January 16, 2009

Menguak Keberadaan Strategi Nuklir pada Situasi Multipolar

By : 07061046

I.Pendahuluan

”Semuanya berubah” begitu pula dengan strategi, sesuai dengan lingkup-lingkup yang di jamah secara strategis, bentuk dan cara-cara yang di tempuh juga sudah tentu berubah dan berkembang sesuai arah, namun esensi dari strategi tersebut masih seputar menuju kemenangan. Dalam pembahasan ini penulis akan menjabarkan tentang eksistensi dari strategi nuklir, dan instrumen, atau attachment yang termasuk dalam strategi nuklir sendiri, serta era-era keemasan strategi nuklir.

II.Era Nuklir

1.perang dingin

Cikal bakal lahirnya perang nuklir dan sekaligus perkembangan strategi menjadi nuklir strategi adalah, ketika jatuhnya bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki. Semenjak peristiwa yang indiscriminate effect tersebut, nuklir menjadi suatu alat untuk membuktikan kekuatan meski tidak meluncurkan kekuatan nuklir tersebut, namun hal tersebut merupakan instrument yang penting sebagai alat legitimasi. Pada awal mula sebelum US percaya bahwa nuklir merupakan elemen terpenting dalam perang modern, AS menggunakan strategi nuklir yang merujuk pada diplomasi koersif, senjata merupakan elemen yang penting dalam melakukan diplomasi dengan negara lain. Unsur pemaksaan dengan nuklir ditunjukkan oleh AS sebagai elemen diplomasi terhadap negara lain, hingga US mulai menggeliatkan nuklir dengan percobaan nuklir pada tahun 1941.

Kelanjutan dari compellence adalah meningkatnya kekuatan nuklir US yang berarti terjadi perimbangan kekuatan antara dua kubu yang sama-sama berkekuatan nuklir yakni AS dan US, di mana keduanya saling berlomba dalam peningkatan kekuatan nuklir masing-masing sebagai bentuk power mereka dalam menjaga stabilitas antar dua negara, di sini tampak strategi nuklir detterence atau pencegahan, dalam artian nuklir di gunakan sebagai alat untuk mencegah musuh menyerang, dengan intimidasi secara langsung bahwa serangan tersebut akan di balas dengan nuklir yang berkekuatan sama sehingga akan menimbulkan kerugian di kedua pihak. strategi Detterence dipicu oleh krisis rudal Kuba tahun 1962.Pada periode ini kedua negara adidaya mengejar postur extended deterrence (penggetar yang diperluas) Tujuan strategi ini adalah mencegah serangan kepada pemilik nuklir tetapi juga sekutunya. Berkembanglah aliansi seperti terjadi di Eropa dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).[1]

Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata defensif dan mengandalkan serangan terhadap obyek-obyek militer (counterforce).[2]

Strategi nuklir menggeser strategi-strategi dalam perang konvensional yang mengakibatkan perdebatan di kubu US, perdebatan tersebut menggaris bawahi adanya kemungkinan untuk meninggalkan perang konvensional dan beralih ke strategi saling menggertak dengan nuklir. Seiring perkembangan teknologi, kaum tradisionalis dan modernis US, sepakat untuk memajukan bidang konvensional dan nuklir secara berimbang karena mempertimbangkan kekuatan lawan yang terfokus juga pada kekuatan nuklir, namun tidak melupakan kemampuan perang konvensional karena tetap militer adalah ujung tombak dalam setiap peperangan yang pernah di alami oleh US.

Dalam strategi nuklir, termasuk di dalamnya pemikiran geopolitik, dalam artian pemilihan lokasi yang tepat untuk menyiagakan hulu ledak nuklir di berbagai daerah yang strategis, strategi geopolitik ini memudahkan serangan counterforce karena memberi peluang untuk melakukan pre-emptif strike dan mampu melakukan serangan balasan karena memiliki cadangan nuklir di tempat yang aman. Terlihat dalam perang dingin sendiri terdapat pertarungan strategi nuklir yang kental antara blok barat dan blok timur, AS menggunakan strategi massive retaliation, sebagai ”gertakan” kepada US dengan mengembangkan senjata nuklir ke tingkat yang membahayakan, dan menggunakan strategi geopolitik dengan menempatkan persenjataan nuklir tersebut di wilayah Eropa Barat. Penempatan nuklir di wilayah sekutu AS semakin di perkuat dan di perlebar, keadaan tersebut ditingkatkan karena pertimbangan akan serangan balasan jika terjadi pre-emtif atack oleh musuh, sehingga dalam keadaan tersebut senjata AS masih bisa membalas dengan kekuatan yang tak kalah besar. Strategi nuklir yang terus bersifat menekan pihak lain menimbulkan ada nya keyakinan bahwa sebenarnya nuklir akan menghancurkan kedua belah pihak apabila meletus perang nuklir, disini timbul produk dari ketegangan tersebut, yakni kedamaian yang bersifat stabil antara dua hegemon dunia.

Muncul istilah yang di gunakan oleh pengambil kebijakan AS Mutual Assured Destruction, istilah ini menunjukkan perimbangan strategis antara kedua kubu pada tahun 1960-an sampai awal 1970. Menurut Couloumbis, MAD ini tergantung pada kemampuan kedua negara adidaya dalam menahan serangan nuklir pertama dan berkemampuan membalas sehingga menimbulkan “kerusakan ayang tidak bisa diterima” oleh penyerangnya. Kalangan pakar strategis nuklir menyebutnya kemampuan membalas itu sebagai sebagai “kemampuan serangan kedua”,dengan adanya doktrin seperti ini maka, kemampuan membalas serangan itu menjadi tumpuan sehingga harus kuat dan mobil. Hal ini ditujukan agar senjata nuklir bisa selamat dari serangan pertama. Sistem senjata ofensif memainkan peran penting. Kemudian berkembanglah apa yang disebut dengan MIRV (multiple independently targeted reentry vehicle). Ini adalah satu jenis rudal yang bisa melepaskan sejumlah hulu ledak termasuk hulu ledak tipuan. MIRV ini dapat dipasang di rudal balistik antar benua atau rudal yang diluncurkan dari kapal selam.[3]

Di tahun 1983 AS menciptakan trobosan baru dalam strategi nuklir, strategi ini bermula pada saat presiden AS Ronald Reagen mengusulkan pertahanan terhadap rudal nuklir jenis balistik dengan mematikan sistem rudal tersebut di luar angkasa, sehingga menimbulkan malfungsi terhadap rudal tersebut. Secara resmi kebijakan Reagan itu disebut Strategic Defense Initiative (SDI) atau Prakarsa Pertahana Strategis. Kebijakan baru itu malah lebih populer disebut Star Wars. Perangkat penghenti nya adalah teknologi canggih yang menghentikan laju nuklir di luar angkasa sehingga tetap di luar angkasa.

Secara ringkas, bisa kita ketahui bahwa strategi nuklir pada perang dingin sedang gencar-gencarnya di masak oleh para negara super power, dalam geopolitik hal ini sangat mencolok dengan penempatan-penempatan nuklir di tempat strategis, rencana-rencana penyerangan melalui darat dan laut, namun sebenarnya strategi nuklir pada perang dingin sendiri merupakan proses detterence dari ke dua negara karena bisa di lihat sebenarnya perang nuklir tidak pernah terjadi pada perang dingin. Strategi nuklir pada perang dingin berfungsi sebagai pelengkap dalam arms race antara ke dua negara adidaya, sehingga terjadi saling menggertak dengan pendekatan-pendekatan seperti MAD, sehingga ke dua pihak yakin bahwa perang nuklir tidak lah dapat menyelesaikan masalah, namun terjadi dilema ketika ke dua pihak hendak melepaskan kekuatan nuklir dari tubuhnya, takut untuk menjadi negara yang diserang oleh nuklir karena tidak bisa mengambil langkah counter atack dari serangan pre-emptif attack tersebut.

2.Pasca Perang Dingin

Strategi nuklir pasca perang dingin lebih mengarah pada hegemon dunia unipolar yakni AS, seperti yang telah diketahui US telah runtuh seiring dengan ambruknya komunisme internasional dan terpecah menjadi beberapa negara sehingga secara langsung menandakan kemenangan AS pada perang dingin. Tidak bisa di pungkiri lagi, setelah perang dingin pada awalnya hanya AS yang masih memiliki kendali penuh atas kekuatan nuklir, hal tersebut melarikan AS ke puncak perpolitikan dunia sebagai hegemon baru.

Jatuhnya komunis menyebabkan AS merubah strategi nuklirnya. Pada tahun 1991 presiden AS pada saat itu, George W. Bush Jr mereduksi jumlah senjata nuklir yang di miliki AS. Hal ini merupakan hasil dari beberapa pertimbangan tentang strategi nuklir, di antaranya:

1. Berakhirnya perlombaan senjata dengan US, sehingga perlu adanya pereda ketegangan dengan memusnahkan sebagian senjata nuklir.

2. Perang dunia ke dua adalah perang dunia terakhir, karena sudah terwujudnya negara hegemon yang menjaga balance of power dengan negara lain di dunia.

3. Mempengaruhi sikap pimpinan negara yang dahulu adalah US dan sekarang terpecah untuk ikut mereduksi senjata nuklir mereka.[4]

Hal tersebut di realisasikan dengan perjanjian yang di sepakati oleh AS dan negara pecahan US, yakni yang terkuat di antara pecahan-pecahan US, Rusia. Perjanjian strategic arms reduction treaty (START II) merupakan kelanjutan dari SALT I (Strategic Arms Limited Talks I) pada 1972. START II disepakati pada tahun 1993, berisikan kesepakatan AS dan Rusia untuk mengurangi jumlah senjata nuklirnya. Perjanjian tersebut terbilang sukses karena dari 12.000 hulu ledak nuklir pada tahun 1990 menjadi antara 3000 dan 3500 pada tahun 2003. selain pengurangan tersebut, AS bekerjasama dengan negara-negara pecahan US untuk mencegah penyebaran nuklir, agar tidak memicu perang nuklir. Namun seperti strategi lainnya yang telah di lakukan AS, perjanjian tersebut merupakan kepentingan politis yang di upayakan AS untuk menjadikan satu-satunya negara yang memiliki kekuatan nuklir sehingga posisi sebagai negara adidaya tetap awet.

Pada masa-masa ini strategi nuklir sudah tidak se eksis pada perang dingin, digantikan dengan peningkatan senjata-senjata konvensional oleh AS, tetapi hal tersebut tidak menghilangkan adanya unsur nuklir dari daftar kekuatan militer AS.

Sama halnya yang dilakukan oleh Rusia atas strategi AS yang tetap mengadakan kekuatan nuklir walaupun dalam jumlah yang bisa di bilang sedikit. Rusia sebagai pecahan dari US yang bisa dibilang paling kuat tidak mengingkari bahwa kekuatan nuklir memang tetap menjadi suatu instrumen perang yang mutlak setelah konvensional, atau bahkan tidak perlu memakai senjata konvensional. Dengan kata lain, Rusia tetap memiliki kontrol akan senjata nuklir sama dengan yang AS lakukan serta melakukan pengembangan senjata non nuklir yang canggih sebagai antisipator akan serangan dari luar.

Secara garis besar strategi ke dua negara (AS dan Rusia) pasca perang dingin sebenarnya sama, yakni tetap menjaga kendali atas nuklir dan menghilangkan kesan mengancam dari militer ke dua belah pihak. Meski pengalihan fokus dari militer ke dua negara tersebut tercurah pada aspek konvensional, nuklir sebagai sesuatu yang bisa di anggap prestise, tetap merupakan suatu ukuran dari kekuatan negara. Sehingga bisa di katakan strategi nuklir tetap bisa di gunakan selama masih ada negara dengan kekuatan militer.

II.Strategi Nuklir Pada Masa Multipolar

Seperti yang telah terjadi setelah berakhirnya perang dingin, selang beberapa tahun, muncul negara-negara dengan kemampuan ekonomi yang terus meningkat seiring dengan perkembangan-perkembangan yang dilakukan. Pada bahasan ini, penulis akan membedakan kebutuhan nuklir sebagai strategi untuk kebutuhan energi dan strategi untuk kepentingan militer, karena strategi bukan hanya suatu tindakan yang selalu mengarah pada bidang militer saja.

1. Nuklir sebagai Energi Alternatif

Dalam penerapan strategi nuklir yang mengarah pada energi, kita bisa melihat hal tersebut dilakukan karena pemikiran strategis dan efisien, dalam artian pencarian sumber energi alternatif yang masih melimpah. Pemanfaatan nuklir dapat dikategorikan untuk makanan, obat-obatan, kesehatan dan kedokteran, industri, transportasi, desalinasi air, listrik dan senjata. Pemanfaatan radio isotop telah dilakukan untuk keperluan makanan yang berhubungan dengan rekayasa pertanian dan peternakan. Sebenarnya ini merupakan strategi juga, mengapa disebut demikian? Karena dalam alam sendiri, nuklir merupakan bahan alami yang harus digunakan, karena lambat laun akan menjadi sampah radio aktif juga, tidak strategis sekali apabila menelantarkan sumber energi begitu saja hingga menjadi sampah yang tak bisa di gunakan, dalam strategi nuklir sebagai bentuk energi sipil dan sudah tentu untuk kepentingan perdamaian (non-militer). Pengaplikasian dalam nuklir sebagai energi alternatif adalah pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir aatau nuklir power plant (NPP), pengembangan NPP sendiri dimulai secara intensif setelah konferensi Genewa "On the peaceful uses of atomic energy" yang di sponsori oleh UN (PBB) tahun 1955. Terobosan ini pada mula nya menjadi strategi pencegahan bagi negara-negara besar pemilik senjata nuklir agar tidak memperluas nuklir pada negara lain, hal ini membantu mereduksi jumlah nuklir di negara-negara tersebut.

Pilihan energi nuklir sebagai salah satu opsi energi yang bersih disadari oleh salah seorang pendiri organisasi lingkungan dunia greenpeace Dr. Patrick Moore, PhD, dia sampaikan pandangannya tersebut dalam Congressional Subcommittee on Nuclear Energy EApril 28, 2005 : Nuclear energy is the only non-greenhouse gas emitting power source that can effectively replace fossil fuels and satisfy global demand . Pandangan Moore tersebut mensiratkan adanya sebuah kesadaran ahli lingkungan akan kebutuhan energi yang bersih dan berkesinambungan dengan memilih opsi energi nuklir.[5]

2. Nuklir sebagai Instrumen Militer

Memasuki era yang masih bisa dibilang nyaris atau sudah multipolar ini, AS memiliki perubahan paradigma dalam keamanan nasional, pada era sebelum AS menjadi kekuatan unipolar, musuh utama adalah kerajaan komunis dan telah sukses menjadi pemenang karena kehancuran US di tahun 1991, beberapa bekas komunis bergabung dengan NATO dan sebagian beraliansi melawan teroris dengan AS dalam GWoT (Global War on Terrorism). Salah satu yang menjadi kekawatiran AS adalah kebangkitan negara komunis yang mulai menggeliat. China, memang masih berideologi komunis, tetapi bukan ideologi yang di takutkan oleh AS pada saat ini, melainkan karena China memiliki tiang-tiang yang menyokong untuk menjadikan pemain yang kuat dalam politik global.

Tiang tersebut menurut Gregory F. Treverton dan Seth G Jones, adalah produk domestik bruto (PDB), populasi, anggaran pertahanan, dan inovasi teknologi. Populasi dari China sudah mencapai 1,299 milliar jiwa (CIA The World Fact Book 2005, cia.gov, 10/02/2005). Produk domestik bruto China mencapai 6,436 miliar dolar (2004) dan diperkirakan akan menjadi 25,155 miliar dolar di tahun 2025, sementara China pada 2004 telah mengeluarkan 65,2 miliar dolar untuk memperkuat pertahanannya (Newsweek, Februari 2005) [6]

Selain kerisauan AS terhadap negara-negara yang tengah berkembang, konsep peperangan sudah mulai berubah seiring adanya terrorisme, strategi nuklir dalam aspek militer pada era ini tetap menjadi prestise dan paksaan bagi negara lain akan hegemoni AS, dan pasti merasa di remehkan mendapat serangan teroris tanpa peringatan kemudian tidak tahu harus membalas menggunakan nuklir atau senjata konvensional, sikap tersebut memberikan kesan bahwa AS tidak berani mengakhiri perang dengan nuklir karena dampak yang terlalu besar dan akan memperpuruk posisi AS di mata dunia.

Dominasi yang dilakukan oleh AS terhadap segala aspek atau elemen antar negara, seperti ekonomi, militer, dan lainya merupakan dampak dari besarnya pengaruh militer atau teknologi yang tercurah pada militer AS. Teknologi tempur AS terbaik meliputi persenjataan konvensional, biologi, kimia, nuklir, dan sistem transportasinya. Sebagai contoh, di laut, AS memiliki 9 armada tempur dan sedang mempersiapkan armada kesepuluh. Pada setiap armada terdapat kapal induk (supercarrier) yang mampu membawa 4500 hingga 6000 orang sekaligus. Di samping supercarrier, beberapa kapal penjelajah dan kapal selam nuklir biasanya termasuk dalam satu satuan armada tempur. Sementara itu, Rusia hanya memiliki satu kapal induk modern yang tonnasenya hanya separuh dari supercarrier AS. Inggris dan Perancis hanya memiliki beberapa kapal induk kecil.

Militer AS juga mendominasi udara. AS memiliki tiga tipe pesawat siluman (stealth), dua tipe pembom (bomber), dan penempur (fighter). Sementara itu, tidak ada negara lain yang memiliki pesawat siluman. Teknologi pengisian bahan bakar di udara (air refueling) menyebabkan bomber-bomber AS dapat menjangkau belahan dunia manapun. AS memiliki 6000 kepala nulir (warhead) yang siap dioperasikan. Sekitar dua ribuan ditanamkan pada rudal balistik antar benua di silo-silo seluruh AS, 3500 dipasang di kapal selam, dan beberapa ratus buah dibawa oleh pesawat pembom (Steve Weinberg, The Growing Nuclear Danger, New York Review of Books, 18/07/02).

Roberth S. Mcnamara, seorang mantan menteri pertahanan AS, memberikan gambaran yang lebih detil lagi. Setiap nuklir AS, rata-rata memiliki kekuatan penghancur 20 kali bom Hiroshima. Dari semua jumlah nuklir itu, 2000 diantaranya dikondisikan siaga penuh (hair triger alert) dan siap diluncurkan dalam waktu 15 menit. SAC (Strategic Air Command) yang berpusat di Ohama, Nebraska dan memiliki jaringan komunikasi dengan presiden AS dan markas underground NORAD (North American Defense Command) di Pegunungan Cheyenne, Colorado, harus memastikan 2 sampai 3 menit bahwa peringatan AS akan diserang adalah valid. Komandan SAC harus menjawab telpon tidak boleh lebih dari tiga deringan. Sedemikian urgennya, hingga Mcnamara mengilustrasikan jaringan komunikasi tersebut dengan “Harus online 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan, 365 hari setahun. Komandan SAC harus membawa telepon khususnya di manapun ia berada” (Apocalypse Soon, foreignpolicy.com, May-Juni 2005)[7]

Untuk menjaga dominasi militer dan berhubungan dekat dengan para sekutu lokal sekaligus melindunginya, AS memiliki ratusan pangkalan militer di luar negeri. DOD (Departement of Defense) merinci 725 markas AS di luar negeri dan kesatuan khusus AS (Special Operation Forces) yang aktif di 125 negara (Chalmers Johson, The Sorrows of Empire: Militarism, Secrecy, and the End of the Republic, 2004). Oleh karena itu, tidak heran bila anggaran pertahanan AS mencapai separuh dari total biaya pertahanan seluruh negara di dunia. Bush mengalokasikan 462 miliar dolar di tahun 2005, yang berarti 3,5 persen dari PDB (Department of Defense, Budget for Fiscal 2005, Defense Week, 02/02/04). Dana sebesar itu sudah termasuk biaya rekonstruksi Iraq dan Afghanistan.

Data-data di atas menggambarkan seberapa besar kekuatan AS, dan tidak mustahil masih terus di upgrade sehingga pada kemudian tetap menjadi negara dengan high power level of military di dunia, strategi nuklir di sini semakin digunakan sebagai compellence dan detterence, di mana keduanya saling melengkapi, compellence pada negara lemah dan detterence pada negara yang berada setingkat di bawah kekuatan AS.

Selain strategi nuklir, hegemon mendapat dukungan-dukungan lain yang di anggap sepaham dengan tujuan dari AS sendiri, seperi ideology kanan, militer yang mendominasi, para penganut neokons, propaganda AS, seperi media massa international (times), yang tidak mengakui kekuatan-kekuatan negara lain (uniteralis) sehingga hal tersebut membuat AS semakin berbahaya, dengan atau tanpa nuklir.

Penutup

Strategi nuklir terus bergulir mengikuti arus perkembangan perpolitikan dan militer dunia, pada awalnya nuklir dianggap senjata yang mampu menyelesaikan solusi pertikaian, namun menjadikan masalah semakin runyam, sehingga pada perang dingin strategi nuklir berubah dari yang pada awalnya compellence menjadi detterence karena terdapat dua negara yang saling bersaing dan melakukan strategi pencegahan. Sebenarnya srategi tersebut muncul dari kerisauan negara pemilik nuklir akan meledaknya perang nuklir, sehingga saling beripikir panjang untuk memulai perang tersebut karena dampak yang fatal.

Setelah cold war, strategi nuklir mengarah ke suatu teknologi perdamaian dengan pemanfaatan untuk energi alternative. Dimana pembangunan pembangkit tenaga listrik tenaga nuklir dan pemanfaatan nuklir lainnya menjadi upaya untuk mngurangi jumlah nuklir di negara-negara besar pemilik hulu ledak nuklir. Selain itu juga untuk menghindari sampah radioaktif nuklir yang membusuk karena bahan pembuatan nuklir yang bisa berubah menjadi tidak berguna dalam kurun waktu tertentu.

Penggunaan nuklir pada masa yang seperti sekarang (krisis nuklir iran, perang palestina-israel, pengembangan nuklir di Korea Utara dan India) bisa menimbulkan pecahnya Hiroshima dan Nagasaki baru. Karena jika ditekan dengan perkembangan-perkembangan yang bisa menyudutkan langkah AS, mungkin pihak AS akan melakukan pre-emtif attack seperti yang dilakukan pada Afghanistan dengan tuduhan palsu akan senjata pemusnah masal.

Mungkin juga AS akan mengembangkan teknologi nuklir dengan pengujicobaan secara virtual demi mempercanggih nuklir AS, dan mencegah jatuhnya AS dari peringkat “pertama” pada posisi dunia.

Tetapi tidak selamanya posisi negara ditentukan oleh nuklir, bisa saja pada masa depan muncul term-term baru pada bidang pertahanan menggantikan nuklir, dan tercipta strategi baru. Meski masa depan bisa diprediksi melalui kalkulasi oleh AS, tetapi kita juga harus memperhatikan aspek lain yang bisa menggoyahkan ketentraman AS seperti tumbuh pesatnya China dan India, serta semakin banyak negara yang mempraktekkan nuklir, entah sebagai PLTN atau sebagai senjata. Menurut George F Kennan, mantan Dubes AS di Uni Soviet, potensi destruktif perang nuklir global sangat besar sehingga tidak ada alasan politik untuk membenarkannya. Tetapi sebagai senjata yang prestise, nuklir tetap di anggap sebagai senjata pamungkas oleh negara yang berambisi memiliki nuklir. Strategi nuklir pun tetap ada dan berkembang mengikuti perkembangan zaman, tetapi tidak menenggelamkan strategi perang konvensional, karena inti dari strategi nuklir yang sekarang masih berkutat pada compellence dan detterence.



[2] J. Kusnanto Anggoro, “Strategi Penangkalan Uni Soviet”, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986.

[3] The Columbia Encyclopedia, Sixth Edition | Date: 2008 | Theodore A Couloumbis

[4] Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.

[5] PMIJ, Sidik Permana 12/01/2007

[6] Kajian Internasional Strategis, Wawan Kurniawan, 17 agustus 2007

[7] Kajian Internasional Strategis, Wawan Kurniawan, 17 agustus 2007


No comments: