January 16, 2009

Strategi Nuklir : Bagaimana Perkembangan Strategi Di Era Perang Nuklir Dan Pengaruh Perkembangan Teknologi Perang Pada Studi Strategi

By: Ratih

Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan peperangan sangat berpengaruh dalam pembuatan strategi dari masa ke masa. Dalam strategi klasik, pengaturan segala faktor yang mempengaruhi jalannya pertempuran sangat penting artinya dimana pertempuran terjadi secara frontal. Namun hal ini tidak dapat diaplikasikan dalam keadaan saat ini dimana perkembangan teknologi telah menambah jenis dan jumlah instrumen perang dari persenjataan berat dan kendaraan perang dengan senjata nuklir dan kimia yang sedang dalam tahap perkembangan. Apabila ditinjau dari sudut pandang strategi, adanya teknologi nuklir memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembuatan dan penerapan strategi perang. Penerapan strategi yang berbeda dengan adanya nuklir telah memunculkan istilah baru yaitu strategi nuklir.

Secara sempit strategi dapat diartikan sebagai kiat menggunakan kekuasaan militer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh politik. Definisi di tersebut didukung oleh beberapa kondisi seperti keadaan pada masa lalu dimana perang merupakan “wasit” dalam menyelesaikan berbagai sengketa dan memperebutkan faktor fisik (contohnya sumber daya dan wilayah) sebagai tujuan utama. Oleh karena itu dibutuhkan suatu langkah pengaturan berbagai aspek-aspek militer seperti tentara, logistik dan persenjataan yang diwujudkan dalam suatu rencana tertentu dan sekaligus mengantisipasi dan membaca tindakan lawan untuk memperolah kemenangan. Seperti konsep strategi perang yang diungkap oleh Sun Tzu, kita harus mengenal dengan baik diri sendiri dan lawan kita.

Strategi dalam arti yang lebih luas dapat diartikan sebagai kiat menggunakan semua kekuatan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diterapkan oleh politik. Definisi luas mengenai strategi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah perkembangan teknologi dimana perang tidak lagi dapat menjadi wasit dalam menyelesaikan persengketaan, dan persengketaan internasional telah maju kearah yang lebih kompleks sehingga kekuatan militer tidak lagi menjadi kekuatan yang dominan dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, kekuatan militer menjadi alternatif terakhir untuk mencapai tujuan.

Adanya definisi strategi secara luas ini membuka peluang bagi berbagai bidang untuk mengadopsi strategi dalam kajian mereka. Terjadi pergeseran dari dari strategi dari konteks militer dimana para jendral memainkan peranan penting dan pengerahan sumber daya militer dan taktik serangan menjadi para pelaku bisnis menerapkan berbagai langkah untuk memanajeman bisnis mereka dan menarik pembeli.

Dalam perkembangan strategi, terjadi penyempitan dimana elemen militer yang dominan hilang secara bertahap. Oleh karena itu, untuk mempelajari strategi diperlukan pendekatan sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang ingin dicapai. Dalam mempelajari strategi, terdapat tiga pendekatan utama yang memandang kata strategi dari perspektif yang berbeda. Pendekatan itu adalah :

  1. Strategi Klasik

Pendekatan strategi klasik merupakan pendekatan yang paling lama karena pendekatan ini memiliki ciri preskriptif dan rasionalis. Pengaturan berbagai faktor yang berpengaruh dalam perang seperti pengerahan tentara dan pengorganisiasian situasi dan kondisi dalam perang mengacu ke arah total war. Dan tujuan dari sebuah strategi dipandang dari pendekatan ini adalah survival.

  1. Studi Strategi

Pendekatan yang muncul pada tahun 1950-1970 dan berkembang sampai sekarang. Studi strategi bersifat non preskriptif dan mengkaji strategi secara empirik. Studi strategi sebenarnya sudah ada pada masa sebelumnya, namun baru pada tahun tersebut pendekatan ini dignakan secara luas dan mendapatkan tempat sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Studi strategi memandang bahwa perang saat ini, terutama dengan adanya nuklir telah berubah dari total war menjadi perang yang absolut. . Studi strategi biasanya dikaji secara interdisipliner sehingga berbagai pandangan para tokoh dapat memberikan teori yang sesuai dengan berbagai keadaan.

  1. Manajemen Strategi

Pendekatan ini banyak digunakan di bidang bisnis. Dimana strategi klasik diserap dan ditransformasikan agar dapat digunakan dalam bidang ekonomi-bisnis. Pendekatan manajemen memandang strategi bersifat deskriptif dan sedikit preskriptif dalam mencapai tujuan utama yang bersifat aplikatif. Pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam proses analitical dan market research. Dimana efektivitas penempatan posisi dalam kegiatan produksi dan menarik konsumen merupakan tujuan utama dari pendekatan ini.

Ketiga pendekatan tersebut juga memiliki perbedaan dalam peranan para aktor yang terlibat di dalamnya. Pada strategi klasik, pihak pertama yang menyusun strategi yaitu para jenderal sangat berpengaruh besar dalam mengendalikan keadaan di lapangan. Di sini strategi benar-benar diartikan sebagai seni berperang yang sesungguhnya. Sementara pada manajemen strategi, apa yang dimaksud dengan perang adalah persaingan memperebutkan konsumen. Jadi terdapat pihak ketiga yang ’berperan mayoritas’ untuk menentukan pemenang. Sehingga penyusunan strategi yang dilakukan oleh manajer bertujuan untuk mengatur berbagai faktor produksi agar dapat memberikan hasil yang maksimal.

Pendekatan studi strategi merupakan pendekatan yang unik karena meninjau strategi dari secara empirik namun tidak mengabaikan sudut pandang klasik dan manajemen. Sampai saat ini, perkembangan studi strategi dapat dikatakan masih berputar pada tiga pendekatan besar tersebut. Perkembangan yang ada seperti neo-classical strategy, human security studies, maupun analisa teoritik dan praktis ekonomi seperti deep-blue ocean strategy bisa dikatakan merupakan metamorfosis tiga pendekatan tersebut.

Salah satu faktor penting yang sangat mendukung perkembangan studi strategi ini adalah perubahan besar-besaran keadaan pasca perang dingin dimana perkembangan situasi inetrnasional telah membuka babak baru dari perang yang selama ini terjadi. Adanya dua kekuatan besar dunia yang memiliki teknologi yang sama kuatnya membuat adanya kebutuhan untuk membuat suatu derajat tertentu yang kemudian berperan sebagai pengontrol arah peperangan. Studi strategi yang berkembang di masa yang demikian ini kemudian memiliki tujuan untuk mewujudkan suatu citizen security. Apabila ditarik secara mendasar, perkembangan teknologi perang dapat dijadikan satu faktor utama dengan hadirnya unsur nuklir sebagai senjata pemusnah masal.

Kehadiran senjata nuklir dalam hubungan internasional telah mengubah tatanan dunia. Sejak bom atom dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki masing-masing 6 dan 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat, banyak doktrin perang dan strategi hubungan internasional berubah. Senjata pamungkas ini mengubah wajah perang menjadi kehancuran umat manusia.

Gambaran jamur raksasa yang membumbung tinggi ke angkasa setelah jatuhnya bom atom itu mentransformasikan sebuah “perimbangan kekuatan” (balance of power) menjadi “perimbangan teror” (balance of terror). Pemilik nuklir tak bisa lagi menggunakan senjata terakhir ini untuk menyerang musuhnya bila negara sasaran memiliki senjata yang sama.

Amerika Serikat dan Uni Soviet telah menjadi kekuatan nuklir pertama yang saling berlomba mengungguli. Sifat perang berubah dari bentrokan militer konvensional yang melibatkan tank dan pesawat-pesawat tempur menjadi adu strategi nuklir. Karena skala kehancurannya yang mengerikan, maka kedua negara adidaya tidak berani memulai perang meski permusuhan ideologi diantara mereka sangat tajam. Maka berkembang pula strategi-strategi baru sejalan dengan perkembangan kualitas dan kuantitas senjata nuklir.

Strategi Nuklir Pada Masa Perang Dingin

Strategi Nuklir Uni Sovyet

Sebagaimana telah disinggung di atas, pada masa perang dingin penggunaan strategi nuklir didominasi oleh Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Pada awalnya monopoli senjata nuklir berada di tangan Amerika Serikat, yaitu sejak tahun 1945 hingga 1949. Uni Soviet baru menguasai teknologi nuklir pada tahun 1949, namun belum memiliki minat untuk mengembangkan persenjataan nuklir. Hal ini disebabkan oleh dominasi pemikiran Joseph Stalin di dalam perumusan strategi militer Uni Soviet. Stalin merupakan penafsir ortodoks pemikiran Marx dan Engels. Kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa kemenangan di dalam setiap pertempuran hanya ditentukan oleh disiplin moral pasukan. Oleh Stalin, premis tersebut kemudian dirumuskan dan dibakukan sebagai unsur utama untuk memenangkan perang. Selain itu, Stalin juga sangat percaya pada kekuatan konvensional dan tidak percaya pada serangan-pendadakan (surprise attack).

Namun seiring makin berkembangnya kemampuan dan kekuatan nuklir Amerika Serikat, Uni Soviet mulai merasakan arti penting keberadaan senjata nuklir. Sejak pertengahan tahun 1950-an di Uni Soviet muncul perdebatan antara kelompok Tradisionalis dan Modernis mengenai penggunaan senjata nuklir. Perdebatan ini menyebabkan Uni Soviet mengambil jalan tengah dengan tetap mempertahankan tingkat kepemilikan senjata konvensional dan secara bersamaan juga mengembangkan kemampuan nuklir.

Pada masa pemerintahan Kruschev strategi nuklir makin diterima sebagai kebutuhan strategis oleh Uni Soviet dan pada tahun 1960 Kruschev dan Menteri Pertahanan, Malinovsky berhasil merinci tujuan penggunaan senjata nuklir, kapan digunakan dan bagaimana senjata tersebut digunakan. Doktrin nuklir tersebut intinya menyatakan bahwa senjata nuklir akan digunakan pada “serangan pendadakan di setiap perang lokal yang melibatkan Amerika Serikat atau perang antara kubu sosialis dan kapitalis yang “pasti” meningkat menjadi perang nuklir habis-habisan”. Isi doktrin ini sering juga disebut strategi opsi tunggal. Namun karena pada saat itu kekuatan nuklir Uni Soviet masih rendah doktrin tersebut hanya dipandang sebagai pernyataan penangkal terhadap doktrin perang terbatas AS.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Breznev-Kosygin tahun 1964 hingga 1970 strategi nuklir Uni Soviet tidak mengalami perubahan kecuali tidak mengikuti doktrin Krushev yang menyatakan bahwa “perang antara kubu sosialis dan kapitalis pasti akan meningkat menjadi perang nuklir total” melainkan menggantinya dengan “Uni Soviet akan menjawab tantangan Amerika Serikat pada setiap konflik, lokal & global dengan senjata konvensional ataupun nuklir”.

Di dalam perkembangan selanjutnya Uni Soviet makin menegaskan doktrin strategi nuklir mereka dengan merinci unsur-unsur untuk memenangkan perang yaitu:

  • Penangkalan yang lebih berdaya guna adalah persiapan perang.
  • Kemenangan akan dicapai melalui serangan pre-emtif, dan;
  • Bahwa eksistensi sosial, ekonomi, politik dan militer Uni Soviet dapat dipertahankan.

Dalam mengembangkan strategi nuklir Uni Soviet mengandalkan persenjataannya pada peluru-peluru kendali landas darat karena:

Ketepatan dan kecepatannya melebihi rudal-rudal jelajah, pesawat pembom dan rudal-rudal yang dipasang pada kapal selam.

Tidak perlu menghadapi sistem pertahanan udara dan sistem anti-kapal selam (anti-submarine warfare, ASW).

Strategi Nuklir Amerika Serikat

Untuk menghadapi Uni Soviet yang telah mampu menguasai teknologi nuklir, Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1950-an mengembangkan strategi massive retaliation. Strategi ini menyatakan bahwa kekuatan nuklir strategis dan taktis Amerika Serikat digunakan tidak saja untuk menangkal serangan nuklir terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya melainkan juga untuk menangkal setiap serangan negara-negara komunis terhadap negara lain di seluruh dunia. Untuk mendukung strategi tersebut Amerika Serikat mengembangkan bom hidrogen, senjata nuklir taktis dan pesawat pembom jarak jauh (B-52). Pada tahun 1953 senjata-senjata nuklir taktis tersebut mulai ditempatkan di Eropa dan pada tahun 1955 pesawat pembom strategis B-52 mulai beroperasi.

Namun, strategi ini banyak mengandung kelemamahan yaitu, pertama, Amerika Serikat diragukan utk menggunakan senjata nuklir. Pandangan ini didasari pada fakta bahwa di perang konvensional sebelumnya (Perang Korea) Amerika Serikat tidak menggunakan senjata nuklir. Kedua, Amerika Serikat tidak mampu menjamin dirinya terhindar dari serangan nuklir US. Padahal efek penagkalan efektif jika Amerika Serikat tidak berada dalam posisi rawan terhadap serangan nuklir Uni Soviet. Ketiga, Serangan nuklir Amerika Serikat terhadap Uni Soviet mengandalkan pangkalan udara di Inggris & Eropa Barat padahal kekuatan konvensional Barat di Eropa lebih kecil dibandingkan kekuatan konvensional Uni Soviet dengan demikian Amerika Serikat belum memiliki sarana memadai untuk membuat Uni Soviet bertekuk lutut. Untuk mengatasi kelemahan tersebut Amerika Serikat lalu mengembangkan pemikiran Perang Nuklir Terbatas untuk melengkapi strategi massive retaliation. Pemikiran ini mengakui bahwa tidak semua agresi terhadap Barat dapat ditangkal dengan melakukan serangan langsung ke Uni Soviet. Dengan demikian Amerika Serikat memperluas keberedaan senjata-senjata nuklir taktisnya ke negara-negara sekutunya yang lain dan tempat-tempat lain yang berdekatan dengan Uni Soviet.

Sekali lagi strategi ini dpandang memiliki kelemahan karena dapat mendorong Uni Soviet menyerang Amerika Serikat karena telah mengetahui kelemahan strategi massive retaliation sehingga menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik lokal dan perang nuklir terbatas menjadi makin besar. Dengan demikian yang terjadi adalah sebuah paradoks: menghindari perang nuklir malah memicu perang nuklir global.

Pada tahun 1960-an Amerika Serikat mengembangkan strategi flexible response. Strategi intinya terletak pada keluwesan Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman keamanan dengan cara meningkatkan kemampuan menghadapi semua bentuk perang, baik besar-besaran maupun terbatas, nuklir ataupun konvensional. Strategi ini menekankan pada prinsip counterforce dengan alasan untuk mengurangi jumlah korban penduduk sipil jika terjadi perang nuklir. Dengan menjalankan prinsip counterforce maka terbuka kesempatan bagi Amerika Serikat untuk melakukan serangan pre-emtif.

Strategi ini juga memiliki kelemahan yaitu counterforce efektif apabila persenjataan strategis Amerika Serikat digunakan sebelum senjata-senjata lawan digunakan. Artinya counterforce dapat merangsang Amerika Serikat untuk melakukan first strike menjadi lebih besar. Ini menyebabkan ancaman perang nuklir menjadi lebih besar karena Uni Soviet akan melihat implikasi tersebut dan melakukan upaya untuk tidak diserang terlebih dahulu. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Uni Soviet mengembangkan ICBM (Inter-continental Ballistic Missile) dan SLBM (Sea Launch Ballistic Missile) pada pertengahan 1960-an. Kondisi ini dapat mengancam terjadinya perlombaan senjata yang tidak terkendali.

Kelemahan tersebut mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan strategi nuklir yang baru. Strategi tersebut disebut sebagai MAD (Mutual Assured Destruction). Strategi ini menekankan pada pemikiran “siapapun yang memulai serangan pertama tidak akan memenangkan perang atau menjadi pihak yang kalah karena kekuatan pukul (second strike) kedua belah pihak akan melakukan pembalasan yang dahsyat”. Pemikiran ini menyebabkan Amerika Serikat berusaha untuk menyusun strategi agar sejumlah persenjataan strategisnya tidak rawan dari serangan-dadakan lawan. Jawaban yang diberikan Amerika Serikat atas kebutuhan tersebut adalah dengan menghentikan pengembangan jumlah ICBM yang dimilikinya sebanyak 1054 namun memperbesar jumlah SLBM-nya sebagai sistem yang tidak rawan serangan-dadakan. Berbeda dengan flexible response yang menggunakan prinsip counterforce, MAD menggunakan prinsip countervalue.

Untuk menjaga agar efek penangkalan dari strategi ini, yaitu kehancuran yang meyakinkan (assured destruction), berjalan efektif Amerika Serikat berusaha memperkuat hubungan keamanannya dengan Uni Soviet dengan melakukan pengawasan senjata. Hal ini dibutuhkan karena jika jumlah senjata telah melebihi dari jumlah yang diperlukan maka nilai strategis dari strategi ini akan hilang. Salah satu pengaruh positif dari MAD adalah dicapainya kesepakatan mengenai ABM (Anti-Ballistic Missile Treaty) dan SALT I (Strategic Arms Limited Talks I) pada tahun 1972.

Namun, perkembangan persenjataan Uni Soviet di tahun 1970-an yang terus meningkat kembali melahirkan kritik terhadap strategi nuklir Amerika Serikat. Strategi MAD dirasa tidak lagi mampu untuk menghadapi persenjataan Uni Soviet yang kemampuannya telah meningkat. Amerika Serikat juga dipandang tidak lagi cukup hanya mengandalkan serangan pada kota-kota dan pusat-pusat industri Uni Soviet. Pemikiran ini berusaha mendorong Amerika Serikat untuk juga menjalankan prinsip counterforce di dalam strategi nuklirnya. Selain itu, Amerika Serikat dipandang perlu untuk meningkatkan kemampuan persenjataannya dan menentukan seperangkat sasaran-sasaran yang akan dihancurkan jika terjadi perang. Kritik-kritik ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai Presidential Directive 59 (PD 59) pada tahun 1980. PD 59 memberikan pedoman-pedoman mengenai apa yang hendaknya dilakukan Amerika Serikat dalam menghadapi konflik dengan Uni Soviet. PD 59 memuat puluhan ribu daftar sasaran yang akan dihancurkan Amerika Serikat jika terjadi perang. Namun, walaupun memuat puluhan ribu daftar target, target-taget tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok besar yaitu: 1) kekuatan nuklir Uni Soviet; 2) Kekuatan konvensional; 3) Pimpinan-pimpinan militer dan politik serta fasilitas komunikasi, dan; 4) Sasaran-sasaran ekonomi dan industri Uni Soviet.

Dalam konsep strategi seperti yang telah diaplikasikan oleh AS dan Uni Sofyet dalam strategi nuklirnya, kehadiran nuklir membawa perubahan konsep strategi klasik dengan adanya konsep sebagai berikut :

  1. Dari serangan yang bersifat agresif menjadi konsep pertahanan yang bersifat efektif.

Adanya teknologi nuklir yang memiliki bahaya yang bersifat sangat luas bagi dunia telah memberikan suatu batasan baru bagi negara yang memilikinya. Walaupun mereka memiliki, mereka tidak dapat menggunakannya. Oleh karena itu, nuklir yang mereka miliki dijadikan perisai yang mencegah serangan dari pihak lawan.

  1. Dari konsep menyerang ke arah konsep menghalangi

Karena nuklir tidak dapat digunakan seenaknya seperti senjata konvensional yang lain, maka konsep strategi negara yang memiliki nuklir terpaksa kembali ke arah yang konvensional pula. Namun yang lebih ditekankan disini adalah konsep menghalangi lawan untuk menghancurkan dan merebut sumber daya tersebut dilakukan dengan menggunakan nuklir sebagai ancaman.

  1. Dari konsep serangan besar-besaran menjadi konsep penangkalan secara besar-besaran

Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence), nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nulir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan. Dalam menjalankan strategi penangkalan nuklir ada beberapa asumsi pokok yang harus dimiliki:

    • Watak defensif, interaksi strategis baru berlangsung pada saat atau setelah serangan pertama dari pihak lawan.
    • Serangan balasan dilakukan dengan mengandalkan persenjataan yang dapat diselamatkan dari serangan pertama lawan.
    • Rasionalitas dan mirror-image, pihak lawan berpikir dengan logika yang sama seperti yang dilakukannya.

Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata defensif dan mengandalkan serangan terhadap obyek-obyek militer (counterforce).

  1. Dari penghancuran ke arah pelucutan senjata

Dampa mengerikan dari nuklir telah membuat negara-negara di dunia dan organisasi internasional mengadakan berbagai perundingan untuk mencari jalan mengenai langkah sebaiknya yang dilakukan untuk menghindari kerusakan masal dari senjata ini. Adanya konsep absolute war yang lebih besar dari total war menyebabkan timbulnya pemikiran untuk membatasi dan mengurangi jumalah senjata yang beredar dengan berbagai ketentuan yang bersifat mengikat.

Sejauh Mana Teknologi Perang Mempengaruhi Studi Strategi

Dengan adanya nuklir tersebut, studi strategi mendapatkan kajian baru yang sangat penting dikaji seara empirik. Pada kondisi yang mengarah ke arah total war, prinsip strategi klasik yang dimiliki oleh tokoh besar pembuat strategi klasik seperti Sun Tzu dalam 33 Strategi perang dapat digunakan untuk mengkaji peperangan yang terjadi, begitu pula degan teori Clausewitz dalam buku On War. Namun karena adanya konsep ’no first use’ pada senjata nuklir, penggunaan konsep klasik dalam mempelajari strategi sangat terbatas dalam lingkup perang konvensional.

Saat ini, keadaan telah berbeda dengan masa strategi klasik dimana teknologi perang telah berkembang di luar persenjataan konversional bahkan nuklir. Studi strategipun dengan ini dihadapkan dengan berbagai pendekatan baru yang memberikan berbagai teori dan bahkan kemungkinan dalam pembuatan sebagai suatu konsep strategi. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam melihat perkembangan teknologi perang. Yang paling penting adalah kekuatan suatu ideologi untuk mempengaruhi strategi dan teknologi di berbagai bidang.

Perkembangan teknologi tak lepas dari perkembangan ideologi. Dalam konsep strategi secara luas, konsep ideologi ini membawa strategi dan teknologi baru dalam peperangan yang dilakukan. Kini perang tidak lagi sebatas memperebutkan wilayah dan sumber daya secara langsung namun strategi berkembang dengan cara penyebaran ideologi agar lawan mau secara ’sukarela’ memberikan apa yang diinginkan. Instrumen perang kini tidak lagi hanya senjata namun juga budaya dan media. Kondisi absolute war seperti inilah yang membawa perang konvensional menjadi perang yang bersifat maya yaitu virtual war.

Penggunaan manajemen strategi dalam pendekatan studi strategi juga mutlak diperlukan karena bidang ekonomi-bisnis virtual war juga terjadi melalui perang saham dan harga pasar. Senjata berupa berbagai produk bermutu tinggi merupakan amunisi yang sangat bermanfaat bagi para produsen dalam usaha untuk memenangkan perang tersebut. Studi strategi mutlak harus memperhatikan hal tersebut karena semua perang yang ada baik perang konvensional maupun virtual merupakan objek kajian dari ilmu ini, walaupun memang perkembangan teknologi perang nuklir dan konvensional hingga saat ini masih lebih dominan mengingat dampak langsung pada manusia yang ditimbulkannya.

Instrumen perang lain yang tidak lepas dan menjadi simbol utama pada perang saat ini adalah media. Informasi sejak masa strategi klasik merupakan nyawa dari setiap kemenangan yang dipeoleh dalam peperangan. Saat ini media dijadikan senjata perang tambahan oleh berbagai pihak sebagai alat untuk mencari informasi, menyerang sekaligus bertahan dari lawan, dan mencari dukungan kawan. Baik dalam perang konvensional maupun virtual, media menjadi penghubung utama antara pihak yang berperang dan pihak ketiga yang menyaksikan perang tersebut.

Oleh karena itu, sangat penting artinya bagi studi strategi untuk melaksanakan ’tugasnya’ dalam mengkaji perkembangan teknologi perang terutama di era pasca perang dingin dan nuklir saat ini untuk menghasilkan berbagai teori dan strategi yang dapat menjelaskan dan digunakan dalam melihat perkembangan senjata dan perang saat ini. Fokus utama studi strategi juga diharapkan mampu mencari langkah yang lebih efektif dalam mengorganisasi pelucutan senjata dan mengontrol penyebaran senjata pemusnah masal dengan berbagai teori yang dihasilkannya. Mengingat perkembangan teknologi sangat besar dampaknya bagi perkembangan studi strategi secara empirik.


No comments: