membahas mengenai deployed the arms rightly atau menempatkan prajurit dan persenjataan yang tepat merupakan bagian terbaik dari strategi militer[4], maka dalam kaitannya dengan strategi nuklir adalah penempatan nuklir sebagai alat detterence yang tepat dan bernilai bargaining power tinggi sehingga musuh akan berpikir berkali-kali untuk menyerang. Dalam teknologi persenjataan nuklir dan penerapannya di medan tempur, nuklir memang undeployed arms, namun dapat menjadi strategic arms to detter.

Mengenai konsep deterrence ini, Herman Kahn membagi tiga kategori deterrence nuklir, diantaranya adalah[5] :

Ø Tipe I : Deterrence atas serangan langsung terhadap negara.

Ø Tipe II : menggunakan ancaman strategis untuk mengancam (deter) musuh agar tidak melakukan aksi provokatif daripada serangan langsung. Pada tipe ini terlihat sebuah konsep pada perang dingin yang dikenal dengan “payung nuklir” (nuclear umbrella). Dalam konsep ini, suatu negara dapat saja mendapatkan perlindungan nuklir tanpa harus memilikinya. Hal ini terlihat dari bagaimana Amerika Serikat melindungi sekutunya dengan kapabilitas nuklir yang dimiliki. Sekalipun tidak ada kewajiban secara eksplisit untuk menggunakan senjata nuklir dalam membela sekutu yang diserang, kemungkinan untuk melakukannya tetap ada – khususnya dalam merespon serangan senjata pemusnah massal – sehingga konsep ini dianggap memiliki nilai deterrence terhadap lawan potensial.

Ø Tipe II :Deterrence bertahap terhadap aksi yang kurang provokatif. Hal ini merujuk pada aksi yang diancam karena penyerang potensial khawatir bahwa pihak yang diserang atau pihak lain akan melakukan tindakan terbatas baik itu secara militer maupun bukan, yang dapat membuat serangan menjadi tidak menguntungkan.

IV. Implikasi Strategi Nuklir bagi Dinamika Hubungan Internasional

Dalam kaitannya dengan hubungan antra negara, strategi nuklir pada akhirnya memberikan warna tersendiri yang sulit dipisahkan dari kegiatan politik internasional. Hal ini tentunya berhubungan dengan perbandingan posisi masing-masing negara yang menajadi berubah dengan keberadaan atau kepemilikan atas teknologi nuklir dan senjata nuklir. Strategi nuklir menempati posisi tersendiri yang cukup signifikan sejak akhir Perang Dunia Kedua dan menjadi semakin panas ketika era Perang Dingin dan menjadi perbincangan laten hingga saat ini.

Dengan keberadaan nuklir dan pengembangannya di sejumlah negara, beberapa negara tersebut kemudian menyatukan suara untuk membuat aturan tertentu terkait dengan kontrol atas pengayaan nuklir dan pengembangan teknologinya. Aktifitas yang diprakarsai oleh Amerika Serikat dalam ajakannya terhadap Uni Soviet pada akhir Perang Dingin merupakan awal terbentuknya serangkaian perjanjian Proliferasi Nuklir di dunia. Hal ini juga kemudian mendorong arah pembuatan kebijakan negara yang diwarnai dengan pertimbangan terkait kekuatan nuklir beberapa negara yang memiliki nuklir dalam hubungannya dengan negara lain.

Amerika Serikat merupakan negara yang paling menonjolkan kepentingannya atas isu ini. Pada era 90-an, terdapat tiga pemikiran utama dalam penggunaan nuklir Amerika Serikat. Pertama, adanya kebutuhan untuk berjaga-jaga atas kemungkinan terjadinya pergeseran ideologi di Rusia maupun munculnya nasionalisme radikal Rusia yang berpotensi mengancam Amerika Serikat. Kedua, kebutuhan untuk menjaga superioritas atas Cina, menjaga kondisi deterrence dengan Cina dan mungkin mengalahkan Cina, sebagai contoh dalam kasus Taiwan. Ketiga, nuklir dianggap dapat membantu dalam menangani musuh Amerika Serikat, yang sering dianggap sebagai rogue states seperti Libya, Irak, Iran, Syria, dan Korea Utara yang dianggap memiliki ambisi memiliki nuklir[6].

Mengenai kebijakan dan strategi negara-negara dalam penggunaan nuklir, Malcolm R. Davis dan Collin S. Gray dalam pembahasannya mengenai senjata pemusnah massal, menyatakan ada beberapa pertanyaan mendasar yang dapat menjelaskan sebagian besar kebijakan dan strategi penggunaan senjata pemusnah massal, termasuk nuklir.

A. Alasan negara-negara mengembangkan nuklir

Banyak ahli berpendapat bahwa negara akan berusaha untuk mengembangkan nuklir jika mereka tidak memiliki alternatif lain dalam menghadapi sebuah ancaman militer yang sangat serius bagi keamanan mereka. Jika hal tersebut tidak terjadi maka negara-negara tersebut merasa lebih baik untuk tidak mengembangkan nuklir sama sekali. Argumen tersebut menempatkan nuklir sebagai sebuah instrument keamanan internasional namun isu nuklir tidak hanya mengenai permasalahan militer tetapi juga mengenai konsensus politik dari berbagai kelompok kepentingan di dalam negerinya sendiri dan juga menjadi sebuah simbol modernitas dan identitas di dunia internasional[7].

Scott D. Sagan dalam artikelnya memaparkan ada 3 alasan atau pendekatan yang dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, the security model yang berfokus pada upaya negara untuk meningkatan keamanan nasionalnya dari ancaman pihak asing terutama dari ancaman nuklir. Dasar dari pendekatan ini adalah pemikiran realis yang menyatakan bahwa setiap negara harus mampu menjaga kedaulatannya serta keamanan nasionalnya sendiri. Hal ini dikarenakan oleh ancaman terhadap daya rusak masiv yang dapat ditimbulkan oleh senjata nuklir mendorong setiap negara untuk meningkatkan kemampuannya untuk mengimbangi negara lain yang mengembangkan nuklir dengan menimbulkan deterrence[8].

Pendekatan ini menghasilkan dua kebijakan yaitu, negara kuat dapat memaksakan kepentingannya untuk memperoleh kepentingan nasionalnya dengan mengembangkan dan menonjolkan kekuatan nuklirnya sehingga dapat memperbesar kemungkinan tercapainya kepentingan negara (brinkmanship). Di sisi lain, negara-negara kecil menjadi pihak yang lemah karena pilihan mereka terbatas pada keikutsertaan dalam bentuk aliansi negara-negara yang memiliki nuklir. Bagi beberapa negara, bergabung dengan suatu aliansi akan menjaganya dari kehancuran (efek nuclear umbrella).

Kedua, the domestic politics model yang menekankan pada pemanfaatan nuklir sebagai alat politik serta tarik-menarik kepentingan antar elit politik di dalam negeri. Ketika suatu kelompok elit mampu mempengruhi arah kebijakan suatu Negara unutk menggunakan nuiklirnya demi kepentingan kelompok tersebut. Dalam hal ini setiap aktor selalu aktif dalam memaksakan kepentinganya sehingga seringkali terjadi benturan antar kepentingan.

Ketiga, the norms model berfokus pada penggunaan nuklir sebagai sebuah simbol modernitas serta identitas suatu bangsa di dunia internasional. Pengambilan keputusan mengenai penggunaan nuklir mencerminkan perilaku negara di dunia internasional karena melalui proses pengambilan keputusan ini membentuk identitas dan simbolisasi tertentu bagi negara tersebut. Dalam hal ini arah kebijakan suatu Negara tidak ditentukan oleh pemimpin bangsa atau elit politik tapi oleh norma yang berlaku[9].

Ketiga alasan tersebut mendorong suatu negara mempergunakan nuklir sebagai sebuah instrumen politik. Kemampuan negara dalam mengembangkan nuklir tidak bisa lepas pada adanya konflik kepentingan yang terjadi pada masyarakat domestiknya.

B. Alasan negara-negara mempertahankan senjata nuklir

Mengapa negara-negara nuklir mempertahankan senjata nuklir? Davis dan Gray menjelaskan bahwa Nuclear Non-Proliferation Treaty telah efektif secara legal pada tahun 1970, yang kemudian diperbaharui pada tahun 1995 dan mewajibkan penandatangan traktat ini untuk berkomitmen melucuti senjata nuklir. Sekalipun proses pelucutan senjata merupakan tujuan akhir dari traktat semacam NPT, tidak satupun negara nuklir percaya bahwa pelucutan merupakan hal yang dapat diterapkan baik secara sadar maupun dipaksa.

Hal ini berhubungan dengan sunk-cost yang dikeluarkan oleh negara-negara nuklir dan juga kenyamanan atau kelebihan yang didapatkan oleh negara dengan memiliki arsenal nuklir. Ada beberapa konteks politik yang menempatkan senjata nuklir memiliki kegunaan, yang membuatnya menjadi semacam penjamin bagi negara yang memilikinya untuk dapat menekan lawan. Secara teknis, senjata nuklir merupakan ancaman yang kredibel dalam usaha untuk menghindarkan agar lawan tidak melakukan tekanan lebih keras atau mengancam keamanan nasional. Dengan kepemilikan nuklir yang terekspos media, citra sebuah negara akan naik dan dihormati oleh negara-negara lain.

Alasan lainnya disebabkan oleh munculnya negara-negara baru yang giat meningkatkan kapabilitasnya dalam bidang nuklir dan dianggap berusaha atau bahkan memiliki senjata nuklir, maupun tipe senjata pemusnah massal lainnya. Ketakutan demikianlah yang terjadi pada Amerika Serikat atas kepemilikan nuklir Iran yang dideklarasikan oleh Ahmadinejad pada 2006 lalu.

C. Perbandingan posisi strategis senjata pemusnah massal : sebuah perdebatan

Diskursus mengenai apakah seluruh senjata pemusnah massal setara secara strategis memancing perdebatan tersendiri. Tidak satupun yakin bahwa semua jenis senjata pemusnah massal memiliki kesetaraan dalam menciptakan efek strategis. Hal ini tentunya menyebabkan timbulnya berbagai pandangan dan pertanyaan mengenai bagaimana merespon serangan-serangan senjata pemusnah massal. Pertanyaan akan memuncak ketika dipertanyakan mengenai nilai moral dan politis atas kerusakan yang akan ditimbulkan oleh senjata kimia atau biologis yang kelasnya lebih rendah daripada nuklir. Demikian pula dengan pertanyaan apakah negara yang terikat dengan konvensi internasional terkait nuklir, diserang dengan senjata biologis atau kimia berhak membalas dengan serangan senjata nuklir?

Pihak yang terikat dengan konvensi pelarangan penggunaan senjata pemusnah massal biologis atau kimiawi, berkepentingan untuk menyetarakan secara strategis senjata-senjta pemusnah massal semacam itu. Hal ini terkait dengan penentuan jenis respon yang akan diberikan, dan tidak menutup kemungkinan penggunaan nuklir untuk meresponnya. Akan tetapi beberapa pihak menolak menyetarakan berbagai jenis senjata pemusnah massal, karena dapat membuka kemungkinan serangan nuklir terhadap negara non-nuklir. Selain itu, penyetaraan yang membuat terbukanya kemungkinan pembalasan dengan serangan nuklir, dipandang akan membuat negara pemilik senjata biologi atau kimia terpicu untuk mendapatkan senjata nuklir[10].

D. Fungsi senjata pemusnah massal

Davis dan Gray menekankan pertanyaannya menjadi “Apakah kegunaan dari senjata nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat?”. Jawaban empiris yang didapatkan dari pertanyaan itu adalah, setidaknya ada enam kegunaan dari senjata nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Diantaranya adalah[11] :

1. Untuk mencegah, menghukum, dan jika diperlukan, untuk mengalahkan musuh regional yang mengancam atau menggunakan senjata pemusnah massal untuk menyerang Amerika Serikat.

2. memperbesar efek deterrence dan mungkin compellent bagi sekutu yang terancam dengan senjata pemusnah massal.

3. untuk mengimbangi kemungkinan gagalnya pasukan konvensional Amerika Serikat atau sekutunya.

4. mencegah munculnya pesaing dalam masa damai, krisis, maupun perang.

5. untuk melakukan misi peperangan yang tidak dapat dilakukan dengan senjata konvensional.

6. merupakan senjata yang mengukuhkan kedudukan Amerika Serikat sebagai superpower dan sebagai penjamin terciptanya general deterrence.

Meskipun Perang Dingin telah berakhir, nuklir masih menduduki peranan penting dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri negara-negara yang memilikinya. Hal ini dapat terlihat dalam kasus post-tragedi 9/11 dimana George W. Bush kemudian mencoret Anti Balistic Missile Treaty dan Comprehensive Test Ban Treaty. Amerika Serikat kembali menyiagakan dan memperkuat sistem pertahanan misilnya, serta tidak menutup kemungkinan menggunakan first-use option. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran Amerika Serikat bahwa rogue state akan menggunakan nuklir atau jenis senjata pemusnah massal lain dalam menyerang kepentingan Amerika Serikat. Bukti lainnya adalah bagaimana Korea Utara berhasil menggunakan nuklirnya untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara luar.



[1] Sun Tzu. The Art of Warfare. Diterjemahkan dan dikomentari oleh Roger T. Ames. New York : Ballantine Books,1993. hal 46.

[2] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, 1978. Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1982. hal. 98-99.

[3] Map Atomic Rush and much more. map atomic rush. gif file.

[4] Fortune City. : Clausewitz Principle of War. Carl von Clausewitz, Military Strategist (1780-1831). Diakses dari http://www.fortunecity.com/carl-von-clausewitz-principle-of -war

[5] Kahn dalam John Baylis, et.al. Strategy in the Contemporary World. An Introduction to Strategic Studies. hal 166.

[6] Craig A. Snyder (ed). Contemporary Security and Strategy. hal 140-141

[7] Davis dan Gray dalam John Baylis, et.al. Strategy in the Contemporary World. An Introduction to Strategic Studies. Hal 263.

[8] Scott, D. Sagan, Why Do States Build Nuclear Weapon?: Three Models in Search of a Bomb :Internasional Security, Vol. 21,No. 3. (Winter, 1996-1997), pp. 54-86.

[9] Ibid.

[10] Gray dan Morgan dalam John Bayliss et. al. Strategy in Contemporary World. Hal 265.

[11] Ibid. Hal. 266.


No comments: