January 16, 2009

Clausewitz dan Strategi : Kontribusi sang Jenderal dalam Studi Strategis

By: Radityo Dharmaputra

Dalam studi strategis, nama Carl von Clausewitz menjadi amat berpengaruh, terutama di dunia Barat, setelah bukunya yang berjudul On War menjadi dasar pemikiran bagi banyak ahli strategi. Untuk memahami bagaimana pendapat Clausewitz mengenai strategi dan apa kontribusinya dalam studi strategis, kita perlu melihat terlebih dahulu latar belakang beliau.

Jenderal Carl von Clausewitz dilahirkan pada tahun 1780 di Burg, Prussia. Sepanjang karirnya di militer, ia pernah ditugaskan dalam beberapa peperangan era itu seperti perang tahun 1793-1794 di Rhine, perang tahun 1806, dan kemudian ia sempat menjadi perwira Russia pada perang 1812. Pangkat terakhir Clausewitz sebelum meninggal di tahun 1831 adalah Jenderal. Ia meninggal akibat terkena penyakit kolera.

Setelah melihat latar belakang singkat dari Clausewitz, kita bisa menyimpulkan bahwa, berbeda dengan Sun Tzu yang sampai saat ini latar belakangnya tidak jelas, Clausewitz adalah seorang perwira militer aktif yang pernah bertugas di beberapa medan tempur. Sebagai seorang perwira militer, tentunya kita bisa berasumsi bahwa pengalamannya bertempur dan menjadi pengambil kebijakan di arena pertempuran serta peperangan menjadi dasar bagi pemikiran-pemikirannya selanjutnya. Oleh karenanya, akan terlihat bahwa berbeda dengan Sun Tzu yang amat filosofis, Clausewitz dalam bukunya terlihat lebih praktis dan mekanis, walaupun itu tidak berarti lantas menghilangkan sisi-sisi filosofis dari pandangan Clausewitz.

Dalam bukunya, Clausewitz mencoba mendefinisikan perang. Ia mengatakan bahwa perang janganlah dilihat sebagai hal yang rumit, bahwa perang sebenarnya adalah sebuah duel antara beberapa pihak dalam skala yang ekstensif. Oleh karenanya, perang ditujukan untuk membuat lawan mengikuti kehendak kita. Clausewitz melihat bahwa perang adalah penggunaan kekerasan untuk mebuat lawan mengikuti kehendak kita, dan dengan demikian kekerasan hanyalah sebuah cara untuk memperoleh kepentingan dan melucuti senjata musuh agar ia tidak bisa lagi melawan adalah tujuan dari sebuah perang.

Clausewitz mengingatkan bahwa dalam peperangan, seseorang bisa saja mengasumsikan bahwa mereka akan, dalam istilah Sun Tzu, menang tanpa pertumpaahn darah. Akan tetapi, ini bertentangan dengan kondisi alamiah dari perang itu sendiri. Tanpa mempertimbangkan kekerasan dan pertumpahan darah dalam menyusun strategi perang, maka pihak yang melakukannya telah menciptakan kekalahannya sendiri karena justru melupakan elemen paling penting dalam peperangan.

Clausewitz menekankan adanya beberapa aksi resiprokal yang dianggapnya selalu ada dalam perang. Yang pertama, bahwa perang adalah tindakan kekerasan dalam batas tertingginya dimana salah satu pihak memaksakan kehendaknya pada pihak yang kalah. Yang kedua adalah bahwa tujuan perang adalah mengalahkan dan melucuti lawan dari senjatanya, karena kalau lawan tidak dikalahkan secara total, maka ia akan bisa mengalahkan kita dikemudian hari, dan akhirnya ia akan memaksakan kehendaknya pada kita. Yang ketiga, untuk mengalahkan musuh, maka kita harus meningkatkan kekuatan kita melebihi batas kemampuan bertahan musuh. Namun, tentunya musuh kita juga berpikiran sama, dan oleh karenanya akan terjadi perlombaan peningkatan kemampuan.

Ada beberapa poin yang juga diungkapkan oleh Clausewitz. Salah satu hal penting yang diungkapkannya adalah bahwa perang bukanlah kejadian yang terisolasi dari kejadian lain. Ini akan amat erat kaitannya nanti dengan pendapatnya bahwa perang adalah kelanjutan dari kebijakan suatu pihak. Pendapatnya yang lain adalah bahwa perang tidak bisa diakhiri hanya dengan satu pukulan instan. Yang dimaksud disini adalah bahwa kita tidak bisa mengalahkan musuh dengan hanya sekali serang. Oleh karenanya, penggunaan strategi nantinya akan jadi amat penting. Poin penting lain adalah bahwa hasil dalam peperangan tidaklah absolut, dalam arti bahwa kekalahan maupun kemenangan bisa jadi hanyalah kejadian sementara.

Salah satu pernyataan yang kemudian menjadi amat legendaris dari Clausewitz adalah bahwa keinginan-keinginan politiklah yang menjadi penggerak peperangan. Clausewitz lantas menyimpulkan bahwa semakin besar keinginan-keinginan politik ini maka semakin besar pula intensitas perang yang terjadi, dan begitu puila sebaliknya. Ketika ”political will” ini melemah, maka intensitas peperangan juga berkurang. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, dimana keinginan politik sudah amat besar, ternyata perang masih belum terjadi. Clausewitz tidak melihat hal ini seperti apa yang dilihat Sun Tzu sebagai strategi untuk menang tanpa bertarung. Clausewitz justru melihat bahwa jeda maupun gencatan senjata dalam peperangan hanyalah aksi dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang untuk menunggu saat yang tepat dan momen yang tepat pula untuk menyerang.

Strategi, oleh Clausewitz, diartikan sebagai "the employment of the battle as the means towards the attainment of the object of the War". Ini berarti strategi adalah penggunaan pertempuran sebagai cara memperolah tujuan-tujuan perang. Dari sini bisa diartikan bahwa dalam pandangan Clausewitz, strategi diartikan sebagai penyusunan caar-cara bertempur agar kita dapat memperoleh tujuan-tujuan kita. Clausewitz menilai bahwa dalam tataran praktis, strategi sebenarnya amat simpel dan tidak banyak memperhitungkan kekuatan-kekuatan moral.

Akan tetapi, mengingat pendapat awal Clausewitz adalah bahwa strategi amat erat kaitannya dengan politik dan perang, yang merupakan tujuan pembnentukan strategi, adalah kelanjutan dari kebijakan-kebijakan politik, maka strategi selalu dipengaruhi oleh unsur-unsur moral. Ia mencontohkan bahwa dalam pembuatan strategi, yang lebih diperlukan adalah unsur-unsur moral seperti keinginan yang kuat. Berbeda dengan taktik yang jauh lebih praktis karena dihadapkan langsung dengan lawan, dalam strategi yang terkait dengan gambaran-gambaran besar maka seorang Jenderal atau Panglima tidak ahrus punya kemampuan teknis yang kuat melainkan daya berpikir dan kekuatan keinginan yang kuat. Karena kalau ia tidak memiliki keduanya, maka ia akan terombang-ambing dan tidak bisa memutuskan strategi amna yang akan digunakan.

Ada empat elemen strategi menurut Clausewitz. Yang pertama adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan moral. Yang kedua adalah kekuatan militer dan proporsi kekuatan ketiga angkatan bersenjata serta kekuatan organisasinya. Yang ketiga adalah kegiatan operasional yang akan dilakukan serta gerakan ataupun manuver-manuver yang biasa dilakukan. Sedangkan yang terkahir adalah kondisi geografis dari wilayah-wilayah tempat berperang.

Clausewitz juga menilai bahwa penghancuran total bukanlah cara yang tepat untuk memenangkan peperangan. Ia menocntohkan dalam kasus perang 1814, bagaimana pengambilalihan wilayah musuh adalah salah satu cara efektif. Jikalau saat itu salah satu pihak menghancurkan koita musuh dengan amat destruktif, maka hilang pula nilai kota tersebut bagi musuh dan bagi kita. Dalam pandangan penulis, yang dimaksud Clausewitz disini adalah buat musuh menyerah dengan caar menyerangnya dari sisi yang amat ditakutinya. Ketika musuh terlalu bergantung pada sesuatu, maka serang ia pada titik itu, dan ia akan kehilangan pegangan serta menyerah.

Ada 3 kekuatan moral yang dipandang Clausewitz amat penting dalam penyusunan strategi dan peperangan. Yang pertama adalah kemampuan dari komandan perang. Namun, Clausewitz menekankan bahwa kemampuan ini adalah bakat dan tidak dimiliki oleh semua orang. Oleh karenanya, ia tidak begitu dalam membahas masalah ini. Yang lebih penting menurutnya adalah 2 kekuatan lainnya yaitu nilai-nilai militer dari pasukan dan perasaan nasionalisme dari seluruh elemen. Beberapa elemen dasar dari nilai-nilai militer pasukan adalah keberanian, kemampuan teknis dari pasukan, kemampuan untuk bertahan dalam segala situasi, dan antusiasme dalam berperang. Namun, Clausewitz menggarisbawahi bahwa dari semua nilai-nilai yang ada, ada satu hal yang amat penting yaitu kebanggaan akan angkatan bersenjata tempat mereka berada.

Salah satu kekuatan moral yang penting lainnya adalah ”boldness”. Bila diartikan dalam bahasa Indonesia, ”boldness” berarti rasa tak kenal takut dan sedikit memberontak. Dalam hal strategi perang, Clausewitz amat menekankan pada hal ini, walaupun ia mengingatkan bahwa rasa ”nekat” ini tidak boleh sampai pada aksi menentang perintah atau ketidaktaatan. Seperti yang diungkapkan Clausewitz, dalam perang tidak ada yang lebih penting daripada loyalitas dan ketaatan. Oleh karenanya, ia menempatkan ”boldness” ini pada level tinggi dan hanya bisa digunakan perwira-perwira tinggi. Seringkali kita lihat, baik dalam kejadian nyata maupun film-film, dimana pemimpin-pemimpin tertinggi dan komandan perang selalu melakukan sesuatu yang mengejutkan dan berlawanan dengan kebiasaan. Dalam film Star Wars misalnya, bagaimana seorang Luke Skywalker yang merupakan pemimpin gerakan pemberontak berpura-pura tertangkap oleh musuh hanya demi membebaskan rekan-rekannya atau dalam film Lord of The Rings : The Return of the King dimana Aragorn dengan tanpa kenal takut memasuki wilayah kematian untuk mencari pasukan guna mengalahkan musuhnya. Clausewitz benar-benar menghargai kekuatan dari rasa tak kenal takut dan nekat ini karena ia menilai kekuatan ini adalah kekuatan para pahlawan.

Dari beberapa pandangan diatas, penulis menilai bahwa sebenarnya strategi-strategi yang diungkapkan oleh Clausewitz jauh lebih praktis daripada apa yang dikemukakan Sun Tzu. Ini mungkin nampak dalam pendapatnya bahwa perang hanyalah kelanjutan dari kebijakan suatu pihak untuk mencapai kepentingan mereka dengan cara-cara kekerasan. Dan ia juga menilai bahwa strategi adalah penggunaan pertempuran demi mencapai tujuan-tujuan kita. Ia juga begitu menekankan peran dari situasi dan kondisi politik dalam mencapai kepentingan-kepentingan peperangan. Begitu pula pendapatnya tentang kekuatan moral, dimana salah satunya adalah rasa tak kenal takut dan agak nekat yang menjadi nilai-nilai heroik.

Setelah melihat beberapa pandangan Clausewitz tersebut, maka penulis beranggapan bahwa sumbangan Clausewitz bagi studi strategis amatlah besar. Ini terkait dengan kemampuannya mengaitkan perang dan strategi dengan politik. Bila Sun Tzu masih menilai bahwa perang itu sendiri adalah tujuan, maka Clausewitz membuka jalan bagi pemikiran bahwa perang dan strategi sebenarnya hanyalah jalan dan cara untuk memperoleh kepentingan-kepentingan politik. Clausewitz juga memberikan inspirasi bagi penggunaan kekuatan moral dalam peperangan. Terkait dengan bukunya yang berjudul On War, dalam pendahuluan dan pengantar buku tersebut, disebutkan bahwa sumbangan Clausewitz dalam studi strategis bisa disetarakan dengan sumbangan Charles Darwin bagi ilmu biologi. Walaupun pernyataan ini masih bisa diperdebatkan, namun mengingat saat buku tersebut ditulis belum banyak ahli strategi yang muncul selain Sun Tzu, maka bila dibandingkan dengan Sun Tzu, Clausewitz mampu membuka cakrawala baru dalam studi strategis ini. Tidaklah mengherankan ketika pemikiran-pemikiran Clausewitz lantas banyak diadopsi oleh ahli-ahli strategi baik militer maupun non-militer di negara-negara Barat.


No comments: