January 16, 2009

Diskursus Studi Strategi [Post]Modern: Matinya Studi Strategi Tradisional

By: Sesandi Tesa Gunawan

Abstrak:

Strategi dalam sejarahnya merupakan obyek studi dengan dinamika yang sifatnya transhistoris. Dengan berlatarkan peperangan sebagai embrionya, strategi berkembang melewati ruang sejarah yang panjang, mulai dari era klasik, modern, hingga zaman setelah modern dan bahkan melampaui batasan formal dimana ia dikonstitusikan. Strategi yang pada awalnya disepakati bersama sebagai kajian yang berjalan secara inheren dengan fenomena perang, dalam perkembangannya, kini strategi mulai merambah/melampaui wilayah lain diluar fokus utamanya (yang sejauh ini) diantaranya Strategi Bisnis. Namun penulis disini tidak akan menyentuh wilayah strategi dalam dunia bisnis, pembahasan pada paper ini fokus pada perkembangan studi strategi di dalam wacana perang – baik secara sinkronik maupun diakronik pada masa modern hingga posmodern. Secara sinkronik, penulis akan menafsirkan studi strategi pada satu irisan sejarah dari masing-masing masa, yaitu bagaimana studi strategi pada masa modern dan postmodern, apa saja yang menjadi karakteristik masing-masing, seperti apakah modern warfare dan postmodern warfare. Setelah konsep-konsep kunci antara kedua strategi dijabarkan, dengan pendekatan khas postrukturalis, penulis akan menghadirkan sebuah diskursus akan perubahan historis (diakronik) studi strategi dari era modern ke postmodern; apa yang menjadi pemicu perubahan studi strategi di era modern ke postmodern, apa perkembangannya dan apa indikator-indikator yang hilang, masih relevankah konsep strategi tradisional di era postmodern. pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba penulis jawab secara hati-hati dengan menghadirkan wacana-wacana posmodern dan berharap pembaca dapat mengambil sari-sarinya lalu dapat menciptakan sebuah diskursus baru.

Introduction

Strategi dan perang merupakan sebuah wacana yang berjalan secara inheren. Di setiap perjalanan sejarah, perang selalu hadir sebagai sebuah fenomena yang tampak natural. Dan pada satu irisan sejarah, disanalah wacana strategi lahir dan menemani setiap peperangan. Mulai era klasik hingga era modern, dari sesuatu yang murni militer hingga beralih ke bisnis. Begitulah studi strategi. Sebuah studi yang peka terhadap jaman dimana ia berkembang. Secara gaaris besar tulisan ini bertujuan untuk menghadirkan wacana tentang perang dan strategi sebagai soulmate. Namun wacana yang dihadirkan tidak dimulai dari awal strategi ini lahir, tidak pada era Sun Tzu atau Clausewitz, bukan era klasik.

Wacana yang dihadirkan akan penulis batasi hanya pada satu irisan sejarah saja, yaitu pada era modern dan postmodern. selain menghadirkan sebuah wacana, tujuan penulisan ini adalah mempertanyakan bagaimanakah studi strategi berdamai dengan era yang radikal dan irrasional – postmodern.

Maka penulis akan memulai dari penggambaran mengenai perang modern. Sebelum masuk pada inti pembahasan perang modern, akan dijelaskan dahulu tentang perbedaan antara kondisi modernitas dan modernisme, agar pembaca dapat memetakan elemen-elemen yang ada didalam era modernisme dan peperangan disana. Sedikit terinspirasi oleh Carl Von Clausewitz sebagai pakar perang dan pemerhati the nature of war, tema politik menjadi sentral dari perang modernisme. Selain politik, perkembangan sains, pola produksi masyarakat dan prinsip humanisme yang memunculkan elemen-elemen penting dari perang modern ini, yaitu perkembangan teknologi perang. Ditemukannya senjata pemusnah massal Nuklir juga akan sedikit dibahas. Sebagai contoh dari seberapa jauh perkembangan teknologi di era modern sekaligus menutup era modern dan membuka pintu era perang posmodern.

Masuk pada pembahasan perang pada era posmodern, pembaca akan dihadirkan Jean Baudrillard (1995) dan Mary Kaldor (1999 dan 2000). Karena kedua skolar ini cukup komprehensif dalam memberikan gambaran tentang perang postmodern. Baudrillard dan Kaldor sendiri berangkat dari tema sentral yang diangkat oleh Zaki Laidi (A World Without Meaning: 1998) yang menyebut kondisi postmodern sebagai ‘World Without Meaning’(1998), sebuah gambaran dunia yang tanpa makna serta keruntuhan dari grand narrative modernisme. Perang postmodern oleh Baudrillard lebih kepada perang dengan menggunakan hi-tech waponry serta pencitraan oleh media, dengan Perang Teluk 1991 sebagai observasinya. Sebaliknya, Kaldor lebih melihat fenomena-fenomena yang low tech sebagai bentuk dari perang postmodern. Perang-perang intrastate seperti konflik Eropa Timur, Yugoslavia, serta banyak konflik etnis yang lain seperti peristiwa Hutu Tribes 1994. Perang postmodern dalam bahasa Kaldor diartikan sebagai ‘new wars’ (1999).

Usai menghadirkan wacana tentang perang, penulis akan mencoba membuat sebuah diskursus tentang studi strategi. Diskursus akan berlangsung di seputar seperti bagaimana strategi di era perang modern terbentuk dengan latar tema politik dan militer yang kental. Atrategi pada masa ini juga merupakan jembatan antara politik dan militer, yaitu bagaimanakah dengan kemampuan militer tujuan-tujuan politis itu dapat dicapai. Hingga datangnya Perang Dingin yang merubah hakikat dari perang juga merubah esensi dari strategi yang awalnya engagement, dengan adanya nuklir, esensi strategi beralih ke compelance sebagai konsekuensi dari aktor-aktor yang bermain saat itu. Diskursus ini akan berjalan lebih meenarik saat masuk pada pembahasan mengenai kondisi posmodern. Dimana disini realitas yang ada di era postmodern dengan segala kompleksitasnya menantang eksistensi dari studi strategi tradisional. Pada akhir pembahasan ini, penulis berharap agar pembaca memiliki interpretasi tentang segala wacana yang dihadirkan penulis. Yang nantinya pembaca mampu menghadirkan diskursus baru tentang strategi postmodern dengan lebih menarik dan kreatif.

Modernism Warfare: The Dawn of Industrial Age and Cybernatic Era

Sebelum memasuki pembahasan tentang perang modern, akan dijabarkan secara singkat tentang bagaimanakah kondisi dari modernisme dan perbedaannya dengan modernitas. Berangkat dari modernitas, yang merupakan kondisi konkret sosial, ekonomi, politik, dan budaya zaman modern yang berbeda dengan zaman pertengahan(Ardian). Muncul sebagai implikasi adanya sekularisasi di segala bidang karena semangat pemikiran bebas dan humanisme. Peristiwa-peristiwa yang menjadi latar modernitas ialah: Revolusi Ilmu Pengetahuan, Revolusi Perancis, dan Revolusi Industri di Inggris. Selanjutnya, peristiwa-peristiwa inilah yang nantinya melahirkan elemen-elemen dari modernisme seperti sains dan teknologi, demokrasi, dan kapitalisme.

Bila modernitas merupakan realitas sosial pasca-Abad Pertengahan, maka modernisme adalah gagasan yang berkembang di masa itu yang memiliki implikasi strategis bagi modernisasi. Frans Magnis-Suseno dalam Filsafat Sebagai Ilmu Kritis mengemukakan adanya tiga gagasan yang sedang berkembang: Kapitalisme, Humanisme, dan Rasionalisme. Perang modern berangkat dari ketiga gagasan diatas dengan semangat modernitas yang menggebu-gebu. Kapitalisme menjadi motor dalam mengembangkan teknologi serta industri militer, semangat humanisme menjadi tema dan kebebasan universal menjadi tujuan politis, dan rasionalisme menjadi kunci bagi setiap tindakan yang diambil dalam medan perang.

Berbicara tentang modern warfare, Carl Von Clausewitz merupakan nama yang cukup berpengaruh dalam perkembangan studi strategi perang yang lebih modernistik. Clausewitz tertarik dalam mempelajari hakikat perang (nature of war). Dalam karyanya On War, pemahaman Clausewitz tentang hakikat perang disampaikan secara komprehensif dan sistematis. Dengan menggunakan pendekatan filosofis dari para pendahulunya Clausewitz membahas batasan eksternal pada hakikat perang itu sendiri (Clausewitz dalam Kane, 2007).

Pada chapter lain dalam On War yang lebih pada tataran praktis, Clausewitz mampu mengangkat faktor-faktor tak terelakkan dan tidak dapat diduga sebelumnya yang menghambat operasi militer dalam perang. War is only a branch of political activity...it is in no sense autonomuos (1976). Mungkin kalimat inilah yang dapat memberikan gambaran mengenai pemikiran-pemikiran Carl Von Clausewitz mengenai the nature of war sekaligus mewakili karakteristik utama perang di era modern.

Selain itu, perkembangan sains, teknologi militer dan inovasi organisasional juga menjadi karakteristik lain peperangan di era modern. Perkembangan transportasi memungkinkan sebuah serangan bersenjata untuk mengangkut pasukan dalam jumlah besar, kemajuan teknologi persenjataan memungkinkan pasukan-pasukan tersebut untuk membuat kehancuran yang masiv, dan sistem produksi masa yang baru juga memungkinkan sebuah masyarakat untuk memproduksi kebutuhan militer mereka dalam skala yang besar pula. Prinsip ini diterapkan baik dalam bidang kelautan, dan penemuan-penemuan seperti tank dan pesawat udara semakin memberi warna pada era-industrial teknologi perang modern. Fenomena ini semakin melegitimasi salah satu statement Clausewitz ‘war is merely the continuation of politics by other means’(1976), sejak sebuah masyarakat mampu bergerak selangkah lebih maju dari yang lainnya, dan sejak kemenangan di medan pertempuran menjadi semakin mudah bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya dari yang lainnya, maka semakin kuat dugaan bahwa politics might become a merely continuation of war by other means (Kane, 2007). Fenomena seperti ini dapat kita temui lebih lanjut dalam perang Napoleonic, Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan sebagai penutupnya adalah Perang Dingin.

Perkembangan yang cukup kentara pada perang modern adalah ditemukannya senjata pemusnah massal yang dikenal dengan termonuklir atau teknologi terbarunya dikenal dengan ballistic missile delivery system. Revolusi teknologi militer ini hangat pada masa Perang Dingin, dengan dua negara superpower sebagai pemain utama yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara pemilik nuklir terbesar pada saat itu. Rasionalitas ala modernis sangat kentara disini. Bernard Brodie mengatakan bahwa ‘rationally based science could produce a new technology which would, through an equally rational process, mandate a new approach to political and military affairs’(1946), teknologi nuklir sebagai penemuan teknologi militer terkini memberikan dampak yang signifikan pada the nature of war. Senjata absolut (1946: passism) ini memunculkan tendensi ke arah stabilitas dengan terciptanya mutual fear diantara pemilik nuklir. Mutual fear muncul ditengah rasionalitas antar aktor, dimana jika satu roket meluncur, maka kehancuran bukan akan dialami oleh satu negara saja, kehancuran itu akan menjadi absolut, se-absolut senjata yang mereka ciptakan sendiri.

Hakikat perang dan pemikiran strategi berkembang dari offense ke deffense. Kemenangan dinilai bukan dari menciptakan kehancuraan pihak lawan, tapi adalah bagaimana dengan nuklir dapat men-deter lawan untuk menyerang.

Postmodern Warfare in World Without Meaning

... attaining one hundred victories in one hundred battles is not the pinnacle of excellence. Subjugating the enemy’s army without fighting is the true pinnacle of excellence.

~ Sun Tzu, The Art of War

Ada dua fenomena yang dapat dikategorikan – sekaligus sebagai contoh perang postmodern. Dari banyak skolar, salah satunya adalah Jean Baudrillard, mengatakan bahwa Perang Teluk merupakan titik awal perang postmodern. Negara-negara barat sebagai negara maju, khususnya Amerika Serikat, menggunakan hi-tech smart weaponary dalam menjalankan perang postmodern pada Perang Teluk. Perspektif lain berpandangan bahwa perang intrastate, seperti Yugoslavia, merupakan gambaran dari perang posmodern. Sebaliknya, perang dengan low-tech seperti yang terjadi di Eropa Timur dan Banyak negara ketiga merupakan kunci utama dari perang posmodern.

Mengapa Perang Teluk dikategorikan sebagai perang posmodern? Penjelasan Baudrillard mengarah pada dua observasi mengenai perang teluk: penggunaan teknologi perang jarak jauh dan terkomputerisasi, dan informasi serta produksi citra besar-besaran oleh media yang justru membuat masyarakat kesulitan untuk membedakan antara yang aktual dan yang virtual(). Pemakaian teknologi canggih pada perang teluk dinilai terlalu berlebihan. Perang teluk tidak lebih besar daripada Perang Dunia II, atau sebut saja perang Vietnam, namun mengapa untuk sebuah negara sebesar Irak saja dibutuhkan persenjataan komputer berteknologi canggih dengan jarak tempuh yang jauh? Apakah negara superpower sekelas Amerika tidak mampu mengatasinya dengan senjata seperlunya saja?

Inilah yang selanjutnya oleh Zaki Laidi disebut dengan sebutan world without meaning(1998). Yakni sebuah ganbaran dari situasi pasca-Perang Dingin dimana narasi besar Modernis telah runtuh, dan Amerika kehilangan musuh romantisnya saat perang dingin, maka isu Perang Teluk menjadi tempat bagi Amerika untuk mengisi ‘meaning’ yang hilang setelah runtuhnya kerajaan Soviet tersebut. Dengan mengeluarkan semua kemampuan yang iddle dan tersimpan di gudang persenjataannya, dan melalui pencitraan di berbagai media antagonisme Amerika Serikat disimulasikan pada peristiwa tahun 1991 itu.

Revolusi teknologi militer bukanlah satu-satunya isu yang menjadi karakteristik utama perang postmodern. Revolusi tidak hanya terjadi dalam ranah teknologi saja, namun menurut Kaldor, revolusi terjadi dalam ranah hubungan sosial dalam peperangan, bukan revolusi teknologi(2000). Selanjutnya ia menggambarkan kondisi perpecahan di negara eks-komunis – seperti konflik di Eropa Timur – sebagai bentuk dari kejenuhan universalitas era modernis. Kejenuhan akan ideologi komunisme yang selama ini mengekang mereka dan kini mereka ingin melepaskan diri lalu membangun identitas negara mereka sendiri. The New Wars, merupakan istilah yang digunakan Kaldor. Karena term Perang Postmodern lebih mengarah pada perang virtual dan perang pada dunia maya (war in cyberspace)(1999). New Wars, menurutnya adalah tentang identitas politik yang kontras baik secara geo-politis maupun tujuan ideologis dari perang-perang sebelumnya; perang tidak lagi dipahami sebagai bagaimana mencapai kepentingan negara (realis) atau ide tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibentuk(liberalis)(1999).

Diskursus Studi Strategi: Strategi Modern dan Kondisi Postmodernitas

Studi strategi merupakan sebuah kajian yang peka zaman. Studi ini berkembang mengikuti fenomena yang melatari kemunculannya, berkembang (atau ter-reduksi) sesuai dengan indikator-indikator yang dibutuhkan menurut fenomena tersebut. Definisi strategi sendiri berasal dari bahasa Yunani Strategos yang berarti kepemimpinan, atau generalship. Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi dilahirkan dari kajian militer sebagai ibunya dan peperangan sebagai fenomena yang mendewasakannya. Maka disini penulis akan mencoba melacak kembali jejak studi strategi secara historis, namun penulis membatasi antara era modern ke postmodern saja dan hanya pada wacana perang saja.

Strategi Pada Perang Modern

‘....war phasising rightly the roles of guesswork and luck in war, exactly because ‘No other human activity is so continuously or universally bound up with chance’ ().

~Carl Von Clausewitz

Ada beberapa definisi mengenai strategi yang disampaikan oleh beberapa pakarnya. Carl Von Clausewitz mengartikannya sebagai the use of engagement for the object of war. Liddell Hart sebagai ahli militer mengatakan bahwa strategi adalah seni dalam mendistribusikan dan mengaplikasikan cara-cara militer untuk melaksanakan sebuah kebijakan. Secara eksplisit Gregory D. Foster menyebut strategi sebagai cara untuk menyampaikan power secara efektif.

Murray dan Grimslay lebih melihat strategi sebagai sebuah proses dalam beradaptasi dengan situasi dan kondisi dalam peperangan yang tak menentu. Dari berbagai definisi yang disuguhkan diatas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa strategi erat kaitannya dengan dunia militer dan tujuan perang yang notabene adalah tema dari strategi pada perang di era modern.

Engagement merupakan salah satu ciri khas dalam peperangan modern. Strategi disini berperan sebagai sebuah instrumen yang tak kentara, yang berfungsi sebagai alat efektifitas dalam pertempuran di medan perang. Tujuan-tujuan politis juga menjadi ciri lain dalam perang modern, maka disini strategi berfungsi sebagai jembatan antara cara-cara dalam militer dan tujuan-tujuan politis tersebut. Perkembangan teknologi militer serta jumlah pasukan yang besar menjadi simbol power pada aktor-aktor yang turun dalam perang modern. Maka strategi disini berfungsi sebagai akselerator bagi pendistribusian kekuatan-kekuatan tadi secara efektif agar semakin dekat dengan objektif perang. Situasi politik peperangan modern sangat tidak terduga, Italia yang awalnya beraliansi dengan Jerman pada Perang Dunia I pada akhirnya berbalik mendukung sekutu. Maka strategi disini mgajarjan agar bagaimana dapat berdamai dengan situasi tersebut.

Strategi mulai berkembang menjadi sebuah bidang studi dalam Politik Internasional mulai tahun 1940 hingga 1980an. karena dalam perang juga terdapat berbagai aspek yang diperhitungkan – seperti aspek psikologis, politik, geografi, teknologi, dan force structure – maka dirasa perlu mempelajari strategi secara interdisipliner. Bernard Brodie yang merupakan orang yang berperan dalam membangun strategi sebagai sebuah subjek akademis mengatakan bahwa strategi harus dipelajari secara saintifik dengan pendekatan metodologis strategy should be seen as [a]n instrumental science for solving practical problems (1946) begitulah katanya. Perkembangan ini juga merupakan reaksi akan kesadaran tentang kehancuran akibat perang, maka tujuan strategi disini (sedikit) tereduksi. Perubahan makna strategi ini berlangsung saat Perang Dingin, dimana bagaimana strategi dapat menjadikan perang itu menjadi kompetisi yang tidak berbahaya dan mengurangi resiko-resiko perang (rasionalitas khas modernisme).

Penjelasan diatas merupakan garis besar strategi pada perang modern. Dapat disimpulkan bahwa strategi perang modern pada awal perkembangannya masih berbau militeristik. Strategi merupakan sebuah tools bagi tercapainya tujuan perang melalui cara-cara militer. Strategi juga menjadi jembatan antara politik dan militer. Bagaimana strategi mendekatkan perang dengan tujuan-tujuan politis. Ini dapat ditemui pada perang Napoleonic, Perang Dunia I dan II. Hingga berubahnya the nature of war pada perang dingin juga merubah tujuan strategi dari ‘bagaimana perang berlangsung secara efektif’ menjadi ‘bagaimana secara efektif perang dicegah’. Maka konsep strategi detterence mulai dikembangkan yang melahirkan dua pendekatan dalam upaya arms control yaitu Nuclear Utilisation Theory (NUT) dan Mutually Assured Destruction (MAD). Walupun efektifitasnya masih diragukan karena kedua negara superpower pada saat itu masih saja mengembangkan teknologi nuklir mereka.

Studi Strategi Tradisional vs. Era-Postmodern

There are but two powers in the world, the sword and the mind. In the long run the sword is always beaten by the mind.

~ Napoleon Bonaparte

Ada beberapa karakteristik perang di era postmodern, era dimana informasi-digital, teknologi dan kecepatan mampu melampaui batas-batas wilayah – bahkan batas negara. Karakteristik yang pertama ialah kecepatan. Yang kedua adalah matinya sang kuasa, kekuasaan pada era posmodern tidak lagi terletak pada negara yang (dulu) terlegitimasi sebagai pemilik power. Power kini ada dimana-dimana. Kedua karakteristik ini merupakan usaha penulis dalam menciptakan sebuah diskursus tentang bagaimana eksistensi studi strategi setelah masa modernisme berlalu. Bagainana eksistensi studi strategi di era yang sangat kompleks ini, apakah konsep tradisional strategi masih berlaku atau apakah sudah kadaluwarsa? Masih relevankah studi strategi saat ini? Penulis tidak secara eksplisit dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, namun melalui diskursus dibawah ini, penulis akan mencoba membuat diskursus baru tentang studi strategi postmodern.

Ciri khas era postmodern yang cukup kentara ialah hakikat kekuasaan. Pada masa pra-postmodern, pra-modern, bahkan bila kita kembali pada era Machiavelian; hakikat kekuasaan ialah terletak pada negara sebagai pemegang otoritas penuh. Negara terlihat sangat sentral perannya dalam menggunakan kekuasaannya untuk menjalankan kepentingannya, terkadang namun seringkali menggunakan cara-cara yang represif. Bila kekuasaan dipahami sebagai kepemilikan kontrol atau kemampuan mengontrol, maka kini, seorang Michael Jakcson tanpa cara represif dapat menghanyutkan ribuan masa fansnya,lebih besar powernya ketimbang usaha pemerintah dalam kampanye kebersihan.

Kekuasaan (kini) ada dimana-mana, tidak hanya di seputar presiden, menteri, kekuatan militer atau partai politik. Kekuasaan kini merupakan relasi sosial yang (bisa) dibentuk dan disebarluaskan dengan berbagai cara. Parahnya, kecanggihan teknologi dan kecepatan waktu yang mendahului keberadaan, memungkinkan kekuasaan manapun untuk melakukan kekerasan.

Kecepatan waktu merupakan ciri khas era postmodern dimana teknologi informasi digital berkembang pesat diseluruh dunia. Ontologi (ilmu tentang eksistensi) waktu di dalam era informasi digital dicirikan oleh pemadatan waktu; sebagai konsekuensi dari percepatan dalam aneka durasi kehidupan (Piliang, 2005).

Dimana narasi digital berkembang ke arah narasi kecepatan, sehingga ruang kini dikalahkan oleh waktu dengan dimampatkannya durasi dari satu ruang ke (banyak) ruang lainnya. Bagaimana dengan internet kita bisa berhubungan dengan orang di seluruh dunia secara real time, bagaimana sebuah website dapat menyerang ifrastruktur digital di Amerika Serikat(Wilson, 1996), merebaknya kejahatan dunia maya; hal ini merupakan konsekuensi logis dari kecepatan dalam era informasi digital. Dengan bantuan teknologi, sebuah individupun akan mampu membangun relasi kekuasaan atau bahkan mampu membuat dunia baru dengan bantuan pemadatan waktu, sehingga menurut Virilio, ...”tidak ada revolusi industri, melainkan revolusi dromokratik; tidak ada demokrasi, melainkan dromokrasi; tidak ada strategi, melainkan dromologi (Virilio dalam Piliang, 2005). Dromologi (waktu yang berlari) merupakan konsep Virilio tentang speed dalam era digital. Di era digital ini kita sangat menggantungkan diri pada kecepatan berlari; bila kita terlalu lambat, kita akan mati (Virilio dalam Piliang, 2005).

Inilah sedikit kenyataan tentang perubahan konstelasi politik global yang dihadapi oleh studi strategi tradisional. Studi strategi yang dahulu dapat berdamai dengan situasi politik yang cenderung bersuhu tinggi, linear, dan mudah ditebak; kini ia ditantang oleh situasi yang tak tentu, isu-isu yang baru yang lebih low politics, keadaan yang chaos dan irrasional. Revolusi di Bidang Militer (Revolutionary Military Affairs) yang digalakkan oleh Amerika Serikat ternyata tidak sanggup mencegah serangan Teroris pada 11 September 2001 menembus masuk ke pertahanan Amerika. Pre emptive strategy yang dilancarkan pemerintahan Bush bersama dengan kampanyenya yang arogan: War on Terror; dengan melakukan invasi ke Afghanistan dan berhasil menggantung Saddam Hussein ternyata tidak menghentikan aksi teror internasional. Aksi terorisme ternyata masih berlangsung di India.

Melihat fenomena ini, penulis sependapat dengan Paul Virilio yang mengatakan bahwa ‘perang kini bukan lagi sebuah kelanjutan dari politik...perang merupakan integral accident (benturan peradaban, cyberwarfare, perang budaya, perang ekonomi, dsb.) yang disebabkan oleh teknologi dan automasi’ (Virilio: Speed and Politics, 2006). Maka strategi kini tidak lagi sebuah seni dalam memenangkan pertempuran terbuka, dengan menggunakan senjata-senjata canggih dan berteknologi tinggi. Untuk menjadi seorang yang strategis, kita tidak perlu menjadi seorang jendral yang mampu memimpin banyak pasukan dan memenangkan peperangan. Semua orang kini diberi kesempatan untuk dapat menjadi seorang strategis. Menjadi seorang yang strategis adalah bagaimana kita melatih cara berpikir yang stratgis. Cara berpikir yang terstruktur dengan kelihaian dalam menggunakan senjata analisa; bagaimana kita memetakan sebuah permasalahan, menemukan pangkal masalah, dengan analisa yang tajam kita tentukan solusi, dan akhirnya rekonfigurasi bentuk baru sesuai dengan apa yang kita inginkan.


1 comment:

Abd. Hafidz AR said...

i like this, ditunggu posting berikutnya bang...........