January 16, 2009

Perang Strategi Dalam Era Nuklir

By: Nataya Rubiena

Abstrak

In nuclear age which is beginning at destroyed Hiroshima and Nagasaki by USA nuclear until now, strategy still in relevant and effective for the way to winning the war. Although strategy in nuclear age is different from conventional strategy which is used in open war, because the strategy is concern about how to deter the enemy and use the second strike method. Furthermore in nuclear age, strategy is the first commodity for obtaining the victory on war, moreover war in nuclear age is the strategy it self, not open war. Because of each states was creating the strategy for deterred their rival’s strategy, then until at the present time the open nuclear war is never happened. For this phenomenon I used term “strategic nuclear war” to describe the war of strategic in nuclear age. Strategic is absolute exist in nuclear age for avoid the massive victims especially in after cold war era, when the states who has the nuclear more than the cold war era and it made many new conflict about nuclear at present time.

Keyword: Era Nuklir, Perang Strategi Nuklir, Perang Dingin, Tokoh Baru

Pendahuluan

Selama ribuan tahun, telah banyak perang yang terjadi di dunia baik itu perang lokal ataupun perang secara masif yang melibatkan beberapa Negara sekaligus. Begitupun metode yang digunakan dalam perang mengalami perkembangan, bahkan ada beberapa nilainya yang mengalami pergeseran dalam tiap era. Sehingga metode dan cara-cara berperang juga turut mengalami perubahan.

Sejak dimulainya perang dingin hingga saat ini, permasalahan tentang keamanan sangat didominasi oleh adanya isu nuklir. Dengan begitu kita telah memasuki era yang disebut dengan nuclear age, yang merubah cara berfikir dan metode analisis tentang perang yang telah beralih dari perang konvensional menuju ke arah perang nuklir. Walaupun pernah digunakan untuk meluluh lantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki di masa Perang Dunia II, namun perang nuklir (yang didefinisikan sebagai penyerangan suatu Negara terhadap Negara lain dengan menggunakan senjata nuklir dan diikuti dengan serangan balasan oleh Negara yang diserang tersebut, juga dengan menggunakan senjata nuklir) belum pernah terjadi hingga saat ini. Namun terror yang disebabkan oleh hadirnya nuklir di tengah-tengah senjata militer dunia mampu membuat perubahan yang cukup signifikan dalam berbagai teori tetang keamanan dan keputusan-keputusan yang diambil oleh suatu Negara.

Hadirnya nuklir, mampu menciptakan terror bahkan juga dapat menciptakan Ballance of Power yang menekan terjadinya perang. Karena masing-masing Negara yang telah memiliki teknologi nuklir ini akan berpikir ribuan kali untuk mulai menyerang Negara lain yang juga memiliki kemampuan nuklir yang sama, dalam kasus ini kita ambil contoh Amerika dan Uni Sovyet saat perang dingin.mereka menggunakan prinsip deterrence yang mengandalkan kemampuan mereka untuk menahan diri untuk tidak menyerang terlebih dahulu, seperti pada saat krisis Cuba yang hampir saja meletuskan terjadinya perang nuklir. Nuklir juga merubah system pengambilan kebijakan dalam struktur militer. Seluruh serangan yang akan dilakukan dengan senjata nuklir harus seizin dari panglima tertinggi, hal ini tidak terjadi pada perang konvensional, seorang prajurit tidak perlu meminta izin kepada panglima perang untuk melakukan serangan terhadap musuh dalam arena peperangan.

Dalam bukunya “The Art of War”, Sun Tzu sangat menekankan pentingnya faktor prajurit yang terlatih dan geografi dalam perang[1], namun dalam perang nuklir hal itu tidak menjadi sesuatu hal yang krusial lagi. Tidak perlu adanya prajurit terlatih, yang diperlukan hanyalah Decision Maker dan ”penekan tombol” untuk mengirimkan nuklir ke pihak musuh. Lalu faktor geografi, dalam perang nuklir juga ada pertimbangan dengan letak geografis suatu target, namun nilainya berbeda dengan geografi yang dimaksudkan musuh, bila Sun Tzu mempertimbangkan cuaca, persediaan makanan dan medan yang berat sebagai faktor-faktor dalam geografi, dalam perang nuklir pertimbangan geografis didasari jauh dekatnya letak target dengan letak missil yang akan dikirim, walaupun missil bisa di arahkan ke seluruh dunia, lebih baik jika jarak tempuh missil lebih dekat sehingga akan lebih menjamin keakuratan sasaran.

Dengan berbagai perubahan dalam pengambilan keputusan dan faktor-faktor dalam era nuklir ini, muncul sebuah pertanyaan yang mau tidak mau hadir dalam berbagai perubahan yang terjadi dalam pergeseran dari perang konvensional ke perang nuklir, apakah strategi masih ada dan relevan dalam nuclear age saat ini?

Banyak teori baru muncul ketika era nuklir dimulai, terutama saat perang dingin Amerika Serikat dan Uni Sovyet berlomba-lomba mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan nuklir yang mereka kembangkan sebagai senjata militernya. Contohnya adalah Nuclear Unilitazion Theory (NUT)[2] yang diusung oleh para schoolars realis dan para praktisi militer di Amerika ketika perang dingin telah memasuki tingkat ketegangan yang paling puncak. NUT atau juga disebut sebagai limited war ini sangat menyokong penggunaan senjata nuklir di dalam perang, dengan kata lain bagi mereka nuklir bukan hanya sebagai alat detterence tetapi juga dapat digunakan sebagai senjata pamungkas untuk mencapai kemenangan, walaupun mereka yang menganut teori ini tidak menyangkal bahwa akan terjadi kerusakan yang sangat massif bila memang terjadi perang nuklir. Teori itu muncul sebagai reaksi Uni Sovyet yang justru meningkatkan produksi senjatanya padahal sebelumnya telah mengadakan perjanjian dengan Amerika untuk mengurangi jumlah hulu ledak mereka. Dan pada tahun-tahun berikutnya muncul berbagai strategi yang berusaha untuk mematahkan strategi pihak lawan, hingga akhirnya terjadilah perang strategi.

Teori tersebut jelas mengindikasikan bahwa dalam era nuklir peranan strategi masih diperlukan dan juga masih relevan dalam menghadapi ancaman perang nuklir. Justru dalam perang nuklirlah strategi sangat krusial karena justru yang terjadi dalam era nuklir ini adalah perang strategi nuklir, bukan perang nuklir. Jadi bagaimana suatu Negara menyiapkan suatu strategi untuk kapan nuklirnya hanya akan menjadi alat defense dan kapan menjadi sebuah senjata perang atau bagaimana suatu Negara membuat strategi nuklir untuk melawan strategi nuklir Negara rivalnya. Sehingga strategi menjadi komoditi utama dalam Nuclear Age.

Nuclear Age dan Perkembangannya

Sebagaimana telah disinggung di atas, era nuklir dimulai ketika Amerika menjatuhkan bom atomnya di atas Hiroshima dan Nagasaki yang juga sebagai penanda berakhirnya era perang konvensional. Di tahun yang sama dimulai pula perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Dengan kata lain, sejak awal dimulainya perang dingin era nuklir juga telah dimulai, sehingga selama era perang dingin, nuklir menjadi isu utama dalam masalah keamanan dunia dan pada saat perang dinginlah era nuklir mencapai puncak ketegangan, walaupun pasca perang dingin negara-negara yang mengembangkan nuklir jauh lebih banyak daripada era perang dingin, bahkan sekarang negara-negara kecil dan berkembang juga mulai memproduksi teknologi nuklir.

Pada awal perang dingin, sekitar tahun 1945-1949 Amerika menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki tekhnologi nuklir, sehingga pada masa tersebut nuklir belum menjadi isu yang mengancam keamanan dunia, karena Amerika dianggap dapat menjadi polisi dunia dengan memiliki nuklir sebagai alat compelance terhadap negara-negara lain terutama Uni Soviet sebagai rival utama yang saat itu masih belum memiliki tekhnologi tersebut. Namun pada tahun 1949 ketika Uni Sovyet melakukan percobaan nuklirnya, situasi dengan drastis berubah. Hal ini mengindikasikan bahwa Uni Sovyet juga telah memiliki tekhnologi nuklir yang berarti kekuatan kedua negara telah berimbang saat itu, sehingga keamanan dunia mulai terancam dengan ketakutan akan kemungkinan munculnya perang nuklir antara dua super power tersebut.

Namun ketakutan yang dimunculkan oleh perimbangan kekuatan itu justru membuat keadaan yang absent of violence karena masing-masing pihak sadar akan besarnya kerusakan yang akan ditanggung bila perang nuklir akhirnya sungguh terjadi, sehingga mereka lebih mengutamakan penggunaan strategi detterence dalam penggunaan nuklirnya. Namun strategi detterence ini harus benar-benar kemampuan masing-masing pihak untuk menahan diri agar tidak melakukan serangan pertama yang dapat berakibat datangnya serangan balasan yang dilakuakn oleh musuhnya dan akhirnya benar-benar akan terjadi perang nuklir. Situasi dimana pernah terjadi gesekan yang amat panas antara Amerika dan Uni Sovyet adalah pada saat krisis Cuba. Dalam peristiwa tersebut hanya karena kemampuan menahan diri agar tidak menyerang terlebih dahulu dari masing-masing pihaklah yang menahan terjadinya saling kirim rudal. Namun bila salah satu pihak tidak mampu untuk tidak melakukan serangan pertama, maka perang nuklir akan meletus saat itu juga.

Sampai berakhirnya perang dingin, era nuklir belum usai. Walaupun Uni Sovyet telah runtuh sebagai sebuah negara, namun penerusnya yaitu Russia masih meneruskan produksi nuklir mereka. Hal ini dikarenakan karena keinginannya agar tidak ada intervensi asing yang masuk ke dalam internalnya dalam proses pemulihan dan memperkuat persemakmuran negara-negara merdeka bekas satelitnya menjadi konfederasi yang terintegrasi.

Namun pada dasarnya menurut Scott D Sagan[3] sebuah negara merasa perlu mempersenjatai dirinya dengan nuklir disebabkan oleh dasar pemikiran kaum realis yang fokus pada usaha negara untuk meningkatkan keamanan nasionalnya dari ancaman pihak asing terutama dari ancaman nuklir. Belum lagi karakter bangsa Russia yang memilki sejarah sebagai imperium besar yang menguasai separuh benua Eropa sehingga menciptakan suatu pola berpikir yang arogan dan selalu bersaing dengan Amerika. Tokoh-tokoh baru muncul dalam kepemilikan nuklir pasca perang dingin. Bahkan di antaranya adalah negara kecil dan negara berkembang seperti, Iran, Korea Utara dan India. Walaupun tidak digunakan sebagai senjata perang, namun nuklir yang mereka miliki cukup membuat gerah Amerika Serikat yang membuatnya selalu menekan negara-negara selain Dewan Keamanan tetap PBB untuk melucuti nuklir mereka.

Perang Strategi Nuklir Dalam Era Perang Dingin (Amerika vs Uni Sovyet)

Pada awal perang dingin, walaupun pada tahun 1949 Sovyet sudah mampu menguasai tekhnologi nuklir namun ketika zaman Joseph Stalin berkuasa, nuklir baginya bukan suatu alat penentu kemenangan dalam peperangan. Penganut Marxisme ortodoks ini berpendapat bahwa kemenangan di dalam setiap pertempuran hanya ditentukan oleh disiplin moral pasukan, sehingga dasar pemikirannya masih menganut sistem konvensional. Namun pada tahun 1950an, Amerika mulai memberlakukan Massive Retaliation Strategy[4]yang menyatakan bahwa kekuatan nuklir strategis dan taktis Amerika digunakan tidak saja untuk menangkal serangan nuklir terhadap Amerika dan sekutunya melainkan juga untuk menangkal setiap serangan negara-negara komunis terhadap negara lain di seluruh dunia.

Untuk mendukung strategi tersebut Amerika mengembangkan bom hidrogen, senjata nuklir taktis dan pesawat pembom jarak jauh B-52. melihat betapa gencarnya Amerika mempersenjatai dirinya dengan nuklir, mau tidak mau phak Uni Sovyet harus mengakui betapa perlunya nuklir sebagai senjata perang. Pada dekade yang sama di Uni Sovyet muncul perdebatan antara kelompok Tradisionalis dan Modernis tentang penggunaan senjata nuklir. ahkirnya diambil jalan tengah dengan tetap mempertahankan tingkat kepemilikan senjata konvensional namun di saat yang bersamaan juga mengembangkan senjata nuklir.

Namun pada dekade 60an di Uni Sovyet terjadi pergantian kekuasaan, sehingga terjadi pula perubahan kebijakan tentang nuklir. Ketika Kruschev berkuasa bersama dengan menteri pertahanannya, Malinovski, kebijakan mereka tentang strategi nuklir sangat agresif. Mereka membuat doktrin nuklir yang menyatakan bahwa senjata nuklir akan digunakan pada serangan tiba-tiba di setiap perang lokal yang melibatkan Amerika Serikat atau perang antara kubu sosiali dan kapitalis yang pasti meningkat menjadi perang nuklir total. Jelas sekali tampak bahwa doktrin nuklir Kruschev ini sebagai balasan dari strategi retaliasi masive Amerika Serikat. Dalam dekade yang sama Amerika merubah lagi strateginya ketika melihat respon Uni Sovyet yang agresif tersebut menjadi Flexible Response Strategy yang intinya adalah terletak pada kefleksibelan Amerika dalam menghadapi ancaman keamanan dengan cara meningkatkan kemampuan menghadapi semua bentuk perang baik besar-besaran, terbatas, konvensional ataupun nuklir. strategi ini menekankan akan counterforce dengan dalih untuk mengurangi korban dari pihak sipil.

Namun dengan mengedepankan counterforce maka akan merangsang Amerika untuk melakukan langkah pertama dalam menyerang. Strategi ini semakin memperuncing keadaan, karena Uni Sovyet juga merasa harus menyerang terlebih dahulu sebelum diserang oleh Amerika yang akan melakukan counterforcenya. Uni Sovyet yang pada pertengahan 60an (1964) telah berganti pemerintahannya juga melakukan perombakan terhadap doktrin nuklir Kruschev. Breznev-Kosygin telah merombak doktrin tersebut dari kata ”yang melibatkan Amerika Serikat atau perang antara kubu sosiali dan kapitalis yang pasti meningkat menjadi perang nuklir total” menjadi ”Uni Sovyet akan menjawab tantangan Amerika Serikat pada setiap konflik, lokal dan global dengan senjata konvensional ataupun senjata nuklir”.

Perombakan doktrin tersebut diikuti dengan kebijakan Sovyet dalam pengembangan Inter-Continental Ballistic Missile (ICBM) dan Sea Launch Ballistic Missile (SLBM). Kondisi ini menyebabkan terjadinya perlombaan senjata nuklir yang semakin mempertajam terror nuklit sebagai pencetus utama perang dunia ketiga dan perang nuklir pertama. Oleh karena itu, pada dekade berikutnya di Washington berkembanglah pemikiran bahwa nuklir dapat dialihkan dari senjata strategis menjadi senjata pencegah serangan. Maka muncullah teori Mutual Assured Destruction (MAD) yang menekankan pada pemikiran, siapapun yang memulai serangan pertama tidak akan memenangkan peperangan, karena kekuatan pukul (second strike) kedua belah pihak akan melakukan pembalasan yang dahsyat, sehingga tidak akan ada yang selamat.

Menurut Coulumbis[5], MAD tergantung pada kemampuan kedua negara adidaya dalam menahan serangan nuklir pertama dan berkemampuan membalas sehingga menimbulkan kerusakan yang tidak bisa diterima penyerangnya. MAD menggunakan prinsip countervalue bukan conterforce seperti sebelumnya. Salah satu pengaruh positif dari MAD adalah dicapainya kesepakatan mengenai Anti Ballistic Missile Treaty (ABM) dan Strategy Arms Limited Talks I (SALT I) antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet pada tahun 1972 yang berusaha menekan jumlah senjata nuklir ang dimiliki kedua belah negara. Namun sayangnya perkembangan persenjataan Uni Sovyet pada tahun 1970an masih terus meningkat, sehingga MAD dinilai gagal dalam usahanya mengurangi ketegangan akibat perlombaan senjata. Hingga pada dekade 1980an hubungan antara dua negara memburuk.

Beberapa kalangan akademisi mempertanyakan kerelevanan teori MAD yang dinilai gagal tersebut, sehingga muncul teori baru yang lebih ekstrim dan agresif yaitu Nuclear Unitilzation Theory (NUT). Teori ini memperbolehkan atau mengizinkan nuklir dipergunakan sebagai senjata untuk mencapai kemenangan dalam perang dan bukan hanya sebagai alat untuk penangkis saja. Yang mengusung teori ini adalah para akademisi hubungan internasional dan para praktisi militer yang beranggapan bahwa sikap ini perlu diambil karena Uni Sovyet telah siap untuk perang nuklir dan tidak ada niatan dari mereka untuk mengurangi senjata nuklirnya. Sehingga diperlukan suatu strategi untuk menghadapinya. NUT menggunakan prinsip ”hancurkan senjata musuhmu sebelum mereka menghancurkan senjatamu”. Dalam dekade ini pula presiden Reagan mengembangkan Strategic Defense Inisiative (SDI) yang mengembangkan tekhnologi bagaimana menghentikan rudal nuklir di angkasa luar sehingga membuat senjata nuklir lumpuh dan ketinggalan jaman, strategi ini populer dengan sebutan star wars.

Namun akhir dekade 80an Uni Sovyet runtuh dan dengan resmi berakhirlah perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Tetapi era nuklir masih belum berhenti sampai di situ, justru pemilik nuklir semakin meluas dan konfliknya juga semakin melebar.

Strategi, Konflik dan Tokoh-Tokoh Baru Pasca Perang Dingin

Selepas perang dingin bukan berarti konflik tentang nuklir berakhir. Pada awal berakhirnya perang dingin Amerika menjadi negara super power tunggal yang menyebabkan dunia berada dalam sistem unipolar. Keadaan itu oleh Amerika dimanfaatkan untuk mengontrol negara-negara yang memiliki nuklir dengan mendirikan Non-Proliferasi Traktat (NPT) yaitu suatu organisasi negara-negara pemilik nuklir. Amerika Serikat juga mengadakan perjanjian dengan Russia yaitu Strategic Arms Reduction Treaty (START) yang diadakan tahun 1993. isi perjanjian tersebut adalah kesepakatan untuk mengurangi nuklir mereka dari 12.000 hulu ledak pada tahun 90an menjadi 3000 dan 3500 pada tahun 2003, nmaun karena masalah politik dan teknis pada tahun 1997 target tahun yang dicapai diperpanjang menjadi tahun 2007. sebelumnya pada tahun 1991 presiden George Bush Senior juga telah mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya terutama yang berada di Jerman barat.

Namun di luar semua itu, muncul pemilik-pemilik baru nuklir yang sebelumnya di luar prediksi. Sebagai dewan keamanan PBB Inggris, China dan Prancis memang selayaknya memiliki tekhnologi nuklir baik untuk senjata atau tidak, namun munculnya Korea Utara, India, Pakistan, Iran dan Israel sebagai pemilik nuklir membuat beberapa konflik baru pasca perang dingin. Namun di antara semua konflik itu mau tidak mau kita tetap melihat tangan Amerika menjadi penentu boleh tidaknya suatu negara untuk memiliki tekhnologi nuklir pun begitu tidak semua negara menggunakan tenaga nuklir sebagai senjata perang. Begitu banyak konflik dari pengadaan nuklir pada tiap-tiap negara tersebut, sehingga saya perlu memfokuskan masalah yang akan dibahas,yaitu tentang perbedaan sikap yang diambil Amerika terhadap pemilikan nuklir Iran dan India.

Sebagaimana kita tahu, Amerika Serikat dan teman-teman baratnya sangat mengecam pengembangan nuklir yang dikembangkan oleh Iran, padahal Iran adalah negara anggota NPT dan pengembangan nuklirnya berada dalam pengawasan Badan Energi Atom Internasional Atau IAEA, lagipula alasan Iran mengembangkan energi nuklir adalah sebagai pembangkit listrik. Namun Amerika dengan sangat arogan mengecam dan menekan Iran dengan ancaman-ancaman. Sangat jauh berbeda sikap Amerika terhadap India yang justru bukan anggota NPT dan pernah melakukan uji coba nuklir teakhir pada tahun 1998. dengan India Amerika Serikat mengadakan perjanjian kontrak kerjasama senilai 27 miliar USD, padahal awalnya ketika pertama kali India melakukan percobaan nuklirnya pada tahun 1974, Amerika dan dewan keamanan PBB memberikan sanksi dengan memblokir akses tekhnologi nuklir dari negara-negara eropa. namun kini Amerika Serikat yang menjadi perumus sanksi untuk India tersebut justru melakukan kontrak kerjasama nuklir dan memberikan akses tekhnologi nuklir termaju kepada India. Padahal jelas pada NPT terdapat pasal yang melarang negara anggota untuk menjalin kerjasama nuklir kepada non-anggota.

Pada awal perintisan tekhnologi nuklir di Iran, Amerika justru mendukung dengan penuh apa yang dilakukan Iran di bawah pemerintahan Shah Palevi. Tahun 1956 Iran mengesahkan pusat atom di Universitas Tehran[6], dan sebelas tahun kemudian Amerika Serikat memberikan fasilitas reaktor dan memberikan tenaga-tenaga ahlinya untuk mengembangkan nuklirnya. Namun akhirnya terjadi revolusi di dalam negeri Iran dan rezim Islam naik menjadi pemegang kekuasaan. Dan seketika Amerika menarik semua bantuan dan mengecam pengembangan nuklir Iran. Namun akhirnya Iran dapat berdiri sendiri untuk mengembangkan tekhnologi nuklirnya tanpa bantuan pihak asing, hal ini justru meresahkan Amerika, ketakutan akan dominasi Iran sebagai pemilik nuklir di daerah timur tengah menjadi alasan utama karena Amerika memiliki kepentingan minyak di daerah tersebut.

Belum lagi rasa terancam yang dimiliki Israel sebagai sekutu Amerika jika Iran memiliki tekhnologi nuklir. Walaupun begitu Presiden Iran saat ini Mahmud Ahmadinejad tetap kukuh mempertahankan kepemilikan nuklir mereka seperti yang dikatakan wakilnya, Parviz Dawoud, bahwa program nuklir Iran masih berada dalam hukum internasional dan sistem hukum, dan hak ini harus dihargai oleh semua negara di dunia[7]. Dengan pernyataan tersebut, maka dengan tegas Iran menolak iming-iming hadiah Amerika jika mereka menghentikan nuklirnya dan menerima tantangan akan sanksi bila terus melanjutkan program nuklir mereka.

Berbeda dengan India, memang pada awalnya proyek nuklir mereka sempat dikecam bahkan juga diberi sanksi. Namun sikap Amerika Serikat berubah menjadikan India sebagai anak emas dimulai pada pasca perang dingin. Ketika perang dingin, walaupun mengikuti Gerakan Non-Blok, namun ada kecenderungan ke arah blok timur dan ketika blok tersebut runtuh India banting setir pro arah barat. Sikap India ini plus pasarnya yang sangat besar dan wilayahnya yang luas dilihat Amerika sebagai negara yang memiliki potensi besar untuk berkembang dan pansa pasar yang potensial, sehingga sikap Amerika Serikat berubah menjadi ”kebapakan” dengan menawarkan bantuan dan kerjasama dalam bidang pengembangan nuklir yang bagi India digunakan sebagai tekhnologi pengganti minyak bumi.

Dari perbandingan sikap Amerika tersebut dapat dilihat bahwa Amerika memiliki kemampuan untuk ”mengizinkan” negara mana yang boleh memiliki nuklir dan negara mana yang ”haram” untuk memilikinya, dan dasar Amerika mengizinkan atau tidak negara memiliki nuklir adalah atas kepentingan nasionalnya. Sehingga mau tidak mau kita lihat bahwa Amerika masih memiliki kemampuan untuk turut campur dalam kepemilikan nuklir di dunia.

Kesimpulan

Bahwa keberadaan strategi pada era nuklir masih sangat relevan, bahkan menjadi komoditi utama saat perang dingin di mana era nuklir mencapai puncak ketegangannya. Di era ini strategi menrupakan hal yang diperangkan, maksudnya adalah perang nuklir tidak pernah mengalami perang terbuka dan langsung melibatkan hulu ledak yang pada akhirnya berujung pada kerusakan masif pada masing-masing pihak. Di era nuklir, perang yang terjadi adalah perang pengaturan strategi, bagaimana strategi yang akan dibuat mampu menggetarkan dan mematahkan strategi lawan, sehingga tingkatan perang ini sama seperti tingkat perang menurut Sun Tzu yaitu kemenangan tanpa berperang[8].

Perang semacam itu dengan sangat intens terjadi pada era perang dingin dengan absennya perang terbuka antar kedua blok, namun tetap terjadi geratakan-gertakan lewat strategi dan doktrin mereka tentang nuklir. Perang strategi nuklir ini membuat dunia berada dalam keadaan Ballance of Power yang mana justru menjadi keadaan non-perang, sehingga bisa dikatakan dunia berada dalam keadaan damai pada saat terror sedang hangat terjadi.

Akhir era perang dingin pun tidak ditutup sebagai akhir era nuklir pula, justru kepemilikan nuklir semakin meluas. Hal ini menimbulkan konflik yang melebar, tidak hanya masalah keamanan dan ideologi seperti Amerika dan Uni Sovyet, tetapi melebar menjadi konflik agama dan ekonomi. Di sini tampak sekali Amerika memegang peranan penting sebagai pengendalinya, ia berhak menentukan mana yang diperbolehkan memiliki nuklir dan mana yang harus dikenai sanksi karena memilkinya. Ironisnya Amerika bertindak sesuai dengan kepentingannya, sehingga menimbulkan ketidak adilan bagi negara-negara yang dilarang memiliki nuklir karena alasan yang bagi Amerika menjadi ancaman baginya. Strategi yang diambil Amerika tersebut jelas berusaha mengukuhkan legitimasinya sebagai super power tunggal dan tidak ingin ada potensi munculnya kekuatan baru yang akan mengancam tatanan dunia menjadi multipolar.

Jadi, strategi sangat mutlak diperlukan terutama dalam masa nuclear age sebagai komoditi yang penting untuk menghindari perang terbuka dengan strategi penggertak dan penangkisan. Justru bila strategi absen dari era nuklir, maka yang terjadi adalah perang terbuka nuklir yang pasti akan membawa korban dan kerusakan secara masif.



[1] S. Tzu. Translated by Clearly, T. The Art of War, SHAMBALA press, Boston, 1988, p. 178

[2] K. Osman, The unconventional logic nuclear arrogance breeds (online), 1997, avalaible: http://www.muslimedia.com/archives/special98/nuclear.htm, (27 Desember 2008 )

[3] F. Luthfi , Nuclear Strategy : Sebuah Kajian Teoritis (online), 2008, avalaible: http://skiasyik.wordpress.com/2008/04/02/sreategi-nuklir/ homepage.htm, (27 Desember 2008)

[4] W. A. Prajuli, Perkembangan Strategi Nuklir (online), 2008, avalaible: http://teori2hi.multiply.com/journal/item/8/Perkembangan_Strategi_Nuklir, (27 Desember 2008)

[5] A. Setiawan, Doktrin Strategi Perang Dingin dan Sesudahnya (online), 2008, avalaible: http://theglobalpolitics.com/?p=24, (27 Desember 2008)

[6] Resistensi Nuklir : Sketsa Perjuangan Bangsa Iran Menggapai Kemajuan (online), undated, avalaible: http://www.irib.ir/worldservice/melayuRadio/nuklir/resistensi.htm, (27 Desember 2008)

[7] Metrotvnews.com, Dawoudi: Program Nuklir Iran Untuk Tujuan Damai (online), 2006, avalaible: http://202.158.49.22/berita.asp?id=17376, (27 Desember 2008)

[8] ibid


No comments: