January 19, 2009

Melihat Metamorfosa Perang: Tinjauan Historis Pergeseran Strategi Militer menuju Strategi Nuklir

By: Willy M B Rawung

Abstrak

Dalam pencapaian tujuan, suatu strategi mutlak diperlukan sebagai jembatan antara pembuat kebijakan dan pelaksana operasional. Dalam ranah militer hal ini telah menjadi prinsip yang harus dilakukan dengan tujuan untuk pencapaian suatu tujuan politis. Keberadaan strategi militer ini telah lama ditemukan dan terus mengalami berbagai perkembangan-perkembangan seiring dengan berjalannya waktu. Perkembangan-perkembangan yang dipengaruhi oleh keberadaan teknologi tersebut pada akhirnya membawa studi strategi ke era nuklir. Dan berbagai perubahan elemen dalam strategi militer pun terjadi ketika era nuklir tersebut memaksa adanya suatu strategi nuklir. Pada bagian pertama paper ini akan dibahas tentang strategi militer dan perkembangannya pada masa Sun Tzu hingga perang dunia II. Hal ini kemudian dalam ranah historis akan dilanjutkan kepada strategi nuklir pada masa perang dingin.

Keyword: strategi, militer, nuklir,

Pendahuluan

Dalam pencapaian sebuah tujuan, sebuah strategi diperlukan didalamnya, karena menjadi sebuah jembatan penghubung yang sangat penting antara sebuah kebijakan di tingkat tinggi dengan eksekusi dilapangan, yang disebut taktik (Nickols, 2003). Sebuah penamaan antara ‘strategi’ dan ‘taktik’ memiliki hubungan yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Ketika membicarakan strategi dan taktik, maka suatu strategi dalam kaitannya dengan element-elemen yang terkandung dalam pencapaian suatu tujuan, memiliki cakupan yang lebih luas daripada sebuah taktik.

Hal ini secara sederhana dapat dimisalkan dalam konteks jarak, waktu, maupun sumber daya yang diperlukan untuk suatu strategi adalah lebih besar daripada yang diperlukan oleh taktik. Dalam sebuah perang, strategi dipergunakan untuk mengatur dari posisi perang itu sendiri, sedangkan taktik ambil bagian dalam eksekusinya dan bagaimana seharusnya perang itu berjalan.

Seringkali dalam penggunaannya, strategi ini dikaitkan dengan isu-isu dalam ranah militer. Seorang strategist pada masa lalu sangat sulit dibedakan antara seorang pembuat kebijakan atau raja dengan seorang pemimpin militer yang memimpin peperangan di medan perang. Namun seiring perkembangan waktu dan adanya pembelajaran dari banyka kasus, pembagian tugas antara dua posisi tersebut mulai dibedakan.

Hal ini menyebabkan terjadinya pembedaan di dalam strategi itu sendiri, yakni yang pertama adalah Grand strategy yang mengatur tentang manajemen dari sumber daya yang tersedia untuk peperangan, dan diatur oleh para pembuat kebijakan dan yang kedua adalah Operational strategy yang merupakan reduksi dari pembeda yang pertama dan dilaksanakan oleh komponen-komponen militer (Smith, 2005). Salah satu hal penting dalam suatu Grand strategy adalah pratek diplomasi,dimana dengan cara tersebut suatu negara dapat masuk dalam sebuah aliansi ataupun menekan negara lain untuk seturut dengan kepentingan kita, sehingga memungkinkan untuk meraih suatu kemenangan tanpa harus berperang.

Strategi Militer dan Perkembangannya

"get there firstest with the mostest"

(Nathan Bedford Forrest, American civil war General)

Prinsip-prinsip dari sebuah strategi militer sebenarnya telah ditemukan pada tahun 500 SM dimana pada masa itu muncul buku karangan Sun Tzu dan Chanakya yang membahas tentang strategi-strategi militer. Kontribusi dari Sun Tzu sendiri melalui buku karangannya “The Art of War” cukup signifikan dalam mempengaruhi perkembangan strategi militer. Di dalam bukunya tersebut, Sun Tzu mendefinisikan 13 prinsip-prinsip yang diperlukan dalam sebuah strategi militer. Sedangkan Napoleon semasa hidupnya menuliskan 115 prinsip yang berhubungan dengan strategi-strategi militer yang pernah dilakukan. Secara umum menurut Smith (2005), konsep-konsep dasar yang secara umum tertulis dalam prinsip-prinsip strategi militer yakni:

1. Tujuan

2. Penyerangan

3. Kerjasama

4. Konsentrasi massa

5. Ekonomi

6. Manuver

7. Kejutan

8. Keamanan

Demonstrasi-demonstrasi nyata tentang prinsip-prinsip fundamental militer juga turut ditunjukan oleh ahli-ahli strategi masa lampau, semisal Alexander Agung, Chandragupta Maurya, dan juga Julius Caesar melalui perencanaan dan pergerakan-pergerakan strategisnya. Dalam Perang Tiga Puluh Tahun, Gustavus Adolphus dari Swedia juga turut mempertunjukan strategi operasional unggul yang menuntun pada kemenangan sewaktu Perang Suci Kerajaan Roma. Diranah pembuatan kebijakan, Niccolo Machiavelli pada tahun 1520 menulis buku Dell'arte della Guerra yang berisi tentang hubungan antara masyarakat sipil dengan instrumen militer serta susunannya dalam sebuah Grand Strategy.

Era Napoleon

Dalam Revolusi Prancis 1789, Napoleon membuat suatu strategi militer revolusioner dimana strategi tersebut bertahan, mulai dari Perang Sipil di Amerika hingga fase awal dari Perang Dunia I Di dalam strateginya tersebut, Napoleon yang bertindak baik dalam ranah Grand strategy maupun juga Operational strategy, mengembangkan strategi yang berifat massive dengan menggunakan jumlah pasukan yang cukup banyak. Selain itu, kemampuan Napoleon dalam menggabungkan pertarungan dan juga monuver-monver didalamnya secara efektif juga turut mempengaruhi keberhasilan Napoleon dalam berbagai perang yang dilaluinya.

Secara umum Napoleon menggunakan 2 strategi utamanya dalam mengatur pasukan-pasukanya. Yang pertama adalah menggunakan monuver yang disebut Maneuver De Derrière, dimana monuver ini menempatkan beberapa pasukan di belakang garis pertahanan musuh dengan tujuan untuk memutus arus komunikasi mereka,dan setelahnya akan bergabung dengan pasukan utama yang berada di garis depan. Selain itu dengan menempatkan pasukan di posisi tersebut, maka hal tersebut akan menurunkan mental lawan dikarenakan lawan akan kehilangan komunikasi dan suplai bantuan dari basis pertahanan mereka.

Sedangkan strategi yang kedua adalah penggunaan posisi sentral untuk melawan musuh yang berjumlah 2 atau lebih. Dengan posisi sentral tersebut, maka ekuatan lawan akan terpecah. Dengan terpecahnya kekuatan lawan tersebut, maka Napoleon akan membagi pula pasukannya menjadi dua bagian yang tidak sama besar, dan bagian yang terbesar akan menghancurkan salah satu bagian pasukan dari pihak musuh. Hal ini terus berlanjut hingga bagain terakhir dari pasukan musuh.

Kegemilangan dari strategi-strategi yang dilakukan oleh Napoleon ini kemudian menginspirasi pemikir-pemikir strategi lainnya, diantaranya adalah filuf berkebangsaan Prussia,Carl von Clausewitz dan juga Antoine-Henri Jomini yang merupakan salah satu staff dari Napoleon. Namun walaupun terinspirasi dari orang yang sama, kedua orang tersebut memiliki pemahaman yang berbeda terkait dengan strategi militer yang dianut. Clausewitz dalam bukunya On War, yang sering disebut sebagai kitab strategi, menghilangkan aspek geometri sebagai aspek yang turut berpengaruh secara signifikan dalam kemenangan Napoleon. Sedangkan Jomini menilai aspek geometri sebagai sesuatu yang penting yang dijalankan dengan menguasai wilayah musuh, daripada menghancurkan pasukan musuh. Dua prinsip dasar dari Jomini adalah mengkonsentrasikan pasukan melawan musuh, serta menghancurkan sasaran yang paling menentukan.

Walaupun tidak terlalu signifikan, kehebatan strategi Napoleon juga turut ambil bagian dalam menentukan hingga terjadinya Perang Sipil di Amerika. Terlihat dari Serbuan Sherman ke Laut pada tahun 1864 dalam perang sipil di Amerika. Penurunan signifikansi dari strategi-strategi Napoleon ini terjadi dikarenakan adanya perubahan-perubahan teknologi yang juga sangat menentukan jalannya peperangan. Dengan adanya teknologi yang berkembang tersebut, maka determinan ruang dan waktu juga turut berubah pula. Strategi-strategi era Napoleon tidak dapat lagi secara efektif dilakukan dalam keadaan dimana musuh dengan cepat berpindah, serta adanya perkembangan persenjataan yang cukup pesat, sehingga strategi-strategi tersebut dirasa telah usang.

Masa Perang Dunia I

Memasuki Perang Dunia I, strategi-strategi perang yang muncul lebih bersifat ofensif yang dimana hal ini terjadi walaupun telah ditemukannya senjata mesin sebagai sebuah alat pertahanan. Strategi pengurangan ala Clausewitz juga dipergunakan dalam beberapa perang. Namun hal ini terbentur dengan sistem pertahanan yang kuat dengan menggunakan benteng-benteng, dimana garis pertahanan yang ada berada jauh masuk kedalam inti. Hal ini tentu menyultkan karena apabila dirasiokan, aka membutuhkan kira-kira sepuluh orang penyerang untukmenjebol pertahanan yang dijaga oleh satu orang penahan. Kefektifan pertahanan ini didukung oleh adanya sistem dalam benteng yang menudahkan perpindahan pasukan yang meminimalisir adanya penerobosan terhadap garis pertahanan luar.

Di dalam Perang Dunia I ini, jumlah pasukan yang terlibat perang juga turut meningkat dengan pesat, dan belum pernah terlibat sebesar itu sebelumnya. Pasukan Inggris yang cukup dominan dalam penjagaan laut, namun minimal dalam pasukan darat, tertekan oleh ancaman Jerman untuk turut serta menambah jumlah pasukan daratnya. Besarnya jumlah pasukan yang ada bahkan tidak seimbang dengan kemampuan para staff jenderal untuk memimpin, serta kemampuan inustri untuk memperlengkapi mereka dengan senjata dan amunisi berkualitas tinggi. Tekanan yang sedemikian rupa yang dialami oleh industri untuk mengejar target produksi yang harus dihasilkan, turut pula memacu kerja mereka dalam menghasilkan teknologi-teknologi baru. Kehadiran-teknologi-teknologi tersebut pada gilirannya menciptakan strategi-strategi baru dalam bidang militer,semisal adalah teknik artileri, gas beracun, mobil dan kendaraan-kendaraan berat (Smith, 2003).

Keberadaan kekuasaan dalam perang dunia I dipegang oleh beberapa negara yang terbgi menjadi dua kelompok, yakni Blok Entente dan Blok Central Power. Kedua blok yang didalamnya terdapat beberapa negara tersebut memiliki kemampuan dalam mengatur Grand Strategy di Perang Dunia I. Hal ini tentu membedakan dari peperangan yang telah terjadi sebelumnya, dimana pada Perang Dunia I, pusat kendali berada di bawah koalisi beberapa negara. Hal ini tentu menjadi sebuah pertanyaan tersendiri terkait dengan keefektifan dari koordinasi baik dalam penyerangan maupun dalam pertahanan.

Perang Dunia I sendiri diakhiri dengan melemahnya kemampuan Jerman kala itu. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh terkurasnya kekuatan tempur Jerman setelah melakukan serangan ofensif besar-besaran pada bulan Maret 1918 dan juga adanya semangat yang menurun setelah blunder fatal yang dilakukan Jerman pada pertempuran Amiens, Agustus 1918. Kekalahan tersebut ditambah lagi dengan adanya gerakan pemberotakan di negara Jerman sendiri sebagai akibat dari kurangnya pasokan makan dan parahnya keadaan ekonomi di negeri sendiri. Hal tersebut menyebabkan kemunduran hebat bagi Jerman. Kekalahan Jerman semakin pasti ketika Inggris sebagai lawan utama Jerman mendapatkan bantuan pasukan dari Amerika.

Masa Perang Dunia II

Di era Perang Dunia II, strategi-strategi yang diambil oleh negara-negara yang turut terlibat didalamnya terbagi-bagi berdasarkan atas poros-poros yang ada di dalam pertempuran Perang Dunia II. Di pihak Jerman, strategi-strategi yang diimplementasikan dibentuk dan dipimpin oleh pemimpin Nazi kala itu, Adolf Hitler. Kekuatan kepemimpinannya terletak pada strategi-strateginya yang agresif dan tidak biasa, baik secara militer maupun politis. Selain itu kharismanya juga turut membentuk dukungan terhadap kepemimpinannya. Strategi Hittler yang terinspirasi dari keinginan untuk mencari Lebensraum bagi ras Jerman, seringkali menggunakan taktik blitzkrieg. Taktik blitzkrieg ini dilakukan dengan menaklukan satu musuh dalam suatu waktu, dan setelahnya, mengamankan wilayah berikutnya, satu demi satu. Kesuksesan dari strategi ini dalam menghadapi sekutu mengundang banyak pujian dan kehormatan terhadap langkah yang diambil oleh Hittler sehingga memperkuat kharismanya di hadapan rakyatnya.

Namun demikian, titik balik dari kegemilangan Jerman ini terjadi di Stalingrad ketika berusaha untuk lebih jauh menguasai wilayah Rusia. Pada saat itu nampak bahwa strategi yang dijalankan lebih didasarkan pada instuisi, logika dasar dan asumsi yang tidak realistis dari Hittler dan juga para jenderal dibawahnya. Kekalahan Jerman di Stalingrad ini pada akhirnya membawa efek domino terhadap pertempuran-pertempuran lain yang dihadapi Jerman. Pada akhir perang dunia kedua, Jerman harus mengakui kekalahannya dan Hittler pun, akibat dari kekalahan yang terus menerus terjadi dipihaknya, merasa frustasi dan bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri.

Di pihak negara-negara Anglo-Amerika, strategi yang dijalankan bertujuan untuk membendung kekuatan dari Hittler dan pasukan Jermannya. Kebangkitannya serta kebrutalan dari negara Jerman mau tidak mau memaksa negara Inggris serta negara Anglo-Amerika yang lainnya untuk mendeklarasikan perang atas Jerman, setelah negara tersebut melakukan invasi terhadap Polandia. Inggris sendiri yang unggul dalam kekuatan lautnya ,sehingga tidak perlu kuatir lagi atas dominasinya terhadap Jerman di bidang kelautan, namun lemah dalam pasukan darat, mulai mendapat angin segar ketika Amerika turut serta bergabung dengan sekutu untuk melawan pihak Jerman dan sekutunya.

Pihak Amerika sendiri beserta sekutu mulai menekan pihak Jerman dengan menguasai wilayah Eropa satu demi satu dari arah selatan, yakni mulai dari Afrika Utara. Setelah masuk dan menyingkirkan Italia dari pertarungan, maka sekutu mendapatkan ruang yang cukup untuk mempersiapkan serangan berikutnya, dengan sasaran utama Jerman. Serangan tersebut dilakukan dengan melakukan pengeboman strategis terhadap target-target ekonomis, dan kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengeboman atas kota-kota di Jerman.

Sovyet sendiri di dalam Perang Dunia II pada awalnya berusaha untuk selama mungkin tidak terlibat dalam perang yang berkecamuk. Hal ini terlihat dari persiapan pasukan-pasukannya yang dirasa oleh Stalin masih belum mampu berbuat banyak dalam perang yang lebih besar. Setelah mendapatkan ancaman Jerman dari arah barat, maka dengan segera, Sovyet secara besar-besaran memindahkan pusat-pusat ekonominya, dari yang semula berada di wilayah Barat Sovyet, menuju ke wilayah timur, yang jauh dari jangkauan Jerman. Hal ini memberikan kesempatan bagi Sovyet untuk mengembangkan kekuatannya dengan memproduksi secara massal perlengkapan militernya dan juga terus memperkuat armada militernya, sekalipun Jerman telah berhasil menguasai beberapa wilayahnya di bagian barat.

Bagi pihak Jepang, strategi yang diambil terinspirasi dari dua hal, yakni yang pertama adalah adanya keinginan untk memperluas wilayah teritorinya kearah Asia (China dan Manchuria), sedangkan yang kedua adalah kebutuhan untuk mengamankan suplai sumber daya alam yang tidak mereka miliki. Hal yang kedua ini dilakukan ke wilayah Asia Tenggara, setelah Jepang menerima boikot minyak dari Amerika terkait dengan tindakan Jepang yang menyerbu Cina. Jepang sendiri menilai Amerika sebagai sebuah batu rintangan sehingga Jepang memutuskan untuk menyerang pangkalan militernya di kawasan pasifik, Pearl Harbour. Jepang mengharapkan serangan tersebut akan memberikan cukup waktu bagi Jepang untuk membangun keseimbangan kekuatan baru di Asia tenggara. Namun ternyata walaupun Jepang berhasil dengan cepat menguasai wilayah Asia Tenggara, Amerika tetap menjadi lawan yang cukup merepotkan bagi Jepang. Amerika pun mulai membalikan situasi atas Jepang dengan menghancurkan kapal induk Jepang dalam Battle of Midway. Hal ini membuat Jepang harus bersifat lebih bertahan yang dipertahankan hingga 3 tahun setelahnya.

Pihak Amerika sendiri dalam menghadapi ancaman dari Jepang di kawasan Pasifik menerapkan strategi Leap-frogging, untuk memungkasi perlawanan dari markas-markas Jepang dipulau-pulau di sekitar pasifik yang berjumlah cukup banyak. Hal ini dilakukan dengan membiarkan pertahanan terbesarnya di suatu pulau sendiri, dengan memutus jalur suplainya, dan di sisi lain Amerika juga membangun markas di pulan yang memiliki pertahanan paling rapuh. Hal ini terus dilakukan hingga pada akhirnya Amerika sampai di perariran Jepang dan mempunyai cukup kapabilitas untuk menyerang daratan Jepang. Perlu dicatat pula bahwa kemampuan Amerika untuk kembali normal setelah serangan Jepang atas Pearl Harbour cukup cepat. Hal ini kemudian disusul oleh kemampuan-kemampuan armada laut Amerika yang unggul dalam berbagai pertempuran melawan Jepang di perairan Pasifik, menjadikan Amerika dapat kembali memiliki kemampuan untuk menekan Jepang kembali di wilayah Asia tenggara dan pasifik.

Kemunculan Strategi Nuklir dan Perkembangannya

“War is not merely a political act, but also a real political instrument, a continuation of policy carried out by other means."

(Clausewitz)

Pada masa pasca Perang Dunia II, munculah dua kekuatan besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Sovyet, yang keduanya terlibat dalam Perang Dingin. Perang Dingin ini diwarnai oleh adanya ketakutan akan munculnya kehancuran total yang diakibatkan oleh perang nuklir antara kedua kekuatan besar tersebut. Kedua kekuatan tersebut tidak pernah berhadapa secara langsung, namun dengan menggunakan strategi proxxie war, Amerika dan Uni Sovyet berusaha untuk bersaing dalam hal ideologisnya serta pengembangan persenjataannya, termasuk senjata nuklir. Hal ini memberikan hikmat baru dalam konstelasi global: nuklir mengubah segalanya.

Para ahli militer pada masa lampau tidak salah dalam memberikan identifikasi mereka terhadap elemen-elemen yang ada dari sebuah Grand Strategy. Namun yang perlu dipertanyakan kembali terkait dengan adanya keterlibatan nuklir disini adalah identifikasi para ahli militer bahwa elemen-elemen yang ada tersebut bersifat konstan dan tidak dapat diubah. Ketika berbicara tentang tujuan dari suatu instrumen militer, yang dihubungkan dengan penaklukan, untuk suatu tujuan politis, maka hal ini akan menjadi sesuatu yang riskan dan tidak masuk akal apabila perang yang terjadi di dalamnya adalah merupakan perang total, yang didalamnya melibatkan nuklir. Di dalam tujuan politik yang dipandang sebagai sebuah realita, instrumen militer seperti itu sendiri juga bahkan tidak diberikan kesempatan untuk melakukan serangan pertamanya, yang di sisi lain, serangan pertama[1] tersebut berarti pula keseluruhan pertempuran. Oleh karena itu, negara manapun tidak akan membiarkan armada militernya untuk menggunakan senjata nuklirnya sebagai yang pertama kali.

Kehancuran total yang mengikuti setiap perang nuklir, sehingga di dalam setiap perang nukli dipastikan tidak ada pemenangnya, mengakibatkan beberapa perubahan dalam strategi yang selama ini dianut. Seperti yang telah diungkapkan diatas, bahwa kehancuran total yang membayangi perang nuklir menyebabkan setiap negara yang terlibat didalamnya harus berpikir ribuan kali terkait dengan kapabilitas serangan pertamanya. Keraguan akan kemampuan serangan pertama serta tidak adanya informasi atas kekuatan lawan menyebabkan pola strategi pada masa perang dingin ini berubah. Negara-negara tidak lagi berpikir untuk bersikap ofensif dalam hal ini dengan melakukan serangan yang pertama.

Negara-negara yang terlibat, yang buta akan kekuatan lawan, cenderung untuk bersifat defensive dengan meningkatkan kemampuan serangan pertamanya terlebih dahulu. Serangan pertama ini kemudian dipergunakan pula sebagai sebuah serangan kedua apabila sewaktu-waktu terdapat negara lain yang memulai serangan pertamanya. Hal ini berarti bahwa adanya suatu bentuk pembalasan yang akan lebih hebat yang akan dipergunakan dan dipilih, daripada menyerang untuk pertama kali dengan ketidak jelasan kapabilitas kekuatan musuh. Peningkatan kekuatan ang terus-menerus dari pihak-pihak yang terlibat dalam strategi nuklir tersebut pada akhirnya mengenyampingkan penyerangan sebagai sebuah pilihan rasional dalam sebuah perang nuklir. Pilihan tersebut kemudian digantikan dengan strategi pencegahan yang memanfaatkan sisi ketidakjelasan informasi musuh dan ketakutan akan serangan kedua, untuk terus mengembangkan serangan pertamanya.

Daya hancur dari nuklir yang sangat besar kemudian menyebabkan strategi yang diterapkan tidak memiliki peluang untuk diujicobakan. Strategi nuklir adalah nuklir itu sendiri, yang memiliki kekuatan mengancam bagi negara-negara untuk bertindak hati-hati bagi setiap keijakannya. Hal ini kemudian menempatkan satu orang yang berfungsi sebagai Grand Strategist, yang disisi lain tidak adanya kesempatan bagi Operational Strategist untuk bertindak, dikarenakan kemampuan dari Grand Strategist ini untuk memberikan keputusan yang cukup cepat dalam hal penghancuran lawan[2]. Di sisi yang lain, posisi Grand Strategy, strategi maupun taktik juga sedikit melebur pada masa perang dingin. Hal ini dipengaruhi oleh rantai komando dan komunikasi antara 2 kekuatan besar terhadap negara-negara lain sebagai aliansinya dan juga negara-negara dunia ketiga. Semua pergerakan pasukan didalam negara-negara dunia ketiga dalam hal ini merupakan juga turut dipengaruhi komando dari negara-negara superpower yang berada diatasnya.

Tujuan politis yang ingin dicapai melalui suatu instrumen militer kemudian juga mengalami perubahan. Tindakan penaklukan bukan lagi dipandang sebagai suatu hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini kemudian justru dipandang tidak rasional karena akan memicu serangan pertama dari pihak lawan. Yang kemudian dipanndang sebagai sebuah kebijakan yang cukup relevan adalah dengan cara pelucutan senjata. Keberadaan nuklir yang merupakan senjata yang dapat membahayakan keberadaan umat manusia pada akhirnya dapat menjadi suatu tujuan dari poltik itu sendiri dengan adanya pelucutan dan menjadikannya suatu instrumen yang dapat dikendalikan keberadaanya.

Penutup: Penyempitan Pengambilan Keputusan Strategis

Keberadaan strategi nuklir yang elemen-elemen dasarnya berbeda dengan strategi militer yang telah bertahun-tahun lamanya bertahan memberikan gambaran adanya perubahan yang signifikan dalam kedua jenis strategi tersebut. Walaupun dalam era Sun Tzu hingga perang dunia II berbagai perkembangan muncul dalam strategi militer sebagai tuntutan penyesuaian dari perkembangan teknologi dan komunikasi, namun ketika memasuki era perang dingin, ahli-ahli strategi harus membuka mata bahwa pada saat itu strategi bukan lagi mengalami suatu fase perkembangan, namun beberapa elemen dasarnya telah berubah. Dalam hal ini nuklir memiliki peran penting yang didasarkan atas kekuatan penghancurnya yang dapat mengancam keberadaan manusia.

Perubahan dalam berbagai elemen dasar strategi militer itu, tidak serta merta menegaskan bahwa strategi nuklir cukup ampuh dalam mengatasi ataupun mencegah adanya suatu perang nuklir. Strategi nuklir hanya ‘keluar’ dari tataran studi strategi yang selama ini dianut oleh banyak ahli strategi. Namun diluar itu, strategi nuklir hanya berpijak pada persepsi ketakutan dari masing-masing pihak. Ditambah lagi dengan area pengambilan keputusan yang berubah sempit, yang merujuk kepada masing-masing kepala negara, maka faktor ideosinkretik juga turut ambil bagian dalam keberlangsungan strategi nuklir ini. Berbeda dengan strategi militer yang berdeterminan ruang, waktu dan kuantitas, tidak ada determinan yang menentukan keberhasilan strategi nuklir selain dari persepsi dan kepribadian penguasa teresbut. Maka dengan demikian kriteria dan karakteristik dari para pengambil keputusan tersebut akan sangat mempengaruhi keberhasilan dari suatu strategi nuklir.



[1] Serangan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap pihak lawan dimana akibat dari serangan ini menyebabkan pihak lawan tidak mampu untuk memeberikan serangan balik

[2] Seringkali hal ini dianalogikan sebagai sebuah kekuasaan presiden yang secara rasional dapat menekan tombol yang merupakan pemicu dari suatu senjata nuklir


1 comment:

Anonymous said...

Coin Casino Review | Casino Powered By Microgaming
Coin Casino Review and Bonus Offers. With over 25 casino games from Microgaming, 인카지노 you're sure febcasino to want something choegocasino new in the industry. With more than 500 games,