January 19, 2009

Nuclear Strategy: Sebuah Kajian Teoritis

By: 070610453

Pendahuluan

Kehadiran senjata nuklir dalam Hubungan Internasional telah mengubah tatanan dunia. Pasca dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat dan sekutu, telah mampu mengubah strategi Hubungan Internasional. Perang telah bertransformasi menjadi kehancuran yang amat mengerikan. Bentuk asap yang membumbung tinggi di langit Jepang akibat bom atom memberikan gambaran pada dunia tentang perimbangan kekuatan (Balance of Power) menjadi perimbangan teror (Balance of Terror). Hal ini sekaligus melengkapi tentang sebuah pertanyaan “is there nuclear strategy?”. Tulisan ini akan mengulas tentang strategi nuklir dari awal sejarah munculnya hingga pada masa sekarang ini.

Sejarah Perang Nuklir

Perang nuklir diawali dengan jatuhnya bom atom di dua bagian wilayah Jepang yaitu di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat kala meletus Perang Dunia II ditahun 1945. Namun fungsi dalam militer tak sebanding dengan kekuatannya yang mampu meluluh lantahkan apa yang disentuhnya. Perkembangan perang nuklir memasuki babak baru ketika muncul perseteruan antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin (Cold War). Konflik ini diawali ketika kedua Negara tersebut saling memperebutkan penyebaran ideologi masing-masing dan saling berusaha meredam penyebaran ideologi Negara satunya. Hal ini kemudian memicu terjadinya Perang Dingin yang terjadi pada Tahun 1950an hingga berkhir pada akhir tahun 1980an. Pada era itu Amerika Serikat dan Uni Soviet telah menjadi pelopor kekuatan nuklir pertama yang saling berusaha mengungguli satu sama lainnya.

Perang nuklir merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam peperangan antara pihak-pihak yang menggunakan nuklir sebagai senjata utama untuk menyerang satu sama lain. Pada era tersebut, sifat perang mulai mengalami pergeseran dari adu kekuatan militer konvensional yang melibatkan tank dan pesawat-pesawat tempur menjadi perang adu nuklir. Dengan skala kehancuran yang mengerikan, maka kedua Negara hanya saling menggertak satu sama lain meski permusuhan ideologi diantara mereka sangat kuat. Oleh karena itu nuklir tidak pernah benar-benar digunakan baik bersifat taktis maupun strategis dalam operasi Amerika Serikat dan Uni Soviet meski keduanya saling memiliki dengan daya hancur yang sangat dahsyat. Meski demikian, perlombaan dan aksi saling menggertak masih menimbulkan gejala. Salah satu contoh adalah ketika terjadi krisis Kuba (Cuban Crisis) pada 1962 di Teluk Babi yang dipicu oleh Uni Soviet dengan berusaha mengirim nuklir ke Kuba, namun pada akhirnya berhasil dicegah oleh Amerika Serikat.

Gejala lain yang terlihat yaitu saling memperlihatkan kapasitas mereka dengan melakukan uji coba nuklir. Pada 1952, Amerika Serikat melakukan uji coba dengan meledakkan H-Bomb. Bomb jenis ini berukuran lebih kecil dari bom yang dipakai Amerika Serikat untuk meledakkan Hiroshima, namun dengan kekuatan 2500 kali lipat lebih kuat. Sedangkan Uni Soviet memproduksi H-Bomb pada tahun 1953 untuk mengimbangi Amerika Serikat.[1] Dapat dibayangkan bagaimana yang akan terjadi apabila bom ini diledakkan. Hal ini benar-benar membuat stabilitas internasional semakin terancam.

Strategi Nuklir

Pasca terujinya efek kedahsyatan nuklir yang terjadi pada Hiroshima dan Nagasaki, nuklir mulai mampu menjadi instrumen maupun komposisi dalam pembuatan kebijakan dan menjadi salah satu faktor dalam perumusan kebijakan luar negeri bagi Negara yang memilikinya. Terminologi strategi nuklir, yaitu penggunaan strategi nuklir untuk mencapai kepentingan dalam politik internasional muncul seiring dengan penggunaan instrumen ini dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Namun pertentangan mulai muncul terkait daya hancurnya. Disatu sisi pihak berpendapat bahwa nuklir tidak dapat digunakan karena terlalu berbahaya dan tidak ada jaminan keselamatan dalam pengembangannya. Namun disisi lain berpendapat, dengan kelebihan nuklir akan mampu menjadi senjata yang tak tertandingi oleh senjata apapun.[2]

Mengacu pada pertentangan tersebut, baik menggunakan nuklir atau tidak, nuklir telah mampu mengisi tempat dalam perumusan sebuah kebijakan luar negeri suatu Negara. Selama perang dingin, konsep strategi yang paling populer dari kebijakan penggunaan nuklir sebagai sebuah instrumen politik maupun militer adalah dalam penggunaannya sebagai sebuah alat untuk mencipatakan kondisi deterrence. Secara umum, deterrence dapat diartikan sebagai ancaman yang berpotensi menimbulkan lebih banyak kerugian dibandingkan keuntungan apabila suatu pihak melakukan serangan, sehingga membuatnya memutuskan untuk tidak melakukan serangan tersebut. Penciptaan kondisi ini sangat terasa dalam relasi Amerika Serikat dan Uni Soviet selama era perang dingin.

Mengenai deterrence ini, Herman Kahn dalam bukunya On Thermonuclear War membagi tiga kategori deterrence nuklir.

Tipe I : Deterrence atas serangan langsung terhadap negara.

Tipe II : menggunakan ancaman strategis untuk mengancam (deter) musuh agar tidak melakukan aksi provokatif daripada serangan langsung. Deterrence tipe kedua ini, terlihat sebuah konsep pada perang dingin yang dikenal dengan “payung nuklir” (nuclear umbrella). Dalam konsep ini, suatu negara dapat saja mendapatkan perlindungan nuklir tanpa harus memilikinya. Hal ini terlihat dari bagaimana Amerika Serikat melindungi sekutunya dengan kapabilitas nuklir yang dimiliki. Sekalipun tidak ada kewajiban secara eksplisit untuk menggunakan senjata nuklir dalam membela sekutu yang diserang, kemungkinan untuk melakukannya tetap ada, khususnya dalam merespon serangan senjata pemusnah masal, sehingga konsep ini dianggap memiliki nilai deterrence terhadap lawan potensial.

Tipe III : Deterrence bertahap terhadap aksi yang kurang provokatif. Hal ini merujuk pada aksi yang diancam karena penyerang potensial khawatir bahwa pihak yang diserang atau pihak lain akan melakukan tindakan terbatas baik itu secara militer maupun bukan, yang dapat membuat serangan menjadi tidak menguntungkan.[3] Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence), nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nulir yang akan menimbulkan efek kerugian lebih besar dari tujuan yang akan dicapai negara lawan. Dalam menjalankan strategi penangkalan nuklir, setidaknya terdapat beberapa asumsi pokok yang harus dimiliki:

1. Watak defensif, interaksi strategis baru berlangsung pada saat atau setelah serangan pertama dari pihak lawan.

2. Serangan balasan dilakukan dengan mengandalkan persenjataan yang dapat diselamatkan dari serangan pertama lawan.

3. Rasionalitas dan mirror-image, pihak lawan berpikir dengan logika yang sama seperti yang dilakukannya.

Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata defensif dan mengandalkan serangan terhadap obyek-obyek militer (counterforce).[4]

Namun pada periodesasi 1960an - awal 1970an, mulai muncul Mutual Assured Destruction (MAD) yang digunakan oleh pengambil kebijakan Amerika Serikat sebagai perimbangan strategis terhadap Uni Soviet. MAD tergantung pada kemampuan kedua negara dalam menahan serangan nuklir pertama dan berkemampuan membalas dengan menimbulkan kerusakan yang menghancurkan penyerangnya. Kalangan pakar strategis nuklir menyebutnya kemampuan membalas itu sebagai sebagai kemampuan serangan kedua (second strike). Dengan adanya persepsi seperti ini, maka kemampuan membalas serangan itu menjadi tumpuan utama sehingga harus benar-benar kuat dan mobile. Hal ini ditujukan agar senjata nuklir bisa selamat dari serangan pertama. Karena sistem senjata ofensif memainkan peran cukup vital, kemudian berkembanglah apa yang disebut dengan MIRV (Multiple Independently Targeted Reentry Vehicle).MIRV merupakan jenis rudal yang mampu melepaskan sejumlah hulu ledak termasuk hulu ledak tipuan. MIRV ini dapat dipasang di rudal balistik antar benua atau rudal yang diluncurkan dari kapal selam. Dan dalam periode tersebut strategi nuklir terus mengalami perkembangan beserta teknologinya.[5]

Strategi Nuklir Pada Masa Perang Dingin

Pada masa perang dingin penggunaan strategi nuklir didominasi oleh Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Pada awalnya monopoli senjata nuklir berada di tangan Amerika Serikat, yaitu sejak tahun 1945 hingga 1949. Uni Soviet baru menguasai teknologi nuklir pada tahun 1949, namun belum memiliki minat untuk mengembangkan persenjataan nuklir. Hal ini disebabkan oleh dominasi pemikiran Joseph Stalin di dalam perumusan strategi militer Uni Soviet. Stalin merupakan penafsir ortodoks pemikiran Marx dan Engels. Kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa kemenangan di dalam setiap pertempuran hanya ditentukan oleh disiplin moral pasukan. Oleh Stalin, premis tersebut kemudian dirumuskan dan dibakukan sebagai unsur utama untuk memenangkan perang. Selain itu, Stalin juga sangat percaya pada kekuatan konvensional dan tidak percaya pada serangan-pendadakan (surprise attack).[6] Namun sejak pertengahan tahun 1950an di Uni Soviet muncul perdebatan antara kelompok Tradisionalis dan Modernis mengenai penggunaan senjata nuklir. Perdebatan ini menyebabkan Uni Soviet mengambil jalan tengah dengan tetap mempertahankan tingkat kepemilikan senjata konvensional dan secara bersamaan juga mengembangkan kemampuan nuklir. Disisi lain kemampuan dan kekuatan nuklir Amerika Serikat semakin berkembang saat Uni Soviet mulai merasakan arti penting keberadaan senjata nuklir.

Strategi Nuklir Uni Soviet

Pada masa pemerintahan Kruschev strategi nuklir makin diterima sebagai kebutuhan strategis oleh Uni Soviet dan pada tahun 1960 Kruschev dan Menteri Pertahanan, Malinovsky berhasil merinci tujuan penggunaan senjata nuklir, kapan digunakan dan bagaimana senjata tersebut digunakan. Doktrin nuklir tersebut intinya menyatakan bahwa senjata nuklir akan digunakan pada serangan pendadakan di setiap perang lokal yang melibatkan Amerika Serikat atau perang antara kubu sosialis dan kapitalis yang pasti meningkat menjadi perang nuklir habis-habisan. Isi doktrin ini sering juga disebut strategi opsi tunggal. Namun karena pada saat itu kekuatan nuklir Uni Soviet masih rendah doktrin tersebut hanya dipandang sebagai pernyataan penangkal terhadap doktrin perang terbatas AS.[7]

Selanjutnya pada masa pemerintahan Breznev-Kosygin tahun 1964 hingga 1970 strategi nuklir Uni Soviet tidak mengalami perubahan kecuali tidak mengikuti doktrin Kruschev yang menyatakan bahwa perang antara kubu sosialis dan kapitalis pasti akan meningkat menjadi perang nuklir total melainkan menggantinya dengan Uni Soviet akan menjawab tantangan Amerika Serikat pada setiap konflik, lokal dan global dengan senjata konvensional ataupun nuklir.

Di dalam perkembangan selanjutnya Uni Soviet makin menegaskan doktrin strategi nuklir mereka dengan merinci unsur-unsur untuk memenangkan perang yaitu:

1. Penangkalan yang lebih berdaya guna adalah persiapan perang.

2. Kemenangan akan dicapai melalui serangan pre-emtif.

3. Bahwa eksistensi sosial, ekonomi, politik dan militer Uni Soviet dapat dipertahankan.[8]

Selain itu, Uni Soviet juga diyakini telah mampu menyusun ukuran kemenangan di dalam perang nuklir. Ukuran-ukuran tersebut adalah:

1. Meskipun tidak terhindar dari kehancuran, Uni Soviet tetap dapat bertahan.

2. Melanjutkan perang sampai musuh tidak berdaya.

3. Mampu menduduki Eropa.

4. Memegang kendali untuk mengembangkan sosialisme ke seluruh dunia.[9]

Uni Soviet memandang Eropa memiliki nilai yang sangat strategis. Hal ini disebabkan oleh:

1. Pengalaman historis dan geopolitik dimana Uni Soviet selalu mendapatkan ancaman dari barat.

2. Eropa Barat merupakan sekutu Amerika Serikat sehingga Uni Soviet beranggapan akan mendapatkan keuntungan jika mampu memecah kerjasama AS-Eropa.

Strategi Nuklir Amerika Serikat

Untuk menghadapi Uni Soviet yang telah mampu menguasai teknologi nuklir, Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1950an mengembangkan strategi massive retaliation. Strategi ini menyatakan bahwa kekuatan nuklir strategis dan taktis Amerika Serikat digunakan tidak saja untuk menangkal serangan nuklir terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya melainkan juga untuk menangkal setiap serangan negara-negara komunis terhadap negara lain di seluruh dunia. Untuk mendukung strategi tersebut Amerika Serikat mengembangkan bom hidrogen, senjata nuklir taktis dan pesawat pembom jarak jauh (B-52). Pada tahun 1953 senjata-senjata nuklir taktis tersebut mulai ditempatkan di Eropa dan pada tahun 1955 pesawat pembom strategis B-52 mulai beroperasi.[10]

Namun, strategi ini banyak mengandung kelemamahan yaitu, pertama, Amerika Serikat diragukan utk menggunakan senjata nuklir. Pandangan ini didasari pada fakta bahwa di perang konvensional sebelumnya (Perang Korea) Amerika Serikat tidak menggunakan senjata nuklir. Kedua, Amerika Serikat tidak mampu menjamin dirinya terhindar dari serangan nuklir US. Padahal efek penagkalan efektif jika Amerika Serikat tidak berada dalam posisi rawan terhadap serangan nuklir Uni Soviet. Ketiga, Serangan nuklir Amerika Serikat terhadap Uni Soviet mengandalkan pangkalan udara di Inggris & Eropa Barat padahal kekuatan konvensional Barat di Eropa lebih kecil dibandingkan kekuatan konvensional Uni Soviet dengan demikian Amerika Serikat belum memiliki sarana memadai untuk membuat Uni Soviet bertekuk lutut.

Untuk mengatasi kelemahan tersebut Amerika Serikat lalu mengembangkan pemikiran Perang Nuklir Terbatas untuk melengkapi strategi massive retaliation. Pemikiran ini mengakui bahwa tidak semua agresi terhadap Barat dapat ditangkal dengan melakukan serangan langsung ke Uni Soviet. Dengan demikian Amerika Serikat memperluas keberadaan senjata-senjata nuklir taktisnya ke negara-negara sekutunya yang lain dan tempat-tempat lain yang berdekatan dengan Uni Soviet. Strategi ini dipandang memiliki kelemahan karena dapat mendorong Uni Soviet menyerang Amerika Serikat karena telah mengetahui kelemahan strategi massive retaliation sehingga menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik lokal dan perang nuklir terbatas menjadi makin besar. [11] Dengan demikian yang terjadi adalah sebuah paradoks menghindari perang nuklir malah memicu perang nuklir global.

Pada tahun 1960an Amerika Serikat mengembangkan strategi flexible response. Strategi intinya terletak pada keluwesan Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman keamanan dengan cara meningkatkan kemampuan menghadapi semua bentuk perang, baik besar-besaran maupun terbatas, nuklir ataupun konvensional. Strategi ini menekankan pada prinsip counterforce dengan alasan untuk mengurangi jumlah korban penduduk sipil jika terjadi perang nuklir.[12] Dengan menjalankan prinsip counterforce maka terbuka kesempatan bagi Amerika Serikat untuk melakukan serangan pre-emtif. Strategi ini juga memiliki kelemahan yaitu counterforce efektif apabila persenjataan strategis Amerika Serikat digunakan sebelum senjata-senjata lawan digunakan. Artinya counterforce dapat merangsang Amerika Serikat untuk melakukan first strike menjadi lebih besar. Ini menyebabkan ancaman perang nuklir menjadi lebih besar karena Uni Soviet akan melihat implikasi tersebut dan melakukan upaya untuk tidak diserang terlebih dahulu.[13] Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Uni Soviet mengembangkan ICBM (Inter-continental Ballistic Missile) dan SLBM (Sea Launch Ballistic Missile) pada pertengahan 1960-an. Kondisi ini dapat mengancam terjadinya perlombaan senjata yang tidak terkendali. Kelemahan tersebut mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan strategi nuklir yang baru yaitu MAD (Mutual Assured Destruction).[14] Berbeda dengan flexible response yang menggunakan prinsip counterforce, MAD menggunakan prinsip countervalue.

Untuk menjaga agar efek penangkalan dari strategi ini, yaitu kehancuran yang meyakinkan (assured destruction), berjalan efektif Amerika Serikat berusaha memperkuat hubungan keamanannya dengan Uni Soviet dengan melakukan pengawasan senjata. Hal ini dibutuhkan karena jika jumlah senjata telah melebihi dari jumlah yang diperlukan maka nilai strategis dari strategi ini akan hilang. Salah satu pengaruh positif dari MAD adalah dicapainya kesepakatan mengenai ABM (Anti-Ballistic Missile Treaty) dan SALT I (Strategic Arms Limited Talks I) pada tahun 1972. Namun, perkembangan persenjataan Uni Soviet di tahun 1970-an yang terus meningkat kembali melahirkan kritik terhadap strategi nuklir Amerika Serikat.

Strategi MAD dirasa tidak lagi mampu untuk menghadapi persenjataan Uni Soviet yang kemampuannya telah meningkat. Amerika Serikat juga dipandang tidak lagi cukup hanya mengandalkan serangan pada kota-kota dan pusat-pusat industri Uni Soviet. Pemikiran ini berusaha mendorong Amerika Serikat untuk juga menjalankan prinsip counterforce di dalam strategi nuklirnya. Selain itu, Amerika Serikat dipandang perlu untuk meningkatkan kemampuan persenjataannya dan menentukan seperangkat sasaran-sasaran yang akan dihancurkan jika terjadi perang. Kritik-kritik ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai Presidential Directive 59 (PD 59) pada tahun 1980. PD 59 memberikan pedoman-pedoman mengenai apa yang hendaknya dilakukan Amerika Serikat dalam menghadapi konflik dengan Uni Soviet. PD 59 memuat puluhan ribu daftar sasaran yang akan dihancurkan Amerika Serikat jika terjadi perang. Namun, walaupun memuat puluhan ribu daftar target, target-taget tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok besar yaitu:

1. kekuatan nuklir Uni Soviet.

2. Kekuatan konvensional.

3. Pimpinan-pimpinan militer dan politik serta fasilitas komunikasi.

4. Sasaran-sasaran ekonomi dan industri Uni Soviet.[15]

Strategi Nuklir Pasca Perang Dingin

Strategi Amerika Serikat

Menggelar sejumlah strategi baru dalam memasuki abad ke-21. Diantara butir-butir strategi AS itu adalah:

1. Menggerakkan strategi Amerika Serikat dari menyiapkan perang melawan Uni Soviet dan menggunakan senjata nuklir menjadi persiapan perang yang menggunakan senjata pamungkas.

2. Menerima visi Eropa bebas nuklir.

3. Menggantungkan diri pada pasukan Amerika Serikat mengupayakan perang jangka pendek.

4. Amerika Serikat akan memobilisasi struktur kekuatan perimbangan untuk menghadapi kekuatan yang akan muncul.

5. Menggunakan senjata konvensional modern, bukan senjata strategis.

6. Pengaturan apa yang disebut sebagai konflik intensitas menengah.[16]

Strategi Rusia

Rusia juga memikirkan strategi baru untuk menghadapi tatanan dunia baru selepas Uni Soviet bubar.

1. Menjamin adanya kontrol atas senjata nuklir.

2. Menjamin tak ada kekuatan asing menyerang atau intervensi untuk memulihkan ketertiban.

3. Memperkuat persemakmuran negara-negara merdeka (CIS) menjadi sebuah konfederasi yang terintgrasi.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi Rusia itu dikembangkan pemikiran strategis baru:

1. Para pemimpin Rusia akan tetap menjamin bahwa arsenal Rusia dapat diandalkan.

2. Rekonstruksi angkatan bersenjata Rusia akan berusaha menghasilkan militer yang lebih efisien tapi tak mengancam dunia.

3. Melindungi komando senjata strategis Rusia dan mencegah kehilangan kontrol atas senjata nuklir ke negara lain.

4. Penekanan pada penggunaan senjata non nuklir yang canggih.[17]

Apakah seluruh senjata pemusnah massal setara secara strategis?

Permasalahan mengenai apakah seluruh senjata pemusnah masal setara secara strategis, telah memancing perdebatan tersendiri. Tidak satupun yakin bahwa semua jenis senjata pemusnah masal memiliki kesetaraan dalam menciptakan efek strategis. Hal ini tentunya menyebabkan timbulnya berbagai pandangan dan pertanyaan mengenai bagaimana merespon serangan-serangan senjata pemusnah masal. Seperti jika senjata biologis dan kimia dapat menimbulkan kerusakan masal, sehingga apakah kemudian senjata tersebut secara politis dan moral setara dengan nuklir? Apakah negara yang terikat dengan konvensi internasional yang relevan, ketika diserang dengan senjata biologis atau kimia berhak membalas dengan senjata nuklir?

Pihak yang terikat dengan konvensi pelarangan penggunaan senjata pemusnah masal biologis atau kimiawi, berkepentingan untuk menyetarakan secara strategis senjata-senjata pemusnah masal semacam itu. Hal ini terkait dengan penentuan jenis respon yang akan diberikan, dan tidak menutup kemungkinan penggunaan nuklir untuk meresponnya. Akan tetapi beberapa pihak menolak menyetarakan berbagai jenis senjata pemusnah masal, karena dapat membuka kemungkinan serangan nuklir terhadap negara non-nuklir. Selain itu, penyetaraan yang membuat terbukanya kemungkinan pembalasan dengan serangan nuklir, dipandang akan membuat negara pemilik senjata biologi atau kimia terpicu untuk mendapatkan senjata nuklir.[18]

Apakah kegunaan senjata pemusnah massal?

Untuk menjawab pertanyaan mengenai untuk apakah kegunaan senjata pemusnah masal, Davis dan Gray mencoba menjawabnya dengan menyodorkan pertanyaan yang lebih spesifik yang mana jawabannya dipandang dapat mewakili keseluruhan alasan penggunaan senjata pemusnah masal: “Apakah kegunaan dari senjata nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat?”

Jawaban empiris yang didapatkan dari pertanyaan itu adalah, setidaknya ada enam kegunaan dari senjata nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat :

1. Dapat mencegah, menghukum, dan jika diperlukan, untuk mengalahkan musuh regional yang mengancam atau menggunakan senjata pemusnah masal untuk menyerang Amerika Serikat.

2. Memperbesar efek deterrent dan mungkin compellent bagi sekutu yang terancam dengan senjata pemusnah massal.

3. Untuk mengimbangi kemungkinan gagalnya pasukan konvensional Amerika Serikat atau sekutunya.

4. Mencegah munculnya pesaing dalam masa damai, krisis, maupun perang.

5. Untuk melakukan misi peperangan yang tidak dapat dilakukan dengan senjata konvensional.

6. Merupakan senjata yang mengukuhkan kedudukan Amerika Serikat sebagai superpower dan sebagai penjamin terciptanya general deterrence.[19]

Bagaimanapun, sekalipun situasi kini tidak setegang perang dingin, nampaknya nuklir masih menduduki peranan penting dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri negara-negara yang memilikinya. Hal ini dapat terlihat dalam kasus bagaimana Korea Utara berhasil menggunakan nuklirnya untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara luar. Bukti lain, sejak George W Bush menjadi Presiden dan kemudian disusul dengan tragedi 11 September, telah membuat Amerika Serikat mencoret Anti Balistic Missile Treaty dan Comprehensive Test Ban Treaty. Amerika Serikat kembali menyiagakan dan memperkuat sistem pertahanan misilnya, serta tidak menutup kemungkinan menggunakan first-use option. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran Amerika Serikat bahwa rogue state akan menggunakan nuklir atau jenis senjata pemusnah massal lain dalam menyerang kepentingan Amerika Serikat.

Penutup

Senjata nuklir telah membawa perubahan dalam sejarah strategi negara adidaya dan negara nuklir lainnya seperti Inggris, Perancis dan Cina. Perang Dingin menekankan penggunaan nuklir tetapi bisa mencegah terjadinya perang yang menakutkan itu. Pasca Perang Dingin melahirkan berbagai doktrin strategis baru yang menekankan pada penggunaan senjata konvensional. Namun demikian sebagai salah satu senjata yang prestise, nuklir tetap dicari seperti terjadi pada negara nuklir baru yakni India dan Pakistan. Menurut George F Kennan, mantan Dubes AS di Uni Soviet, potensi destruktif perang nuklir global sangat besar sehingga tidak ada alasan politik untuk membenarkannya.[20] Arnold J Toynbee berpendapat, pengembangan senjata nuklir mungkin membuat perang menjadi kuno sama seperti berburu makanan tiap hari menjadi tidak penting. Akhirnya, Liddle-Hart’s menegaskan, tujuan perang yang sah adalah perdamaian yang lebih baik. Pernyataan ini berarti perang pada era nuklir menjadi kehilangan kegunaannya sebagai instrumen kebijakan.



[1] http://irtheory.wordpress.com/tag/strategy%20nuclear

[2] Herman Kahn. On Thermonuclear War. Priceton University Press, 1960. hal 157

[3] Kahn dalam John Baylis, et.al. Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies. hal 166.

[4] http://teori2hi.multiply.com/journal/item/7

[5] Theodore A Couloumbis and James H Wolfe. Introduction to International Relations: Power and Justice. Englewood Cliffs; Prentice Hall, 1978, p.184.

[6] J. Kusnanto Anggoro, Strategi Penangkalan Uni Soviet, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986.

[7] Ibid

[8] Gray dan Morgan dalam John Bayliss et. al. Strategy in Contemporary World. Hal 264.

[9] Ibid

[10] A.R. Sutopo, Perkembangan Pemikiran Strategi Nuklir Barat, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986.

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.

[16] http://theglobalpolitics.com/?tag=cold-war

[17] Ibid

[18] Davis dan Gray dalam John Baylis, et.al. Strategy in the Contemporary World. An Introduction to Strategic Studies. Hal 263.

[19] Ibid. Hal. 266

[20] op.cit. p. 185.


No comments: