January 16, 2009

Peralihan Estetis dalam Kompleksitas & Ketidak-pastian : Melihat Kembali Strategi Militer melalui Konstruksi Sosial atas Perang

By: Yesaya Hardianto

Abstract:

The development of military strategy can be traced back from the very early strategic thought of the classic imperial wars to the contemporary strategic thinking within the 21st century ‘post-modern war’. Among the evolution of those strategic thoughts, the militaristic and deterministic nature of strategy has been quite prominent in shaping the face of military strategy today. Important to notice is how this linear development faced into special circumstances with the today study of strategy, especially with the complexity within the new realm of war (beyond state entity). How militaristic and deterministic the study of strategy within military context is? Is this character of military strategy still relevant towards the changing dynamics of war at this complex world politics? This article tries to explore the trajectories of military strategy by maping its historical development from ancient to now. Later, I argue that it’s the social construction of war along with the social practices within the complexity & uncertainty of world politics which ‘constitute’ the nature of today military strategy. The study of military strategy has come to a time of the aesthetic turn in its political.

Keywords: Military Strategy, Social Constructions, World Politics

Pendahuluan

“….If there are enemies to be contested, challenges to meet, dangers to avoid, and responses to be launched, we are far from sure what they are. So uncertainty is the norm and apprehension the mood. “

James N Rosenau[1]

Kata ‘Strategi Militer’ sudah berkembang jauh di masa lampau ketika manusia sudah mendirikan institusi politiknya untuk pertama kali, dalam hal ini kerajaan. Kebutuhan untuk menciptakan rasa aman bagi rakyat dari gangguan eksternal dan dibarengi dengan ambisi imperial para elit pada masa itu mengantarkan kita pada arena di mana studi strategi untuk pertama kalinya dirumuskan dan diterapkan. Arena yang para jenderal besar menyebutnya sebagai ‘Perang’. Perang menjadi sebuah fenomena sosial yang terjadi secara transhistoris melewati batas ruang dan waktu selama peradaban manusia terbentuk. Para ahli strategi militer klasik mengagung-agungkan perang selayaknya itu adalah pembuktian akan kedikdayaan dan integritas diri mereka pada saat itu. Tidak heran jika para raja dan jenderal militer pada masa lampau menempatkan perang dalam sebuah ‘sakralisme’ praktik kerajaan. Namun ketika konsep negara-bangsa muncul (era Westphalia), perang bukan lagi dilakukan atas nama ‘sakralisme’ imperial namun atas ‘nasionalisme’ entitas kultural dan politik yang mendiami suatu negara-bangsa.

Ketika Perang Dunia pecah pun, berbagai teori mengenai urgensi perang dalam politik internasional pada saat itu bermunculan. Para skolar studi perang di barat tidak akan asing lagi dengan konsep Just/Unjust War ketika dalam perjalanannya, legitimasi perang mulai dipertanyakan dan diperdebatkan. Nicolas Rengger mengatakan bahwa dalam tradisi Just War, hubungan antara perang dan politik pada masyarakat barat telah dikonstruksikan oleh tiga posisi ideal : perang tidak pernah legitimate; dalam perang apapun boleh dilakukan; dan terakhir bahwa di dalam perang, beberapa pengekangan (restraints), baik untuk sesuatu yang kita bisa bertarung secara legitimate ataupun bagaimana kita bisa bertarung secara legitimate, sangat dibutuhkan secara moral[2]. Oleh karenanya, perang telah dikonstruksikan ke dalam identitas yang kolektif melalui objektivitas (universalitas) dari legitimasi perang itu sendiri. Namun di sini kita tidak akan berbicara mengenai apakah perang-perang yang telah terjadi itu legitimate atau tidak, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana konstruksi ‘perang’ yang terjadi dalam masing-masing periodesasinya mempengaruhi hakikat dari strategi militer pada waktu dulu hingga sekarang.

Urgensi awal dari penulisan ini adalah dengan melihat bagaimana tren politik global bertransformasi secara gradual dan dinamis hingga saat ini baik dalam ranah epistemologis maupun ontologisnya. Oleh karenanya, berbagai fenomena dalam arena politik global, termasuk perang, juga secara tidak langsung mengalami pergeseran atau perubahan. Pada era paska Perang Dingin, berkembanglah konsep irregular warfare yang mana aktor yang terlibat di dalamnya bukan lagi state-based entity namun sudah beyond the state. Tujuan mereka pun bukan lagi kedaulatan negara -sejak negara adalah adversaries di mata mereka- tetapi beralih pada simbolisme popular dissent[3] dan primordialisme sosial (kepentingan ideologis & kultural) kelompok mereka. Terorisme, Perang Gerilya, Gerakan pembebasan (Liberation Movement) adalah termasuk perang-perang yang dianggap menyimpang dari hakikat perang yang sebenarnya, yang just dan legitimate, yakni mereka yang dilaksanakan oleh negara (yang dianggap) sebagai satu-satunya institusi legal dalam baik penggunaan kekerasan maupun senjata militer. Perubahan posisi antara siapa subyek dan siapa obyek (ruler and the ruled) dengan demikian menjadi mengedepan di sini. Karena negara tidak lagi mendapat legitimasi dari the ruled yang selama ini merasa di abjeksikan (meminjam istilah Sizek) menjadi golongan yang marjinal dan dissent di dalam sistem.

Strategi militer oleh karenanya tidak bisa lagi dijalankan dalam logika-logika dasar dan doktrin militer klasik seperti centre of gravity, decisive battle, culminating point, economy of force[4] dan lain sebagainya untuk digunakan dalam perang-perang di atas. Ketidakpastian (uncertainty) atau ketidakteraturan (chaos/ complexity/disorder) menjadi hakikat perang yang baru pada politik global kontemporer sehingga membuat studi strategi militer juga semakin dinamis. Ini akan mengantarkan pada pertanyaan dasar yang ingin diajukan penulis mengenai bagaimana hakikat dasar (basic nature) strategi militer dari masa ke masa? Bagaimana kemudian ‘konstruksi’ atas perang mempengaruhi perubahan atau pergeseran nature tersebut? Dan yang paling penting, apakah kemudian strategi militer harus selalu dalam nature yang linear dan deterministik (given)?

Pada bagian awal, tulisan ini akan secara runtut mencoba untuk melihat trajektori dari hakikat (nature) strategi militer dengan memetakan periodesasi peperangan (warfare) yang telah terjadi dari masa kuno (classic imperial age) sampai pada masa paska Perang Dingin (kontemporer). Selanjutnya penulis mencoba untuk menarik benang merah dari shifting yang terjadi dalam strategi militer dengan menggunakan perspektif ‘agent-structure’ Alexander Wendt[5] dari konstruksi yang terbentuk atas perang dari masa ke masa. Di sini penulis berharap untuk bisa melihat relasi serta interaksi sistem dan aktor dalam perang lebih jauh dengan membedah konstruksi sosial yang terbentuk atasnya. Pada bagian penutup, penulis membuka wacana bagi nasib strategi militer di masa depan dengan menghadirkan sentuhan aesthetic approach[6] dan berharap untuk membangun landasan yang konstruktif dan emansipatoris bagi perkembangan studi strategi pada umumnya serta strategi militer pada khususnya, yang seiring dengan kompleksitas alur dan tren dari politik global ke depan.

Antara Tradisi dan Sejarah : Memetakan Strategi Militer

“War is nothing but the continuation of policy with other means”

General Carl Von Clausewitz [7]

Peta mengenai strategi militer sejatinya telah digambar dari peperangan pada masa imperial klasik di Eropa ketika peradaban pada masa itu masih berbentuk kerajaan. Paling tidak nama-nama seperti Alexander the Great dari Makedonia dan Hannibal dari Carthage sudah kerap mewarnai beberapa perang yang terjadi pada masa itu. Pada bagian ini, penulis akan secara singkat memaparkan trajektori strategi militer dari perang-perang yang terjadi mulai dari perang klasik (300-an BC) sampai pada era modernisasi di mana teknologi berkembang pesat serta pada masa paska Perang Dingin yang masih sering dalam perdebatan sebagai ‘The Postmodern War’[8]. Namun kemudian penting untuk dicatat juga bahwa pemetaan ini bersifat linear & partikular sehingga relasi (interplay) yang terjadi antara strategi militer di masa yang sebelumnya dan sesudahnya digambarkan berdasarkan pemahaman subyektif penulis atas perang-perang yang mendasarinya.

Strategi Militer pada Perang Klasik (Early Warfare Strategy)

Perkembangan strategi militer pada perang klasik (early modern strategy) bisa diruntut dari peradaban lembah sungai Mediterania. Nama-nama besar seperti Philip II (382-336 BC) dan Alexander the Great (356-323 BC) dari Makedonia serta Hannibal (247-183 BC) dari Carthage adalah penyumbang utama dari pemikiran pertama tentang pengetahuan militer pada saat itu. Philip II menggabungkan infanteri, kavaleri dan artileri primitif ke dalam pasukan tempur yang terlatih, terorganisir dan maneuverable serta didukung dengan para insinyur dan sistem sinyal yang masih elementer[9]. Anaknya, Alexander the Great mengembangkan strategi dan taktik dalam kemiliteran yang diwarisi dari Ayahnya dengan menambahkan elemen perencanaan yang lebih pruden, penjagaan jalur komunikasi dan suplai agar tetap terbuka, keamanan, pengejaran lawan tanpa belas kasihan dan juga penggunaan kejutan (surprise)[10]. Sementara itu, Hannibal merupakan taktisian elegan yang kemenangan-kemenangannya menjadi pelajaran yang dipakai oleh Kekaisaran Roma dalam hal penggunaan taktik serangan yang fleksibel dan didukung dengan kesatuan komando serta kavaleri yang dikembangkan[11]. Kekaisaran Roma kemudian mengganti tentara sipil mereka dengan tentara profesional yang dibayar dengan pelatihan, peralatan dan pengetahuan infrastruktur perang.

Ini kemudian yang diadopsi dan dikembangkan oleh kekaisaran Byzantium dalam strategi dan taktik militer mereka di bawah kepemimipinan Maurice. Byzantium terkenal dengan salah satu strategi klasik dalam organisasi militer dan perangnya. Strategikon[12], buku yang merupakan sumber dari pengetahuan dan strategi militer berisi tentang Byzantium berisi tentang bagaimana organisasi, pelatihan dan dukungan untuk pasukan yang dikembangkan secara masif. Di mana pasukan dalam Strategikon bukan hanya kavaleri biasa namun mereka adalah formasi tempur yang cakap dan seimbang yang mampu mengambil keputusan sendiri dalam pertempuran melawan lawan yang beraneka ragam dan juga medan yang berbeda[13]. Kesuksesan tentara Byzantium adalah hasil dari reformasi Maurice terlihat dalam gabungan yang efektif dari kekuatan menyerang, mobilitas dan perlindungan serta pada kesadaran bahwa the art of fighting depends upon the closest combination of the offensive and the defensive, so closely as does the structure of a building depend upon bricks and mortar[14]. Karakteristis khas lainnya dari strategi militer Byzantium adalah prinsip militer mereka tentang ’economy of force’. Ini penting terkait dengan bagaimana kita memenangkan pertempuran dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan sehingga kita bisa secara efektif mengalahkannya sebelum di medan tempur.

Sementara itu, dari belahan dunia yang lain adalah Sun Tzu (403-221 BC) yang dengan sangat legendaris menginspirasi strategi-strategi militer di era setelahnya (bahkan kontemporer). Sun Tzu sendiri berbicara mengenai strategi militer dalam perang melalui tulisan fenomenalnya, Art of War, yang ditulis pada situasi periode perang yang tak kunjung henti di China dan berlangsung kurang lebih selama 200 tahun. Dengan kondisi sosial-politik di mana unified state tidak lagi eksis dan juga dalam fase transisi dari masa perbudakan menuju sistem feudal, Sun Tzu mendasarkan pemikirannya berdasarkan relasi saling-mendominasi dari negara-negara (kekaisaran) yang ada di China pada saat itu. Oleh karenanya fitur-fitur pemikirannya banyak berpusat pada sakralisme dari perang itu sendiri, yang ia katakan sebagai urusan hidup & mati; survivalitas dan kehancuran sebuah negara[15]. Tidak heran jika strategi militer di mata Sun Tzu lebih banyak yang bersifat wisdom daripada sebuah teori tentang perang. Nilai-nilai diplomasi, war morality/moral forces, pengetahuan tentang siapa dan bagaimana musuh, invisibilitas dan vulnerabilitas, speedy victory adalah pemikiran-pemikiran utama Sun Tzu tentang strategi yang menurut dia adalah to win without going to the battlefield. Sekelumit pemaparan strategi militer klasik di atas adalah hal yang menggambarkan bagaimana perang dimaknai pada zamannya.

Strategi Militer pada Perang Modern (Modern Warfare Strategy)

Perkembangan teknologi pada sejarah peradaban manusia telah membawa dampak yang signifikan terhadap setiap elemen kehidupan yang berlangsung di dalamnya, tak terkecuali strategi militer itu sendiri. Pada era perang modern, yang sering kali diasosiasikan dengan penggunaan maneuver/speed serta teknologi perang yang canggih, menunjukkan bagaimana sebuah strategi dalam bidang militer bertransformasi seiring dengan bertambahnya kalkulasi strategis (dalam hal ini maneuver lawan dan perkembangan teknologi) dalam penyusunan strategi mereka. Perang-perang seperti Seven Years War (1756-63); Franco-Prussian War (1870) atau yang juga dikenal dengan Napoleonic Wars adalah sejumlah perang yang mengawali lahirnya strategi militer modern. Frederick II (the Great) merupakan inisiator handal dalam melaksanakan perang Tujuh Tahun dengan kondisi peperangan yang terbatas, koalisi musuh dalam jumlah besar, sementara tentaranya tergolong kecil dengan sistem suplai dan jalur perang yang tidak memadai[16]. Ia kemudian menggunakan strategi ’interior lines’ dengan pasukan tempur dan kavaleri yang sangat disiplin yang dengan sangat cepat bermanuver membentuk kekuatan superior pada decisive point selama perang berlangsung[17]. Elemen speed –memenangkan perang dengan cepat dan efektif- menjadi sangat dominan dan khas pada perang-perang seperti ini.

Begitupun dengan Franco-Prussian War, di mana pemikiran-pemikiran strategis dari nama-nama besar seperti Clausewitz, Jomini dan Moltke berasal. Pada perang ini, Prancis membentuk pasukan perang patriotik dalam jumlah besar yang mana Napoleon bisa memobilisasinya menuju titik titik vital yang ia inginkan.[18] Penting dicatat juga bahwa pada perang ini berkembang konsep pembagian pasukan ke dalam divisi dan korps serta perkembangan senjata api (firepower) dalam perang.[19] Strategy of Annihilation juga terkenal dominan di sini, di mana pertimbangan matematis tidak diperhitungkan dalam perang yang dilakukan. Ini yang menjadi titik awal dari analisis Clausewitz tentang perang, di mana ia menekankan pada hubungan yang sangat dekat antara perang dan kebijakan nasional (statecraft) dan juga mengenai pentingnya prinsip massa, economy of force dan penghancuran kekuatan musuh (centre of gravity)[20]. Sementara Jomini, menekankan analisis strateginya pada strategi operasional, perencanaan dan intelegensia, pelaksanaan kampanye dan penekanan generalship dari pada statecraft-ship. Proposisinya adalah kemenangan bisa diraih dengan mengokupasi teritori musuh daripada menghancurkan kekuatan musuh[21]. Dengan demikian, pertimbangan geometris adalah prominen dalam teori strateginya. Abad 19 menjadi awal dari masuknya konsideran teknologi dalam implementasi perang, sebagaimana jalur-darat semakin berkembang, persenjataan dan artileri militer juga semakin dominan daripada pasukan infanteri dan kavaleri. Tentara mulai berperang dari parit-parit (trenches) serta menggunakan granat dan ranjau darat[22]. Perkembangan komunikasi telegraf memungkinkan teater perang yang tidak lagi terbatas, namun bertambah luas, begitupun dengan strategi dan taktik militer pada saat itu[23]. Perang Sipil di Amerika Serikat (1861-65) menjadi penanda dimulainya perang modern dengan pengerahan semua elemen perang yang ada (total war).

Strategy Militer pada Perang Dunia I & II (World Wars Strategy)

Strategi pada Perang Dunia I & II menggambarkan banyak kelanjutan dari strategi modern yang telah lahir sebelumnya. Perang Dunia I dimulai dengan mobilisasi nasional yang masif, cepat dan penggunaan manuver klasik, namun kemudian berubah menjadi perang dari parit-parit (trench warfare) setelah berakhirnya pertempuran Marne[24]. War of Atrition sangat terkenal di sini sebagaimana keterlibatan nasional secara total berlangsung dalam usaha perang. Perkembangan PD I juga mengawali digunakannya tank sebagai pasukan kavaleri pada perang modern oleh strategis-strategis seperti B. H. Liddell Hart (1895-1970), Charles de Gaulle (1890-1970), and J. F. C. Fuller (1878-1966) pada masa-masa interwar[25]. Sementara itu, strategi militer pada PD II terkenal dengan penggunaan air power sebagai kekuatan militer alternatif yang baru dengan inisiasi dari Giulio Douhet (1869-1930), Billy Mitchell, Henry ("Hap") ARNOLD, and Hugh Trenchard (1873-1956). Strategic bombing[26] dan Amphibious Warfare[27] adalah karakteristis utama lainnya dari PD II. Prinsip utama dari strategi militer pada PD II adalah diterapkannya strategi global dengan koalisi masif dari sekutu yang ditujukan untuk menyerang mereka yang dianggap ofensif (Negara poros).

Strategi Militer pada Perang Dingin (Cold War Strategy)

Strategi militer pada Perang Dingin memasuki periode strategi militer yang monumental dengan tatanan politik global yang berporos pada dua kekuatan super (bipolaritas) AS dan Uni Soviet. Perkembangan teknologi nuklir dan luar angkasa (Space power) turut mengambil peranan yang dominan dalam perubahan logika strategis yang dirumuskan. Dengan ditemukannya senjata non-konvensional, nuklir, memaksa dua kekuatan super dunia pada saat itu (AS & Rusia) berperang dalam total world annihilation dengan kebijakan yang dikenal sebagai mutual assured destruction[28]. Perang tidak lagi menjadi ajang engagement antar dua pihak yang bersengketa pada satu decisive point, namun perang dilakukan dalam bentuk proxies, dengan seluruh dunia sebagai medan perangnya dan Negara sebagai pemainnya[29]. Yang menarik dari strategi militer (meskipun banyak yang lebih suka memakai kata strategi nuklir) pada perang dingin adalah logika mengenai bagaimana perang dimenangkan. Alih-alih dari memenangkan perang dengan menghancurkan kekuatan lawan atau menguasai teritorinya, perang total justru dilihat sebagai hal yang harus dihindari karena akibat yang mungkin ditimbulkannya bisa sangat berbahaya bagi kedua belah pihak. Ini terkait dengan imajinasi daya destruksi nuklir yang masif dan menakutkan hingga saat inipun belum pernah digunakan, meskipun sempat akan digunakan pada peristiwa krisis misil Kuba[30]. Strategi yang terkenal dengan nama strategy of detterence[31] atau strategy of retaliation. AS menggunakan strategi ini dengan mengadopsi kebijakan ‘limited first strike’ sementara Soviet merespon dengan menerapkan kebijakan ‘no first use’[32].

Strategi Militer pada Paska Perang Dingin (Post-Cold War Strategy)

               Strategi militer mengalami perubahan radikalnya pada era paska berakhirnya perang dingin. Dunia telah berubah secara dramatis sejak Soviet runtuh dan AS menjadi satu-satunya kekuatan besar yang tersisa. Sebuah situasi internasional yang Charles Krauthammer menyebutnya sebagai momen unipolar[33]. Lingkungan keamanan paska Perang Dingin menjadi sangat dinamis dan penuh dengan ketidakpastian (uncertainty), sehingga tidak salah jika unipolaritas AS diramalkan hanya akan bertahan dalam beberapa dekade saja hingga muncul kekuatan utama yang baru sebagai penggantinya. Menanggapi, ini Presiden dan Para pemimpin militer telah mencoba untuk mengamankan keamanan dari negara tersebut melalui sebuah strategi militer nasional yang baru yang merespon kepada ketidakpastian global dan permasalahan kritis domestik[34]. Sebuah strategi dengan model baru dibutuhkan untuk menghadapi tantangan (daripada musuh), karena strategi hanya berbasis pada analisis penggunaan detterence dan kebutuhan untuk menggunakan kekuatan militer pada waktu yang dibutuhkan bisa sewaktu-waktu tidak jelas dan abstrak[35]. 
               Yang menjadi sangat distinct pada strategi militer di era ini adalah mulai berkembangnya revolusi digital yang menjadi karakeristis lainnya dari Post-Cold War strategy. Berkembangnya teknologi informasi membuat masyarakat di dunia memasuki sebuah masa yang Manuel Castell menyebutnya sebagai network society. Kehadiran masyarakat ini membuat segala bentuk informasi, termasuk bagaimana perang dan konflik didistribusikan, menjadi liar dan berfluidasi ke dalam pemikiran dan perspektif masyarakat di dunia. Der derian menyebutnya sebagai ‘virtual continuation of politics with other means’[36]. Lebih lanjut ia mengatakan karena pada era kontemporer, perang telah kehilangan esensi aslinya dari virtual (based on virtue) menjadi virtuous[37]. Ia mengambil contoh perang-perang yang mengatasnamakan humanitarian intervention seperti pada Perang Teluk, Kosovo, Mogadishu dan Vietnam di mana korban yang jatuh akibat perang-perang dengan begitu saja secara moral diterima sebagai sesuatu yang lazim. Perang-perang ini juga yang disimulasikan melalui televisi, games, dan media informasi lainnya sehingga membuatnya menjadi sebuah praktik representasi yang dianggap ‘benar’. Hakikat perang dengan demikian bermutasi, morphing, bervirtualisasi dengan hadirnya teknologi dan strategi yang baru[38]. 
               Sebuah mode peperangan baru yang terjadi diantara state entity dan non-state entity turut membentuk dinamika dari strategi militer pada masa ini. Assymetric warfare yang terjadi antara gerakan gerilya dan kekuatan militer suatu negara menjadi karaktristis baru dari peperangan modern abad 21. Strategi klasik (yang berbasis pada politik, militer dan populasi) oleh karenanya tidak akan bisa berbuat banyak untuk menangani protacted warfare yang digerakkan oleh kekuatan paramiliter  seperti IRA, Hezbollah, ETA dan Al-Qaeda. Kesulitan dalam mengimplementasikan strategi militer konvensional menjadi sangat nyata karena kita tidak bisa menentukan target yang pasti (antara penduduk sipil dengan para kombatan). Struktur yang susah sekali dicari polanya dalam ketidakpastian/ketidakteraturan ini yang disebut oleh Gray sebagai struktur perang posmodern, yakni fragmentasi antara real thread of war dan simulation of war and peace[39]. Koeksistensi dari dua dinamika inilah yang menurut Gray akan menciptakan spektrum kontradiksi dan tekanan (tension) secara keseluruhan. Strategi militer (dengan level teater yang lebih tinggi) di sini menuntut untuk dibarengi dengan sebuah strategi yang lebih berhaluan politik (fight the enemy’s strategy not his forces) untuk memutus rekruitmen organisasi gerakan yang berlokuskan pada level lokal[40]. Ini logis karena ‘nervous system’ dari lawan-lawan baru dalam ‘Perang Posmodern’ lebih bersifat politik daripada hirarkis-militaris dan diadaptasikan dengan populasi lokal yang melindungi mereka. 
 

War as Social Constructions : Problematika Agen-Struktur

….it becomes evident that war is the easiest of realities to abstract, and that this abstraction process is intrinsically linked to whatever representational practices prevail at the time.”

Michael Ignatieff [41]

Perubahan dan dinamika strategi militer dari masa ke masa seperti telah dipaparkan di atas menggambarkan kepada kita bagaimana elemen internal (e.g: kedaulatan, kepentingan, nilai, dsb) dan eksternal (perkembangan teknologi, environmental structure) secara bersama dan simultan membentuk bagaimana sebuah strategi militer harus dirumuskan. Konsep-konsep seperti total war, war of attrition, trench warfare, nuclear warfare, proxy war, counterinsurgency dll menderivasikan cara-cara dan tujuan yang harus dicapai dalam strategi militer yang digunakan agar dapat memenangkan perang-perang tersebut. Perkembangan teknologi juga ikut mempengaruhi bagaimana sebuah strategi militer bertransformasi dengan hadirnya kemungkinan-kemungkinan baru yang belum ada sebelumnya. Namun demikian, ini semua hanyalah konsep-konsep derivatif sebagai konsekuensi logis dari perang macam apa yang dihadapi. Oleh karenanya, nature dari strategi militer cenderung bersifat linear dan deterministik dari masa ke masa. Disebut linear karena strategi militer berkembang dengan penambahan dan pergantian elemen-elemen strategis yang muncul sesuai dengan situasi perang yang bergejolak. Sebaliknya, ia juga bersifat deterministik karena selalu mengandaikan kemenangan dari musuh sehingga selalu merujuk pada antagonisme kita-mereka; yang baik-yang jahat; menang-kalah. Strategi dengan demikian dianggap sebagai sesuatu yang given yang harus ada untuk memenuhi kepentingan kita dalam konflik/peperangan yang dihadapi.

Sadar atau tidak sadar, kita telah dihadapkan pada kepada situasi untuk memilih tanpa mengetahui esensi dari realitas yang mendasari pilihan-pilihan itu. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa sebuah strategi militer itu tidak dibutuhkan karena akan naif sekali bagi sebuah negara untuk tidak memilikinya ketika dihadapkan pada state of war. Namun yang ingin penulis bahas disini adalah apakah dengan perkembangan strategi militer itu telah mengantarkan kita kepada pemahaman yang lebih holistik tentang realitas yang kita hadapi (perang). Kita menjadi budak dari kepentingan-kepentingan politik yang dikonstitusikan dalam perang dengan menerimanya sebagai kepentingan universal kita semua tanpa bisa melihat realitas yang sebenarnya. Apakah kemudian penggunaan kekuatan militer itu senantiasa perlu untuk mencapai kepentingan-kepentingan itu? Oleh karenanya, perang sebagai lokus utama dari strategi militer selayaknya harus bisa kita ’interpretasikan’ dengan hati-hati sebelum kita belajar untuk mempelajari transformasi strategi militer itu sendiri.

Perang dianggap sebagai sebuah fenomena sosial yang berlangsung selama berabad-abad sejak manusia memulai peradabannya untuk pertama kali. Singkat kata, perang dianggap sebagai sebuah kebenaran universal yang akan selalu menjadi bagian dari hidup kita. Oleh karenanya, manusia sebenarnya telah terjebak dalam apa yang disebut Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysics of presence) dari dari kata ’perang’ yang telah ditelah dipahami dalam masyarakat umum namun belum tentu merepresentasikan esensi dari perang itu sendiri secara keseluruhan. Hal ini kemudian merujuk pada preskripsi para skolar konstruktivis yang menyebut pemahaman seperti itu sebagai konstruksi sosial atas realitas yang ada, dalam hal ini adalah perang. Sebagai sebuah realitas sosial, oleh karenanya perang juga merupakan produk dari relasi-relasi sosial (social practices) yang meng-konstitusi-nya. Dengan mengadopsi teori strukturasi Giddens, Wendt menjelaskan dengan menarik bagaimana sebuah realitas sosial terbentuk. Ia mengatakan bahwa manusia merupakan aktor yang memiliki kepentingan yang mana tindakannya mereproduksi dan mentransformasi masyarakat di mana mereka berada; dan yang kedua, adalah pengakuan kita bahwa masyarakat terbentuk atas relasi-relasi sosial yang membentuk struktur interaksi di antara mereka[42]. Dengan demikian hubungan antara agen (manusia) dan struktur dalam sebuah masyarakat bersifat ’mutually constitutive’.

Dengan melihat pada relasi dialogis ini akan membantu kita memahami bahwa perang tidak selamanya hadir begitu saja dalam ruang yang kosong namun ada reproduksi antar kepentingan aktor dan struktur di mana ia dihadirkan. Perang Dunia I dan Perang Dunia II adalah bukti dari kepentingan aktor-aktor beserta dinamika struktur internasional yang bergejolak pada saat itu turut membentuk realitas politik dunia yang anarkis dan penuh determinasi kepentingan. Sementara Perang Dingin menjadi bukti bagaimana aksi dan interaksi antar aktor (agen) dalam sebuah struktur yang bipolar membentuk realitas internasional yang dianggap damai dan seimbang dalam pembagian kekuasaannya. Begitupun dengan ketika berakhirnya perang dingin, realitas yang ada membuktikan bahwa tindakan dari agen (aktor) juga ikut mempengaruhi struktur dari lingkungan internasional. E.g: kebijakan Gorbachev membuka perekonomian Soviet membuat Soviet melemah dan hancur dari dalam tanpa ada sebuah absolut defeat dari AS. Relasi sosial yang terkonstitusikan selama berjalannya waktu ini pula yang menjadi bukti bagaimana perang pada politik global kontemporer beralih wajah. Diwarnai dengan kontestasi wacana/diskursus pengetahuan, perang menjadi sebuah realitas yang tidak lagi universal namun selalu cenderung bias dan mengandung apa yang disebut Foucault sebagai relasi kuasa dalam meta-narasi yang ia produksi. Oleh karena itu pembentukan strategi militer menjadi sangat sulit karena terminologi ortodoks (universalitas, finalitas) tentang perang kerap mendapat resistensi legitimasi dari mereka yang dissent.

The Aesthetic Turn & Masa Depan Strategi Militer : Sebuah Pencarian

“ …the political is a form of interpretation that is, by its very nature, incomplete and bound up with the values of the perceiver.”

Jacques Derrida [43]

Konstruksi sosial atas perang di atas membuka sebuah masa baru dalam pengembangan studi strategi militer baik bagi para praktisioner dan akademisi yang berkecimpung dalam bidang terkait. Determinisme dan linearitas strategi militer telah terbukti menjadi warisan kuno strategi dari para ahli strategi klasik & modern. Colin S. Gray menyebut bahwa hakikat dan fungsi strategi dan perang senantiasa immutable dan karakteristis keduanya juga selalu berubah sepanjang masa[44]. Politik global abad 21 dalam segala ketidakpastian dan kompleksitasnya telah merubah segala pakem dan standar umum (ortodoksi) strategi militer dan perang itu sendiri. Serangan pemikir-pemikir posmodern dan postrukturalis yang menolak adanya sebuah narasi besar yang tunggal mengawali peralihan estetis (aesthetic turn) dalam melihat realitas yang lain akan perang dan praktiknya. Sebuah proses di mana kita mengelola pengetahuan kita atas realitas yang sebenarnya[45]. Dimensi adversarial dari strategi dan perang membuat realitas yang berkembang dalam ranah ontologisnya menuju sebuah logika paradoksikal atas konflik[46]. Oleh karenanya, selalu ada unsur politik dalam perang dan strategi militer. Namun ’politik’ disini harus kita telaah kembali mengenai penggunaan linguistik-nya karena bisa saja representasi realitas yang dibentuknya tidak sepenuhnya mewakili apa yang ia coba untuk representasikan. Konstruksi realitas oleh karenanya tidak hanya bersandar pada relasi-relasi sosial per se sebagai pembentuknya namun juga dari intersubyektifitas yang tertuang dalam teks. Contoh: kata ’musuh’ merepresentasikan mereka yang harus dimusnahkan. Segala bentuk konstruksi realitas [subjektif] di atas adalah apa yang selama ini telah berkembang dalam konstelasi world politics dengan adanya institusionalisasi narasi tunggal mengenai yang mana dianggap ’benar’ dan mana yang ’salah’. Karenanya perkembangan perang dan strategi militer ke depan sepertinya akan diwarnai dengan perdebatan estetis dan etis dari politik yang mendasarinya.



[1] Lihat James Rosenau. (1996). ‘Many Damn Things Simultaneously: Complexity Theory & World Affairs’, di presentasikan pada Conference on Complexity, Global Politics, and National Security, disponsori oleh the National Defense University and the RAND Corporation (Washington, D.C., November 13, 1996)

[2] Nicolas Rengger. (2002). ‘On The Just War Tradition in The Twenty-First Century’. International Affairs. Vol. 78 (2), hal. 354

[3] Popular Dissent adalah terminologi yan sering digunakan oleh skolar ‘Cultural Studies’ dan Postmodern untuk merepresentasikan mereka yang dianngap deviant dan marjinal. Untuk kajian dalam HI, lihat Roland Bleiker (2000), Popular Dissent, Human Agency & Global Politics (Cambridge Uni Press)

[4] Logika-logika militer tersebut penulis sarikan dari beberapa prinsip perang dari strategis klasik (Clausewitz dengan centre of gravity & decisive battle-nya) serta prinsip-prinsip perang tradisional (e.g: unity of command; objective; offensive; mass; maneuver; economy of force; security; surprise; simplicity) ; Lihat U.S. Department of the Air Force Doctrine Document 1, Air Force Basic Doctrine (Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 17 November 2003), hal. 23

[5] Alexander Wendt dikenal sebagai salah satu IR leading constructivist yang menggabungkan pemikiran strukturasi Anthony Giddens dengan scientific realism-nya Roy Bhaskar. Tulisannya yang terkenal diantaranya: Anarchy is What the States Make of It (IO, 1992, vol. 46); The Social Theory of International Politics (Cambridge Uni Press, 1999) serta yang penulis gunakan di sini, The Agent-Structure Problem in International Relations Theory (IO, 1987, vol. 41:3)

[6] Aesthetic approach berhubungan dengan bagaimana melihat perbedaan/gap dalam sebuah bentuk representasi dan yang direpresentasikan dalam realitas. Kebalikannya adalah mimetic approach yang melihat dan menangkap realitas as-it-is; Lihat Roland Bleiker. (2001). ‘The Aesthetic Turn In International Political Theory’. Millenium Journal of International Studies. Vol. 30: 3, hal. 510-511

[7] Carl von Clausewitz, (1989), On War, trans. and ed. Michael Howard and Peter Paret (Princeton:  Princeton University Press), hal.76

[8] Lihat Chris Hables Gray, (1997), Postmodern War: The New Politics of Conflict (Routledge); Chris H Gray (2007), ‘Postmodern War at Peak Empire’ (Science as Culture, Vol. 16:2); Michael Bibby, (2000). The Vietnam War & Postmodernity (Uni of Massachusetts Press).

[9] Ronald Goodman, (1993), Military Strategy & Tactics, The Mollosian Naval Academy: Grolier Electronic Publishing

[10] ibid

[11] R.E dan T.N Dupuy, (1997), The Encyclopedia of Military History

[12] Banyak yang meyakini bahwa penulis Strategikon adalah Maurice sendiri, namun kemudian sekitar beberapa dekade yang lalu, Jenderal Philipicus, saudara laki-laki dari istrinya ditetapkan sebagai penulisnya [lihat John Wiita (1997), "The Ethnika in Byzantine Military Treatises," Ph.D. diss., University of Minnesota]; Untuk rujukan Strategikon, lihat Maurice's Strategikon: Handbook of Byzantine Military Strategy, (1984) ,ed. dan trans. George T. Dennis, (Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press)

[13] Charles Petersen (1992), ‘The Strategikon: A Forgotten Military Classic’, Military Review.

[14] ibid

[15] Lihat Joko Susanto (2008), Sun Tzu’s Strategy, presentasi powerpoint disampaikan pada mata kuliah Strategi & Tata Kelola Strategi, Dept. Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Airlangga (7 Oktober 2008)

[16] Ronald Goodman, op.cit

[17] ibid

[18] Lihat ‘Napoleon Warfare Strategy’ ,diakses melalui [www.easy-strategy.com]

[19] ibid

[20] Ronald Goodman, op.cit

[21] Napoleon Warfare Strategy, op.cit

[22] Edward M. Earle, et al., eds., (1973), Makers of Modern Strategy

[23] ibid

[24] ibid

[25] J. F. C. Fuller, A Military History of the Western World, 3 vols. (1954-56)

[26] Penggunaan kekuatan udara dengan membombardir titik-titik strategis (e.g: kota, industri dan jalur komunikasi dan suplai) sehingga kekuatan musuh lumpuh.

[27] Istilah yang digunakan untuk menamai peperangan yang dilakukan dari dua arah sekaligus (darat & laut); analogi kata ‘amphibi’

[28] Russell F. Weigley, (1973), The American Way of War: A History of United States Military Strategy and Policy (Bloomington: Indiana University Press), hal. xxii.

[29] Lihat Global Security, <www.globalsecurity.org/military/ops/Cold War>

[30] ibid

[31] Strategy of detterence berarti mencegah agar lawan tidak mengambil inisiatif menyerang, to win means to deter ; sebaliknya strategi of retaliation berarti menyerang balik (membalas) setelah kita diserang

[32] Kebijakan yang memaksa musuh untuk melakukan first strike untuk kemudian ia dapat meresponnya dengan menyerang balik (logika pembenaran moral); inheren dengan strategi retaliasi

[33] Lihat Charles Krauthammer, (1991), “The Unipolar Moment”, Foreign Affairs, vol. 70 (1), hal 23-33; lihat juga Christopher Layne (1993) ‘The Unipolar Illusion: Why New Great Powers Will Rise’, International Security, Vol. 17(4). hal 5–51; Steve Smith, (2002), “The End of Unipolar Moment? Sept 11 & The Future World Order”, International Relations, Vol 16(2), hal. 171–183

[34] Mayor Colin F. Mayo , (1992), The Weinberger Doctrine In The Post-Cold War Era, USMC
      CSC, diakses melalui 

[35] ibid

[36] James Der Derian. (2000). ‘Virtuous War/Virtual Theory’. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 76, No. 4, hal. 771

[37] James Der derian, log.cit, hal.772; perbedaan ‘virtual’ dan ‘virtuous’ di sini menurut Der derian terletak pada penggunaan mereka di era modern di mana ‘virtual’ mengambil posisi yang netral secara moral dan tone yang lebih teknikal sementara virtuous telah kehilangan artinya dalam memberikan pengaruh dengan peralatan yang berkualitas inheren.

[38] ibid, hal. 775

[39] Chris Hables Gray, (1997), ‘The System of Postmodern War’ dalam Postmodern War: The New Politics of Conflict (Routledge), hal. 169

[40] Lieutenant Colonel David Kilcullen, (2006). ‘Twenty-Eight Articles: Fundamentals of Company-levelCounterinsurgency’. Military Review (eds Mei-Juni 2006), hal.107

[41] Michael Ignatieff, (2000),Virtual War: Kosovo and Beyond (New York: Metropolitan Books), hal. 6.

[42] Alexander Wendt, (1987), ‘The Agent-Structure Problem in International Relations’. International Organization. Vol. 41: 3, hal. 337-8; lihat juga Anthony Giddens, (1984), The Constitution of Society. Cambridge : Polity Press

[43] Jacques Derrida, ‘La structure, le signe et le jeu dans le discours des sciences humaines’, dalam

L’Écriture et la différence (Paris: Éditions du Seuil, 1967), hal.427.

[44] Colin S. Gray. (2002). Strategy for Chaos: Revolutions in Military Affairs and The Evidence of History. (London: Frank Cass Publisher), hal. 7-8

[45] Roland Bleiker, (2001), op.cit, hal. 512

[46] Edward N.Luttwak, (1987). Strategy: The Logic of War and Peace (Cambridge, MA: Harvard University Press) .


No comments: