Abtracts
There’s a norm which is believed by international relations scholars that there will no nuclear war. It was indicated that in nuclear age –Cold War era-, the weapons just used as deterrence strategy. The revolutionary transformation of classic strategy into the nuclear one was assured as the disappearance of trial. This notion, of course, ignored the possibility of nuclear war. But, the recent realms of international relations either theoretically or practically, should change the perception. This writing is surely futuristic and, of course, should point the criterias or the assumptions and certain case so then I can tell that the nuclear war will be possible, something which is generally thought impossible to take place.
Keywords: nuklir, disappearance of trial, nuclear deterrence, contemporary phenomenon, nuclear war
Pendahuluan
Terdapat sebuah pertanyaan mendasar yang acapkali hinggap di benak penulis terkait konstelasi politik internasional kekinian. Hal tersebut terutama dikaitkan dengan isu nuklir yang membawa arah masa depan politik dunia kian tak menentu. Kasus yang paling fenomenal adalah aksi terorisme di Pentagon dan WTC, Amerika Serikat, pada 9 September 2001 dan yang paling mutakhir adalah permasalahan klasik yang ibarat “borok” antara India dan Pakistan yang muncul kembali ditandai Tragedi Mumbai awal Desember[1] 2008 silam.
Penulis menilai bahwa keyakinan para penganut paradigma klasik nuclear strategy yang menekankan pada nuclear deterrence dimana nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nuklir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan, perlu dikritisi. Hal ini perlu dilakukan karena jika tidak maka mindset para pemerhati politik internasional akan terfokus pada suatu doktrin yang dapat menyesatkan, yakni kepercayaan total atau taqlid buta bahwa there will no nuclear war. Padahal kita tahu bagaimana pengaruh proliferasi nuklir dalam percaturan politik global sebagaimana disinyalir oleh Michael Mandelbaum[2], akan sangat berdampak pada nuclear armaments on the balance of power, alliances dan the behavior of national leaders. Artinya, perkembangan isu nuklir juga akan membuat adanya pergeseran demi pergeseran yang pada akhirnya akan memungkinkan terjadinya perang nuklir yang berarti itu telah keluar dari pakem - asumsi pokok- yang ada.
Kemungkinan banyak kalangan yang skeptis dengan hipotesa ini mengingat secara historis, “serpihan-serpihan sejarah” memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada instrumen untuk memenangkan perang apalagi selama Perang Dingin yang dianggap sebagai nuclear age perang ini tak pernah menjadi kenyataan. Dalam tulisan ini, penulis akan berpijak pada strategi nuklir dengan asumsi pokok yang mendasarinya serta mencoba “mengais beberapa serpihan sejarah” lainnya yang masih berserakan[3] di sana-sini dan mencoba mengkombinasikannya dengan perkembangan politik internasional kontemporer saat ini dan “membuat” beberapa kriteria yang memungkinkan untuk terjadinya perang tersebut serta membuktikan bahwa hipotesa di atas cukup berdasar.
Strategi Nuklir: Sebuah Nuclear Deterrence?
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, meskipun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang, sejarah menunjukkan sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan daripada untuk memenangkan perang. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena kedua Blok baik Barat maupun Timur yang saling bertikai, saat Perang Dingin (era di mana oleh banyak pihak dianggap sebagai nuclear age), memiliki kapasitas nuklir yang relatif berimbang, sehingga kedua belah pihak merasa akan terkena dampak besar jika sampai terlibat perang nuklir.
Di dalam nuclear deterrence, nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nuklir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan dan hal ini juga yang membuat bahwa nuclear strategy lebih bersifat executive decision.
Ada beberapa asumsi pokok dalam nuclear deterrence yaitu, pertama, sifatnya yang defensif, dimana interaksi baru akan terjadi pada saat atau setelah serangan pertama (first strike) dari pihak lawan diberikan. Kedua, Serangan balasan (second strike) dilakukan dengan mengandalkan persenjataan yang dapat diselamatkan dari serangan pertama pihak lawan dan yang terakhir adalah rasionalitas dan mirror-image. Berdasarkan asumsi ini maka pihak lawan dinilai berpikir dengan logika yang sama seperti yang dilakukannya karena yang akan menjadi korban apabila sampai terjadi perang nuklir tidak hanya pihak lawan tetapi ia sendiri. Dengan asumsi tersebut kemudian terjadi perubahan strategi[4] – dari classic strategy ke nuclear strategy – yaitu:
1. perubahan dari yang bersifat aggresive offense menjadi effective defense
2. dari to attack menjadi to deter
3. strategi massive attack menjadi massive retaliation
4. to subdue menjadi to disarm.
Perkembangan nuklir yang begitu pesat dan adanya perubahan revolusioner dalam tataran strateginya membuat banyak kalangan percaya pada sebuah norm akan munculnya disappearance of trial, karena dahsyatnya dampak negatif yang akan ditimbulkan sehingga selama ini nuklir memang diklaim hanya sebagai strategi penangkalan. Untuk memantapkan hal itu sejumlah negara melakukan suatu perjanjian bersama yang dikenal dengan Non-Proliferation Treaty (NPT)[5] pada 1 Juli 1968. Pada dasarnya perjanjian ini memiliki tiga pokok utama, yaitu non-proliferasi, pelucutan senjata nuklir, dan hak penggunaan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Tetapi yang menjadi kecemasan negara-negara penandatanganan perjanjian tersebut adalah tidak semua negara ternyata ikut terlibat dalam perjanjian itu. Bahkan kepada kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan China, mereka diberikan keleluasaan untuk tetap memiliki senjata nuklir berdasarkan Perjanjian Non-Proliferasi itu sendiri, sehingga mereka dikenal dengan sebutan negara pemilik senjata nuklir atau Nuclear Weapon States.
Walaupun kelima negara pemilik nuklir tersebut telah menyetujui untuk tidak menggunakan senjata nuklirnya terhadap negara-negara non-nuklir, tetapi tetap saja mereka memberikan pengecualian untuk merespon jikalau terdapat serangan nuklir atau serangan konvensional yang ditujukan kepadanya. Hal ini berarti mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada satu negara pun di dunia ini yang terbebas dari ancaman serangan nuklir. Diperparahnya lagi, Amerika Serikat telah mengindikasikan bahwa mereka akan menggunakan senjata nuklirnya untuk membalas penyerangan non-konvensional yang dilakukan oleh negara-negara yang mereka anggap “berbahaya” sesuai dengan tafsiran mereka sendiri. Artinya, penggunaan nuklir sebagai alat untuk memenangkan perang akan “menyeruak” tatkala konstelasi politik internasional karena logika negara akan mementingkan national interest dengan instrumen military power[6] termasuk di sini adalah nuklir itu sendiri. Anggapan ini cukup reasonable jika kita melihat bahwa pada kenyataannya pengembangan kepemilikan weapon of mass destruction seperti halnya senjata nuklir memperlihatkan domino effect theory. Apabila satu pihak disinyalir akan memulai, maka yang lainnya – pesaing atau musuh – akan mengambil langkah yang sama (mirror- image) untuk bisa mengunggulinya.
Dalam sejarah, Amerika Serikat diketahui telah melakukan pengembangan senjata nuklir untuk pertama kalinya ketika Perang Dunia II berlangsung. Hal ini dikarenakan badan intelijen Amerika (CIA) mencurigai tenaga ahli Nazi-Jerman telah berhasil mengembangkan teknologi senjata nuklir, salah satunya dengan proyek Roket V2. Sehingga Amerika Serikat pun merampungkan pengembangan teknologi senjata nuklir sekaligus memproduksinya dan pada tahun 1945 berhasil melakukan uji coba pertamanya dengan nama sandi “Trinity”. Jika negara lain menjadikan senjata nuklir sebagai deterrence maka AS lah satu-satunya negara yang “tega” menggunakan senjata nuklir terhadap negara lainnya yakni ketika bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945 guna memenangkan perang dengan Jepang. AS juga telah mengembangkan senjata Hidrogen Bomb dengan uji coba bersandi “Ivy Mike” pada tahun 1952 dan versi yang dapat digunakan dalam peperangan bersandi “Castle Bravo” 2 tahun kemudian. Ini kemudian diikuti oleh Uni Soviet pada 1953 dengan sandi “Joe Four” dan senjata bom hidrogen dengan sandi “RDS-37” 2 tahun kemudian dan Uni Soviet telah melakukan uji coba jenis bom terkuat yang pernah ada bersandi “Tsar Bomba” berkekuatan 100 megaton tetapi sengaja dikurangi menjadi 50 megaton. Dan perseteruan ini diikuti pula oleh Inggris, Prancis dan China.
Terlepas bahwa uji coba itu dilakukan sebelum ditandatanganinya Perjanjian Non-Proliferasi tahun 1968, akan tetapi fenomena nuklir internasional tidak otomatis berhenti dengan perjanjian tersebut. Pasca perjanjian itu, India yang tidak pernah menjadi anggota NPT tetapi melakukan uji coba senjata nuklir yang diklaim sebagai senjata nuklir damai dengan sandi Smiling Buddha pada 1974 dan menjadi uji coba nuklir pertama pasca ditandatanganinya perjanjian NPT sehingga mendapat pertanyaan dunia bagaimana teknologi nuklir sipil bisa digunakan untuk kepentingan persenjataan. Bahkan pada tahun 1998, uji coba kedua dengan sandi Operasi Shakti dilakukan. Disinyalir hal ini untuk menunjukkan pada RRC bahwa India juga memiliki kemampuan di bidang nuclear weapons. Kesemuanya itu merupakan hasil kerjasama India dengan Amerika Serikat. Suatu tindakan yang diharamkan berdasarkan Bab 3 ayat 2 Perjanjian NPT yang menyebutkan, negara-negara pemilik teknologi nuklir dilarang untuk mengirimkan peralatan atau mentransfer teknologi ke negara-negara non-NPT[7], bahkan untuk proyek nuklir bertujuan damai sekalipun. Hal ini ditetapkan dengan alasan bahwa negara-negara non-NPT berada di luar pengawasan IAEA sehingga aktivitas mereka tidak bisa dikontrol. Kenyataan menunjukkan bahwa AS, Perancis, dan Inggris secara terang-terangan membantu proyek pembuatan senjata nuklir di Israel.
Pakistan sebagai tetangga terdekat India dan memiliki dendam sejarah dan politis hingga sekarang, mengikuti jejaknya dengan melakukan uji coba senjata nuklir pada tahun 1998 di Chagai Hills. Ironisnya, pengembangan senjata nuklir Pakistan dimulai sejak 1970an dan mayoritas dari reaktor nuklir pakistan dibangun di bawah tanah, dekat ibukota Islamabad dengan bantuan semuanya dari weapons states. Terakhir adalah Korea Utara yang melakukan uji coba nuklir pada tanggal 9 Oktober 2006 setelah keluar dari keanggotaan NPT pada 10 Januari 2003 karena perlakuan diskriminatif weapon states dalam mengembangkan teknologi nuklir di negara non-nuklir. Peristiwa tak kalah menariknya adalah laporan dari Natural Resources Defense Council dan Federasi Ilmuwan Amerika Serikat, Israel, satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah disinyalir telah memiliki senjata dengan hulu ledak nuklir sejumlah antara 75-200 buah[8] dan pernah melakukan uji coba nuklir hasil kerjasama dengan Afrika Selatan pada 1979 di Samudera Hindia yang terkenal dengan istilah Insiden Vella.
Secara teoretik, sebagaimana telah disebutkan di atas, nuklir lebih diarahkan sebagai deterrence strategy, tetapi bukti di lapangan menunjukkan fakta yang terbalik. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri, apakah benar nuklir memang diarahkan pada strategi penangkalan. Serpihan sejarah yang berserakan justru memberikan realitas berbeda. Apalagi pasca tumbangnya komunisme menyebabkan Amerika Serikat mengubah strategi nuklirnya[9]. Pada tahun 1991, George Bush mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama yang terdapat di Jerman Barat. Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa kemungkinan Perang Dunia Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di Uni Soviet melakukan hal yang serupa.
Pada tahun 1994 dilakukan peninjauan ulang atas sifat, peran dan jumlah senjata-senjata nuklir Amerika Serikat. Hasil dari peninjauan ulang ini adalah Nuclear Posture Review (NPR) 1994. Namun, isi dari NPR 1994 ini masih bersifat konservatif. Amerika Serikat masih mengambil sikap yang terbilang fleksibel dalam menghadapi perubahan politik internasional yang terjadi. Pasca Perang Dingin mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan pengaturan pengontrolan senjata nuklir. Upaya Amerika Serikat ini berpusat pada perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty) II yang disepakati tahun 1993. START II berisikan kesepakatan Amerika Serikat dan Rusia untuk mengurangi jumlah senjata nuklirnya: dari 12.000 hulu ledak nuklir pada tahun 1990 menjadi antara 3000 dan 3500 pada tahun 2003. Namun, pada tahun 1997 masa pengurangannya diperpanjang hingga tahun 2007 karena persoalan politik dan teknis[10].
Contemporary Phenomenons: Sebuah Kondisi yang Berbeda, Preseden Buruk akan Terjadinya Nuclear War?
Globalisasi[11] dengan segala variannya telah memberikan perubahan signifikan terhadap peta politik internasional. Hal ini terutama berpengaruh terhadap Hubungan Internasional dimana kajian ini semula menekankan pada inter-state relation, tetapi seiring perkembangan globalisasi yang ditandai dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, telah memunculkan aktor-aktor baru dalam Hubungan Internasional seperti multinational corporations (MNC), non-governmental organizations atau LSM, terrorist groups atau bahkan individu atau yang lebih dikenal dengan istilah non-state actors. Hal ini tentu berpengaruh pula terhadap bentuk perang kaitannya dengan konsep keamanan. Kajian yang awalnya didominasi oleh realisme kemudian mengalami pergeseran menjadi neo-realisme.
Untuk kepentingan tulisan ini, maka penulis menekankan hanya pada aspek perluasan aktor, yang semula hanya menekankan pada interaksi antar negara, kini peta tersebut telah berubah. Kemunculan aktor non-state khususnya kelompok teroris, yang ditandai dengan peristiwa 9/11, telah mengubah konsepsi akan perang. Jika sebelumnya, secara umum perang merupakan engagement antara negara, maka dengan munculnya aktor-aktor baru, konsepsi tersebut perlu dikaji ulang. Apalagi jika harus dikaitkan dengan nuclear war. Di sini penulis mencoba memberikan beberapa asumsi guna melihat kaitan perubahan politik global kontemporer terkait “gejala munculnya perang nuklir”.
Asumsi pertama, banyak scholars berargumen bahwa perang nuklir tidak terjadi selama era Cold War karena negara sebagai unitary rational actor[12] dengan segala analisanya terhadap konsekuensi logis yang harus ditanggung apabila harus melibatkan diri sehingga mereka menggunakan nuklir sebagai deterrence saja. Tetapi dengan kemunculan aktor non-negara - terrorists – agaknya alasan tersebut perlu dikritisi. Dalam kasus terorisme, terutama yang dilatarbelakangi oleh faktor moral atau agama, maka rationality itu menjadi kabur kalau tidak mau dikatakan tidak ada.
Seperti kasus Usamah bin Laden, otak dari peristiwa 9/11, yang mendasari tindakannya tersebut adalah bentuk dakwah dan jihad[13] terhadap Amerika Serikat dan sekutunya yang telah menjadi cukong Israel dalam menduduki tanah muslim di Palestina. Sesuatu yang irrational dalam pandangan akademisi yang senantiasa berkutat dengan scientific method. Dalam pandangan penulis anggapan, absennya perang nuklir saat Cold War cukup reasonable mengingat saat itu, fenomena ini belum mencuat ke permukaan dan dalam konteks kekinian, pandangan itu perlu direvisi. Jika kita perhatian lebih jauh, perang tak lebih merupakan social phenomenon dimana its logic is not the logic of art, nor of science or enginering, akan tetapi lebih kepada the logic of social transactions[14].
Berdasarkan logika sosio-religi yang ada maka kemungkinan untuk menekan “tombol” nuklir terbuka lebar. Adanya motif agama pula yang menyebabkan Israel begitu membabi buta saat “membantai” rakyat sipil Palestina[15], termasuk adanya indikasi penggunaan senjata –meskipun- tergolong mikronuklir[16]. Bagaimana doktrin-doktrin Talmud[17] yang terkesan irrational dan rasis telah terinternalisasi dalam setiap benak bangsa Yahudi itu. Jika ada sebuah “entitas politik” yang dapat bertindak tidak dalam tataran rasional, maka kemungkinan pada non-state actors- kelompok teroris- dalam pandangan penulis semakin besar.
Asumsi yang kedua, unit analisis individu terkait decision making process atau dalam studi hubungan internasional disebbut sebagai pendekatan mikro[18]. Telah disebutkan sebelumnya, bahwa dampak nuklir yang begitu besar baik bagi negara penyerang maupun negara sasaran, maka kekuatan nuklir yang dimiliki suatu negara tertentu hanya digunakan sebagai alat gertak tetapi tidak sampai digunakan. Ini yang kemudian membuat dalam kajian nuklir yang disebut sebagai strategist adalah para eksekutif, karena merekalah pihak yang paling bertanggung jawab atas negaranya.
Dalam tataran strateginya pun para scholars percaya betul akan disappereance of trial, dan seperti penulis paparkan, ternyata deterrence strategy dan percobaan itu hanya isapan jempol belaka. Banyak negara melakukan percobaan nuklirnya baik terang-terangan maupun rahasia seperti Israel[19].
Kembali pada asumsi yang kedua, dalam realitasnya, states tidaklah melakukan tindakan, aktor yang melakukannya adalah para pemimpinnya. Dan variabel terkait decision making dalam asumsi yang kedua ini adalah “idiosinkretik”. Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya karakteristik psikologis seorang pemimpin mempengaruhi kebijakan yang dibuatnya dan pengaruh idiosinkretik ini lebih dominan berbicara dalam konteks kepemimpinan yang sentralistik atau otoriter[20], sesuatu yang merupakan fenomena kental dalam kepemimpinan terrorist groups.
Berdasarkan asumsi ini, mengingat kelompok teroris biasanya dalam bertindak- dengan motif agama – irrational, dan berkaca pada serpihan sejarah yang terpinggirkan dimana banyak fakta sejarah menguatkan mereka bahwa major power maupun weapon states seringkali melakukan standar ganda dalam politiknya seperti pelanggaran untuk konsisten pada norma disappereance of trial maka, tidak salah jika mereka melakukan hal yang sama. Persepsi ini diperkuat dengan ajaran agama yang lebih didominasi interpretasi tekstual yang statis. Asumsi ini cukup beralasan
Dan asumsi ketiga adalah kemajuan teknologi. Perkembangan nuklir dan senjata nuklir tentunya tak lepas dari kemajuan teknologi. Dalam peperangan di era kontemporer ini, senjata dengan teknologi menjadi sebuah keniscayaan guna mendapatkan kemenangan yang cepat. Jika pada, awal perkembangannya, produk senjata termasuk nuklir tidak mobile, maka sekarang telah ada portable weapons[21] termasuk di bidang nuklir. Artinya, dengan tingkat keluwesan yang seperti ini memungkinkan pihak-pihak tak bertanggung akan memanfaatkannya demi mengejar kepentingan jangka pendeknya.
Meluasnya aktor yang bermain dalam kancah politik internasional, mau tidak mau memaksa tiap pihak untuk memiliki self-help system sendiri dan yang paling logis dalam hal ini adalah memiliki kemampuan di bidang militer. Dan diperkirakan sekarang ini ada sekitar 80 negara[22], baik yang diketahui publik ataupun yang merahasiakannya. Problematikanya adalah, tidak adanya jaminan bahwa kepemilikan senjata itu akan jatuh pada tangan siapa sehingga masa depan dunia kian tak menentu. Sebagai pembuktiannya, sejak peristiwa 9/11 yang dianggap momentum bangkitnya terorisme, dimana akibat ledakan yang ada dapat meluluhlantakkan Gedung WTC dan Pentagon, maka jamak diketahui kemampuan teknologi kelompok teroris semakin mengalami kemajuan[23] dan tidak menutup kemungkinan pengetahuan akan pengembangan senjata nuklir akan dikuasai.
Asumsi terakhir dan ini sangat riskan adalah permainan strategi non-state actors dengan melibatkan aktor negara secara tidak langsung[24]. Ini lebih ditekankan pada terrorist groups, sebagai gejala mutakhir abad 21, dimana sebagai elemen dari suatu entitas politik, seperti Al-Qaeda di Afghanistan, Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara seperti di Indonesia dan Laskar e-Taiba di Pakistan acapkali merepotkan hubungan antar negara dimana ia hidup dan berkembang dengan negara lainnya.
Problematika yang tak kalah rumit adalah jika negara yang dibuat tegang hubungannya adalah termasuk weapon states, hal ini justru menjadi preseden buruk bagi semakin dekatnya perang nuklir bahkan antara negara nuklir. Asumsi seakan mendapat pembenaran terkait peristiwa terbaru dalam hubungan internasional yakni Tragedi Mumbai. Mumbai yang merupakan ibu kota keuangan dan simbol gemerlapan India, serentak muram. Serangan teroris bersenjata di 10 lokasi di Mumbai sejak Rabu malam, 26 November 2008, telah menewaskan 125 orang termasuk 4 warga asing asal Inggris, Jepang, Australia dan Jerman serta mencederai 327 orang[25].
Perdana Menteri India, Manmohan Singh menuding pihak luar terlibat aksi terorisme tersebut, dan diperkuat oleh Kepala Operasi Militer Ekstremis India, Mayor Jenderal RK Hooda bahwa Pakistan terlibat dan secara khusus menunjuk Al-Qaeda. Sontak saja, tudingan tersebut dibantah oleh pihak Pakistan melalui Menteri Luar Negeri, Shah Mehmood Qureshi sehingga hubungan India-Pakistan kembali menegang. Pemerintah Amerika Serikat menilai bahwa ketegangan itu dapat mengganggu kampanye antiterorisme di kawasan[26]. Hubungan kedua negara kawasan yang kian memburuk dikhawatirkan akan memuncak pada konfrontasi militer secara terbuka. Hal ini diperkuat rencana pemerintah India untuk menyerang Pakistan karena dianggap sebagai basis kaum ekstremis yang menyerang Mumbai[27].
Perlu diketahui bersama bahwa kedua negara sejak berpisah secara resmi pada tahun 1947, telah terlibat dalam perang militer terbuka sebanyak tiga kali yakni pada tahun 1948, 1965 dan tahun 1971. Kini setelah kedua negara telah berhasil mengembangkan senjata berhulu ledak nuklir dan telah diakui oleh kalangan Barat sebagai negara nuklir non-NPT. Menurut pemerintah India dengan beberapa bukti dari pihak intelijennya, pihak intelijen Pakistan terlibat dalam serangan terorisme dengan melatih kelompok teroris Laskar e-Taiba[28]. Hal inilah yang kemudian menjadikan, masing-masing pasukan telah dikirim ke daerah perbatasan.
Terkait kemampuan nuklirnya, menurut data dari Natural Resources Defences Council[29] total senjata dengan hulu ledak nuklir yang dimiliki India sekitar 40-50 buah dan di pihak Pakistan sekitar 1-10 buah dan dengan proyek yang “direstui” Barat bukan tidak mungkin jumlahnya kini telah berubah. Kemungkinan untuk terjadinya perang amat terbuka. Apalagi secara sosio-kultural, pandangan bahwa weapon states tak akan pernah terlibat perang nuklir terbuka, perlu pula dikaji ulang karena untuk kasus India-Pakistan sangat kontras dengan kasus Amerika Serikat-Uni Soviet di era Perang Dingin. Selain faktor sejarah dan politik, ada nuansa atau motif agama di balik konflik tersebut.
Nampaknya, dunia kali ini akan menyaksikan konflik akbar berupa perang nuklir antara Pakistan dan India. Kemungkinan pecah perang sulit dihindarkan. Sepanjang sejarahnya, India baru kali pertama menggerakkan armada lautnya ke Laut Arabia sejak tahun 1971. Begitu juga dengan pengerahan kekuatan militer dalam jumlah besar. Ini mengindikasikan bahwa genderang perang bukan hanya isapan jempol belaka. Sejauh ini, upaya internasional untuk meredam tensi kedua belah pihak belum membuahkan hasil.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yang akan terjadi? Menurut pandangan penulis, di atas kertas, kekuatan militer India jauh lebih unggul dibandingkan dengan Pakistan. Dari segi jumlah, anggota militer India tiga kali lipat banyaknya dibanding Pakistan. Begitu juga dari segi kesenjataan, India berada di atas Pakistan. AL India merupakan yang terbesar di urutan keempat di dunia dengan ratusan kapal perangnya, jumlah yang tak dapat ditandingi oleh AL Pakistan.
Namun, siapa dapat menjamin bahwa serangan
Dalam skenario yang paling realistis meskipun tentu saja mencemaskan, India akan melakukan serangan awal dengan menggerakkan pasukan infanterinya menyeberangi perbatasan dengan didukung oleh air strikes atau serangan udara. Pakistan membalas agresi India, bahkan akan membuka front di mana-mana dan mungkin juga balik menyerang masuk ke wilayah India. Dari skala terbatas, perang terus merambat ke arah pertempuran unlimited scale war. Ketika perang benar-benar berubah status menjadi berskala tak terbatas, Pakistan sudah bisa ditebak tidak akan mampu menandingi kemampuan militer konvensional India. Di mana-mana pasukan Pakistan akan terdesak, seperti pada tiga perang sebelumnya, yaitu tahun 1947, 1965 dan 1971. Apa yang akan dilakukan Pakistan? Logika perang akan mengatakan, senjata nuklir adalah satu-satunya jalan untuk mempertahankan diri dari gempuran lawan. Militer Pakistan “kemungkinan besar” akan mengirim langsung senjata pemusnah massal itu ke sasaran yang telah ditentukan dan bisa juga dengan melancarkan serangan rudal berhulu ledak nuklir ke sejumlah kota besar di India.
Skenario di atas dengan segala asumsinya, kemungkinan hanyalah merupakan sebuah analisa yang bersifat futuristik semata, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terjadi. Dalam pandangan ilmuwan sosial, tidak ada yang tidak mungkin. Kita hanya tinggal menunggu.
[1] “ Pasukan India Serbu Dua Hotel: Puluhan Orang Disandera di Hotel Trident/Oberoi”, Harian KOMPAS, Jumat, 28 November 2008
[2] Michael Mandelbaum dalam The Nuclear Revolution: International Politics Before an After Hiroshima (Cambridge, 1981, pp. 1-21)
[3] Hipotesa ini lebih merupakan sebuah persetujuan atas torehan tinta sejarawan Skotlandia, Thomas Carlyle (1834) dimana ia menulis “ Sejarah adalah potongan kisah yang sarat kedustaan, manipulasi dan hanya peduli pada kisah-kisah para pemenang”, dalam Eramuslim Edisi Koleksi I, 2007, pp. 80-81 dan senada dengan itu silakan lihat pada Scott Petterson dalam In War Some Facts Less Factual, The Christian Science Monitor, edisi 6 September 2002
[4] Michael Mandelbaum, op cit, pp. 45-49
[5] Untuk lebih jelasnya pembahasan mengenai NPT silahkan lihat di Dian Wirengjurit dalam Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir, (Bandung, 2002) atau dalam “The Treaty on Non-Proliferation on Nuclear Weapon”, www.npt.com, 2000.
[6] Lihat Anak Agung Banyu Perwita (2007). “ Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Dalam Yulius P. Hermawan (ed.). dalam “Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Bandnung: Graha Ilmu
[7] “Resolusi Embargo Iran dan Self Delegitimation PBB”, Harian Padang Ekspress, 26 April 2007
[8] Sebagaimana dipublikasikan oleh Bulletin of the Atomic Scientists, edisi 2006
[9] Lihat Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy”, di dalam Craigh A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, (
[10] ibid
[11] Pembahasan mengenai globalisasi sendiri bisa dilihat di Malcom Waters dalam Globalization (London, 1995, p. 36) atau Jan Aart Scholte dalam John Baylis and Steve Smith, Globalization of World Politics (Oxford, 2001) dan Anthony Giddens dalam Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives (London, 1999, pp. 12-13)
[12] Lihat Robert Keohane dalam Neo-Realism and Its Critics (New York, 1986, pp. 164-165)
[13] Konsepsi dalam agama Islam, salah satu agama samawi, yang dianggap sebagai bentuk pengabdian tertinggi pada Tuhan. Lihat Fauzan Al-Anshari di Terorisme dalam Perspektif Barat dan Islam dalam Abduh Zulfikar Akaha (Eds), Terorisme dan Konspirasi Anti-Islam (Jakarta, 2002, pp. 147-175)
[14] “ Grand Strategy: Theory and Practice”, www.csc_8802_lesn1_grand_strat.pdf.com, diakses tanggal 28 Desember 2008
[15] Untuk mengetahui bagaimana kebiadaban Israel silakan lihat Ang Swee Chai dalam From Beirut to Jerusalem (Kualalumpur, 2002)
[16] Mengenai “serpihan sejarah” yang luput dari ekspos media besar ini bisa dilihat di www.eramuslim.net atau www.pakdenono.com, dan www.aljazeerah.info
[17] Kitab “suci” doktrin perang Yahudi Israel. Lihat Baudoin Loos, “An Interview of Illan Pappe”, http://msanews.mynet.net/Scholars/Loos/pappe.html
[18] Lihat Mohtar Mas’oed dalam Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi (Yogyakarta, 1989, pp. 1-37)
[19] “ Israel Nuke: Kekuatan Gelap Nuklir Dunia”, Eramuslim Edisi Koleksi I, 2007 (Indonesian Version)
[20] Mohtar Mas’oed, op cit, p. 144
[21] Charles D. Ferguson dalam Nuclear Terrorism: Assessment and Prevention and Mitigation Strategies, Teaching Nonproliferation Summer Institute University of North Carolina, Asheville, 11 Juni 2004
[22] Diolah dari berbagai sumber
[23] Mengenai hal ini dapat dilihat bagaimana dari peristiwa “intifadha” kelompok HAMAS, Palestina dari first wave hingga sekarang telah mengalami kemajuan signifikan. Atau kelompok Laskar e-Taiba dalam peristiwa Tragedi Mumbai yang menggunakan teknologi canggih dalam melakukan aksinya, harian KOMPAS, Sabtu, 6 Desember 2008
[24] Menurut pandangan penulis hal ini identik dengan strategi memecah belahnya Robert Greene dalam The 33 Strategies of War (Indonesian Version), (Tangerang, 2007, pp. 343-364)
[25] “ Pasukan India Serbu Dua Hotel: Puluhan Orang Disandera di Hotel Trident/Oberoi, Harian KOMPAS, Jumat, 28 November 2008
[26] “Hotel Taj Mahal Genting: Operasi Penyelamatan Sandera Semakin Rumit”, Harian KOMPAS, Sabtu, 29 November 2008
[27] “ Komplikasi Kasus Mumbai”, Harian KOMPAS, Selasa, 9 Desember 2008
[28] “ Rakyat Kecam Pejabat India: Warga Malaysia Juga disebut-sebut Terlibat dalam Serangan Mumbai“, harian KOMPAS, Senin, 1 Desember 2008 dan “ Bukti Pakistan Terlibat: Intelijen India Mengaku “Kecolongan” ”, harian KOMPAS, Sabtu, 6 Desember 2008
[29] Bulletin of The Atomic Sciences, edisi 2006
No comments:
Post a Comment