January 16, 2009

Jebakan Posmodernisme dan Posmodernitas: Discourse Strategy atau Virtual Strategy

By: Aswin Wiyatmoko

Abstract

The modern era has brought significant implication into study of strategy. Thus, They developed a new subject of study of strategy which called strategic studies. Strategic studies has been “on fire” when the nuclear war occurred from 1945 - 1990. It tried to explain how and why the war should be. But, the end of nuclear era brought some implication into study of strategy or even strategic studies itself. The development of technology, communication and information have taken several differences into strategy of war. Some scholar said that the reason might be the construction of war, itself, has changed. It is said that we have entered the new era of postmodern. In this paper, I would try to reconsidering the discourse of postmodern strategy. Has the postmodern strategy presented on contemporary world? This paper could be categorized into discursive paper. So, It consist of several conceptual game. I would divide this paper into several conceptual discussion. I will start from the meaning and the boundary of study of strategy itself. It is so important that we could limit the discussion into the border. We should distinguish the concept of modernity, modernism, postmodernism and post-modernity. In the last paper, we can conclude about how should the concept postmodern be taken place.

Keywords: Strategy studies, Posmodernity and Posmodernism, Virtualization

“ Ideas become consensual when actors start believing in their value and become convinced of the validity. Instrumental use of ideas works because their value has been previously established in discursive process of persuasion and deliberation..”[1]

Strategi dan Studi Strategi

Terminologi strategi pada awalnya berasal dari kata Yunani berarti generalship atau dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepemimpinan[2] Pengertian ini kemudian berkembang (baca: bergeser) sejalan dengan perkembangan politik internasional utamanya mengenai perang dunia kedua. Liddle Hart dalam Nickols[3] menyebutkan bahwa strategi merupakan seni distribusi dan mengaplikasikan cara - cara militer dalam pemenuhan tujuan politis. Dalam masa ini, strategi dipahami dalam konteks militer saja.

Sekitar tahun 1970an, pengertian strategi ini kemudian berkembang seiring aplikasi studi strategi yang mencakup berbagai bidang kehidupan. Fred Nickols [4]menyebutkan bahwa strategi merupakan terminologi yang menggambarkan sekumpulan pemikiran ide, pengetahuan, pengalaman, tujuan, memori, persepsi dan harapan yang merupakan guidance untuk tujuan spesifik dan dalam waktu yang spesifik pula. Masih menurut Nickols[5], untuk mempermudah pemahaman setidaknya dapat diklasifikasikan poin – poin penting pemahaman strategi sebagai berikut. Pertama, strategi mensyaratkan tujuan yang harus dicapai. Kedua, strategi mensyaratkan pentingnya menyusun sumberdaya yang ada dalam mencapai sumber tersebut. Ketiga, strategi memainkan peranan penting dalam mengontrol apakah sumberdaya tersebut benar – benar diaktualisasikan. Keempat, sumberdaya tersebut merupakan cara dan tujuan akhir kita.

Dalam pembahasan selanjutnya kita perlu membedakan antara studi strategi dan studi strategis. Studi strategi merupakan telaah yang memfokuskan pada eksplorasi dan aplikasi strategi ke dalam bidang – bidang kehidupan. Di sisi lain, studi strategis merupakan bagian dari perjalanan studi strategi sendiri. Selain studi strategis tersebut, studi strategi diwarnai oleh kajian strategi klasik dan manajemen strategi.

Postmodern Strategy: A New Way of Understanding Phenomena?

Studi mengenai strategi, jika ditinjau dari segi metodologi empiris, baru dimulai ketika studi strategis yaitu pasca perang dunia kedua sekitar tahun 1950an. Kendati demikian, dasar – dasar studi mengenai strategi sudah dimulai beberapa dekade bahkan abad sebelumnya. Salah satu diskursus strategi yang cukup terkenal dimulai ketika Sun Tzu menggambarkan wisdom mengenai strategi – strategi mencapai tujuan perang pada masa itu. Periode ini yang kita namakan sebagai periode strategi klasik.

Perkembangan secara empiris terjadi satu abad setelahnya ketika perang dunia kedua berakhir. Akibat efek perang dunia yang terjadi dua kali dalam 20 tahun, para scholar kemudian berpikir mengenai bagaimana cara menciptakan keamanan bersama[6]. Faktor keamanan inilah yang kemudian menjadi fokus tahapan studi strategi berikutnya - yang kita kenal sebagai studi strategis. Masa studi strategis ini dapat dikatakan berdiri pada masa dimana nation-state mencapai kejayaannya. Dalam arti, pada masa ini mulai bermunculan nation-states baru dan utamanya karena tiap nation-states mulai menunjukkan eksistensinya. Namun demikian, studi strategis masih bisa dikatakan berfokus hanya pada masalah keamanan secara tradisional saja. Dalam arti, keamanan masih dikaji pada tataran hard politics saja.

Hal ini yang kemudian membuat beberapa ilmuwan ekonomi seperti Michael Porter mengambil dasar – dasar strategi untuk diterapkan kepada ranah kajian ekonomi. Studi ini yang sering kita kenal sebagai manajemen strategi. Dalam manajemen strategi, subyek adalah manajer. Manajer ini yang kemudian menyusun strategi bagaimana menciptakan inovasi –inovasi yang mampu menarik banyak konsumen. Dalam kajian ini, lawan bersifat sebagai kompetitor sehingga tujuan utama dari studi strategi ini lebih menekankan kepada competitiveness. Secara umum, perkembangan studi strategi ini menggabungkan ranah empirisme dengan ranah art sehingga yang dibutuhkan tidak hanya metode – metode tetapi juga skill personal.

Di bawah ini merupakan tabel konsep ketiga pendekatan besar di atas.

Indikator Pendekatan

Strategi Klasik

Studi Strategis

Manajemen Strategi

Subyek Utama

Metode Kerjasama

Jenderal

Engagement

Pembuat Kebijakan

Aliansi

Manajer

Merger

Dasar Pendekatan

Pihak Kontra

Means

Obyek

Tujuan

Metodologi

Sifat keilmuan

Wisdom

Musuh

Troops Deployment

Anggota

Survivalitas

Preskriptif

Rasionalis

Prudence

Rival

Arms race& control

Warganegara

Keamanan

Eksplanatif

Empiris

Inovasi

Kompetitor

Operasi Penjualan

Konsumen

Kompetisi

Preskriptif&deskriptif

Rasional-empiris

Sumber : Susanto, 2008

Tidak dapat dimungkiri ketika berbicara mengenai relevansi ketiga pendekatan tersebut, maka kita dapat menjawab masih relevan. Tetapi kemudian di era kontemporer muncul beberapa fenomena yang “aneh’. Sebagai contoh, dalam bidang politik kita dapat mengenal istilah Trans-imago-politico[7]. Trans-imago-politico menggambarkan interseksi politik dengan ranah kajian lainnya seperti hukum, ekonomi, agama dan budaya. Politik kini tidak lagi dapat dipahami sebagai sebuah pure politik, namun selalu ada kaitannya dengan ranah lain dalam rangka hubungan politik dengan diskursus[8]. Marx dalam Suseno[9], menggambarkan dua tingkatan di dalam struktur kehidupan masyarakat. Yang pertama adalah basis. Basis menurut Marx meliputi tenaga produktif, alat – alat produksi, mode produksi dan relasi produksi. Yang kedua adalah superstruktur yang terdiri atas ide, konsep, gagasan dan keyakinan serta kesadaran kolektif. Menurut Marx, superstruktur ini kemudian dipengaruhi oleh basis.

Namun, dalam perkembangan kontemporer, struktur ini kemudian menjadi terbalik atau bahkan dikatakan semakin abstrak. Dunia ide atau superstruktur ini kemudian tidak terpengaruh oleh bangunan dasar atau justru sebaliknya, malah mempengaruhi bangunan dasar tersebut. Dunia citra atau ide kemudian menggantikan sesuatu yang bersifat realitas fisik. Sebagai contoh, politisi kemudian tidak benar – benar seperti apa dirinya, tetapi dibanguna atas citra yang mereka konstruksi. Misal, seorang politisi yang dekat dengan kiai maka akan terbangun citra Islam sejati. Hal inilah yang disebut trans-imago-politico.

Contoh fenomena kedua adalah mengenai perang. Perang pada masa lampau selalu dikaitkan dengan adanya tentara, sistem perang yang terbuka, dan antar negara. Dalam era kontemporer, kemudian kita menemukan yang disebut perang irregular[10].. Perang tidak lagi dilihat hanya antara tentara negara satu dengan negara lainnya dan terbuka. Perang dapat terjadi antara aktor non-negara seperti kelompok militan dan kelompok gerilya. Perang juga bisa dilakukan tertutup, bahkan hanya sebuah virtual war[11]. Virtual war secara kasar diartikan sebagai perang yang terjadi dalam dunia virtual seperti perang di media massa, pemberian spyware dan virus computer pada lawan, dsb.

Masih banyak fenomena – fenomena lain yang terjadi terkait perkembangan tersebut. Namun, secara umum, scholar – scholar sepakat bahwa salah satu penyebab pergeseran tersebut adalah adanya perkembangan teknologi. Paul Virilio[12] mengatakan bahwa produksi kecepatan, cahaya, dan citra secara besar – besaran kini tiba – tiba menjadi cermin realitas layaknya film, sebuah pabrikasi dunia dan dunia citra yang bersifat artifisial. Fenomena ini yang disebut Virilio sebagai Dromologi. Bahkan, Martin Heidegger dalam Piliang[13] mengatakan bahwa teknologi semakin membawa manusia tidak berada pada dunianya sendiri.

Ketika penulis terlibat diskusi dalam mata kuliah studi strategi, fenomena semacam ini sempat dibahas. Bahkan dalam beberapa hal, fenomena yang tidak lazim ini dikaitkan dengan posmodern. Kendati demikian, penulis beranggapan ada beberapa telaah kritis yang patut kita cermati sebelum kita menyimpulkan ada atau tidaknya kehadiran strategi postmodern ini. Oleh karena itu, penulis akan sedikit bermain – main dalam konsep modernitas, modernisme, posmodernisme dan posmodernitas.

The Genealogy : Modernism, Modernity, Postmodernism and Post-Modernity

Judul di atas sekiranya memberi sedikit hidayah kepada kita dalam memahami pertanyaan besar tulisan ini mengenai ada atau tidaknya strategi postmodern. Ya. Kita seringkali terjebak dalam pengertian modernisme, modernitas, posmodernisme dan posmodernitas. Suatu hal yang penulis kira penting dalam memahami apakah sesuatu “layak” disebut suatu wacana atau bidang baru dalam suatu kajian.

Modernitas merupakan sebutan bagi sebuah masa setelah masa abad pertengahan di eropa.[14] Renaissance kemudian menandai transformasi antara era medieval dan modern. Pada awalnya, era ini diawali oleh perubahan besar – besaran dalam dunia seni namun pada akhirnya mengalami spillover ke bidang – bidang kehidupan lainnya. Beberapa peristiwa penting yang menandai era modernitas adalah revolusi ilmu pengetahuan, revolusi Prancis dan Revolusi Industri. Di antara sekian revolusi tersebut, secara bidang kehidupan sosial, bisa dibilang revolusi industri kemudian menjadi sangat penting mengubah struktur masyrakat dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Pada masa ini, teknologi bisa dikatakan mampu mengubah pola kehidupan politik maupun ekonomi. Marx, salah satunya, menghasilkan analisis kematian kapitalnya juga atas “jasa” modernitas. Anthony Giddens dalam bukunya[15] menyebutkan beberapa implikasi akibat adanya modernitas ini, seperti ruang dan waktu yang semakin ditekan. Pada intinya, modernitas menggambarkan kondisi sosial masyarakat akibat adanya transformasi struktur kemasyarakatan.

Modernisme merupakan gugus gagasan yang berkembang di masa tersebut yang memiliki implikasi strategis bagi modernisasi.[16] Suseno[17] kemudian membuat klasifikasi mengenai gagasan yang berkembang dalam modernisme. Mereka adalah kapitalisme, humanisme dan rasionalisme. Menurut Lash[18], modernisme mulai berkembang pada abad kesembilanbelas seiring dengan berkembangnya pemahaman pemikiran yang telah disebutkan tersebut. Lash menambahkan bahwa modernisme ini mengikuti modernitas yang terjadi. Modernisme sendiri secara konseptual masih bisa dikatakan dapat diperdebatkan. Tetapi yang jelas adalah bahwa modernisme merupakan bagian dari perkembangan diskursus. Inilah yang kemudian membedakan dengan modernitas. Modernitas lebih menggambarkan struktur masyarakat sedangkan modernisme lebih menggambarkan struktur diskursus.

Pun demikian dengan terminologi post yang akan kita bahas berikut ini. Postmodernitas menggambarkan realitas sosial yang terjadi pada masa tersebut. Ritzer[19] menggambarkan posmodernitas merupakan kondisi di mana masyarakat berada dalam dunia posindustri. Masyarakat posindustri merupakan masyarakat dimana konstruksi ekonomi mereka telah bergeser dari pola industri manufaktur kepada industri jasa atau bisa kita sebut industri informasi. Pekerjaan bukan lagi bekerja di pabrik tetapi bisa melalui internet, media, atau bahkan via telepon. Masyrakat kemudian bertransformasi dari industrial society menuju network society[20]. Dalam ranah politik, Gahral Adian [21]menambahkan bahwa ada fenomena yang terjadi dalam era posmodernitas yaitu deseminasi kekuatan politik. Dari awalnya negara kemudian terpecah ke dalam aktor non – negara. Dari partai politik kemudian lahirlah lembaga swadaya masyarakat. Kelas sosial pun terfragmentasi kepada kelompok – kelompok kepentingan seperti gender. Dalam hal ini, perkembangan teknologi sekali lagi memegang peranan penting dalam transformasi tersebut.

Posmodernisme, seperti pengertian modernisme, adalah sebuah gugusan pemikiran. Posmodernisme lahir akibat kritik terhadap pola pemikiran modernisme yang dinilai sebagai ortodoksi dalam pengembangan keilmuan. Posmodernisme sendiri dapat dikatakan terdiri atas banyak “aliran” seperti posstrukturalis dan posmarxis. Namun demikian, hal tersebut tidak akan penulis jabarkan dalam tulisan ini. Penulis hanya ingin menekankan kepatutan kita dalam memberi distingsi dalam modernisme, modernitas, posmodernisme dan posmodernitas. Akhiran –isme menggambarkan pola gugusan pemikiran yang muncul pada masa tertentu. Sedangkan akhiran –itas menggambarkan realitas sosial yang terjadi pada saat itu.

Memikirkan Kembali Postmodern Sebagai Strategi : The trap of –ity and –ism

Penjelasan singkat mengenai konsepsi modernitas, modernisme, posmodernisme dan posmodernitas sekiranya cukup bisa menggambarkan pemetaan yang dapat kita lakukan dalam membedah sebuah wacana baru mengenai ada atau tidaknya strategi postmodern. Dalam melihat kedua konsepsi di atas tentunya kita perlu berhati – hati dalam memahami pengertian tesebut. Jangan sampai kita terlalu mudah mengklasifikasikan dan mensimplifikasi hal tersebut. Posmodern merupakan terminologi yang tidak mudah untuk disimplifikasi. Terry Eagleton[22] bahkan mengatakan bahwa salah satu kelemahan postmodern adalah sulitnya pemahaman mereka sehingga terkesan hanya milik beberapa orang cendekia dengan intelejensi tinggi.

Sekali lagi, akhiran -itas menggambarkan realitas sosial yang ada pada masa tersebut. Akhiran -isme menggambarkan gugusan pemikiran yang timbul pada masa tersebut. Oleh karena itu, dalam melihat apakah ada atau tidak strategi postmodern, kita juga perlu membagi pemahaman tersebut ke dalam dua bagian yaitu posmodernitas dan posmodernisme. Keduanya tidak bisa disatukan begitu saja. Dalam kaitannya studi strategi, studi strategis dan manajemen strategis menggambarkan realitas sosial yang ada pada saat itu.

Ideas constitute our identity, of who we are and what we should be in our becoming. Thus, our mind construct the world we live in. Beberapa mungkin berpendapat bahwa kita tidak bisa begitu saja melepaskan gugusan pemikiran dalam kaitannya dengan realitas sosial yang ada. Namun demikian, jangan dilupakan, kita perlu membedakan antara kajian yang bersifat praktis dan kajian yang bersifat diskursif. Studi strategi, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa studi tersebut termasuk dalam kategori kajian yang praktis. Meskipun dalam tabel di atas pembaca dapat melihat bahwa strategi klasik bersifat normatif, namun mau tak mau mereka semua merupakan kajian yang aplikatif.

Kembali, adakah strategi postmodern? Sekali lagi tergantung kita membedakan antara posmodernisme ataukah posmodernitas. Penulis akan mencoba mengungkapkan lebih mengenai klasifikasi tersebut. Dalam kaitannya dengan perang pemikiran, tidak dapat dimungkiri posmodernisme memang melancarkan perang terhadap modernisme. Tetapi merujuk pada Callinicos[23] salah satu kelemahan dari posmodernisme adalah sulitnya mereka keluar dari panopticon[24] yang mereka buat sendiri. Dinilai sebagai sebuah ide, gagasan, tujuan dan perspektif, posmodernisme memang masuk dalam kriteria strategi. Namun posmodernisme dinilai tidak mampu menjadi sesuatu hal yang aplikatif terutama dalam hal kajian studi strategi yang lebih bersifat praktis. Dalam hal ini penulis lebih cenderung mengatakan bahwa posmodernisme sebagai sebuah strategi masih cukup terbatas. Praktis memang, tetapi hanya cukup “menyerang” pemikiran- meskipun pada akhirnya konstruksi pemikiran mampu mengubah segalanya. Selain itu, Jangan dilupakan, postmodernisme adalah bagian dalam perang tersebut, sehingga tidak layak suatu bagian kita jadikan sebuah term. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung mengatakan era ini adalah era discursive strategy, ketimbang mengatakan postmodernism strategy. Hal ini karena discursive strategy masih membuka kemungkinan adanya perang terhadap diskursus lain.

Berbeda halnya ketika kita berbicara mengenai posmodernitas. Ada beberapa realitas yang terjadi dalam era modernitas. Beberapa telah penulis singgung di atas seperti trans-imago-politico, virtual war dan bahkan network society. Memang, kita tidak dapat begitu saja melupakan realitas fisik yang ada, tetapi ada perkembangan – perkembangan yang menuntut kita masu ke dalam lingkaran setan virtualisasi.

Paul Virilio[25] mengatakan bahwa kita ditanggalkan dari batas – batas objektif, elemen arsitektonik mulai mengapung di dalam eter elektonik, hampa dari dimensi – dimensi ruang, akan tetapi ditorehkan dalam temporalitas difusi kesetikaan. Mulai sekarang, orang tidak lagi dipisahkan oleh hambatan – hambatan fisik jarak dan waktu. Melalui interface dalam terminal komputer dan monitor – monitor video, perbedaan di sini dan di sana tidak ada artinya lagi. Bahkan, saking dekatnya dan virtualisasi yang luar biasa, Der derian sampai menyebut perang adalah permainan[26]. Menurut Der Derian, perang dapat dikatakan sebagai permainan karena aktor – aktor yang berbeda secara identitas dan kepentingan pun secara radikal dapat dikatakan mampu menghasilkan efek yang global.

Hal ini sangat kentara sekali jika kita melihat beberapa contoh kasus yang terjadi saat ini. Seperti dalam kasus pelemparan sepatu oleh wartawan Iran kepada Presiden George W.Bush beberapa waktu lalu. Dengan cerdiknya, wartawan ini memainkan momentum rekaman video dan publisitas media untuk mengkonstruksi pemikiran masyarakat terhadap Bush. Ambil contoh yang lain. Seorang tawanan AlQaeda kemudian ditunjukkan bagaimana ketika sesaat ia akan dipenggal kepalanya. Hal ini kemudian mengkonstruksi pemikiran masyrakat menegenai AlQaeda sendiri. Cerita yang lebih down to earth misalnya. Kita dapat sama – sama mahfum bagaimana pengaruh video porno terhadap kondisi psikologis masyrakat. Tindak kejahatan disana sini kemudian terjadi begitu saja.

Hal ini menunjukkan kita betapa pentingnya konstruksi melalui virtualitas dalam hal pemikiran. Bahkan, virtualitas ini juga merambah bidang – bidang seperti politik dan ekonomi. Virtualitas politik menciptakan kondisi politik yang dibangun atas dasar teknologi, khusunya informasi, sehingga ruang publik mengalami transformasi dari ruang publik fisik menjadi ruang publik virtual[27]. Dunia Virtual[28] merupakan dunia yang melampaui ukuran dalam arti tidak ada mekanisme yang mengukur kekuatan, nilai, atau batas, yang hanya mungkin dilakukan dalam dunia yang mempunyai batas – batas. Dengan demikian, ruang public virtual berarti ruang yang tercipta ketika realitas dibangun dalam hubungan virtual.

What public wants is the image of passion. Not Passion itself (Barthes, 1972). Agaknya tesis dari Barthes menggambarkan bagaimana pentingnya konstruksi citra bagi konstruksi sosial. Inilah yang kemudian menggambarkan adanya transformasi momen realitas fisik ke dalam momen citra virtual. Politisi kemudian lebih cenderung menciptakan bagaimana image yang mampu memikat hati rakyatnya. Pun demikian dengan intrik politik, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengkonstruksi citra visual tersebut.

Dalam ranah ekonomi pun demikian. Bahkan fenomena virtualisasi sudah dimulai sejak era casino capitalism[29] dimulai. Casino capitalism menggambarkan bagaimana virtualisasi memainkan peranan yang penting dalam kehidupan dimana perpindahan capital begitu masifnya, menekan ruang dan waktu. Hal ini semakin lama semakin berkembang dengan adanya sistem saham dalam perusahaan. Kita dibuat bermain – main dengan sesuatu yang bisa dikatakan tidak nyata. Namun demikian, toh, ternyata masyarakat mampu terbentuk konstruksi virtualitas yang ada.

Virtualitas kemudian memegang peranan penting dalam kehidupan sehari – hari. Bagi penulis, virtualisasi bukan hanya sebagai instrumen. Menang – kalah, untung – rugi kita bahkan dapat tercipta dalam dunia yang virtual tersebut. Ada banyak transformasi yang berubah dari strategi klasik, studi strategis dan manajemen strategis. Konstruksi dunia kemudian mengalami perkembangan, tidak hanya dunia secar fisik, tetapi kita juga memasuki dunia secara virtual. Secara konseptual, penulis dapat mengatakan bahwa sudah saatnya kita memasukkan virtual strategi ke dalam suatu kajian strategi baru.

Epilog : Virtual Strategy and Discourse Strategy

Penjelasan di atas sekiranya mampu menjawab pertanyaan besar mengenai ada atau tidaknya strategi postmodern. Dalam kaitannya dengan studi strategi yang bersifat aplikatif, penulis memilih berhati – hati dalam mengklasifikasikan ada atau tidaknya strategi postmodern tersebut. Posmodernisme dan posmodernitas memiliki pengertian yang berbeda. Oleh karena itu, ketika kita mengoperasionalkan konsep tersebut perlu berhati – hati. Posmodernisme lebih kepada perang gugusan wacana yang ada. Namun demikian, posmodernisme adalah bagian dari perang wacana tersebut. Sehingga tidak selayakny kita memberi label strategi postmodern. Ada baiknya, ketika ingin memasukkan posmdernisme sebagai kajian, strategi diskursus agaknya lebih mengena.

Lain halnya ketika berbicara mengenai penting posmodernitas sebagai fenomena sosial. Masyarakat pasca industri ternyata membawa implikasi yang signifikan terhadap pola – pola konstruksi masyrakat. Masyarakat tidak hanya memiliki dunia realitas fisik, tetapi memiliki dunia virtual yang mau tidak mau, mulai dari nenek sampai cucu, terjebak di dalamnya. Dalam memaknai dunia yang berbeda tersebut, agaknya virtual strategy dibutuhkan, baik dalam mengkonstruksi, mendekonstruksi, maupun merekonstruksi fenomena sosial tersebut.



[1] Risse-Kappen. 1996. hal 70 – 96. Hal ini penulis letakkan di awal tulisan karena ide atau konstrksi nilai merupakan hal yang cukup signifikan dalam mempengaruhi pola konstruksi sosial masyarakat. Ketika ada suatu nilai yang disepakati, maka ide tersebut menjadi yang “benar”.

[2] Nickols, Fred. 2000. Strategy: Definitions and Meaning.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Scott, Lee. 2001. International History 1945 – 1990. Pasca perang dunia kedua banyak memunculkan kajian – kajian keilmuan baru seperti organisasi internasional dan salah satunya adalah studi strategis ini.

[7] Piliang, Yasraf Amir. 2005. Transpolitika : Dinamika Politik di Era Virtualitas.

[8] Foucault, Michel.1996. (terj.) The Order of Things: An Archeology of Human Sciences. Judul buku asli ini adalah Les Mots et Les Choses. Dalam buku ini Foucault banyak menggambarkan bagaimana lawan utama dari diskursus atau wacana adalah ortodoksi kekuatan.

[9] Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx : dari Perselisihan Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Konsepsi ini telah banyak ditulis ulang oleh penulis lain terutama kaum marxis.

[10] Susanto, Joko. 2008. Materi disampaikan pada kuliah strategi dan tata kelola strategis hubungan internasional Universitas Airlangga, 23 September 2008. Mata kuliah ini membahas mengenai postmodern sebagai sebuah strategi.

[11] Der Derian, James. 2000. Virtuos War/ Virtual Theory. Konsep virtual war ini muncul pada awalnya ketika Der Derian mengkaji fenomena perang teluk pada tahun 1990.

[12] Virilio, Paul. 1991. Lost Dimension, semiotext(e),hlm.63

[13] Op.cit, hlm.1

[14] Gahral Adian, Donny. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer.

[15] Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Penulis mengambil terminology ini dari judul tulisan Giddens. Dalam pembahasannya, Giddens menulis banyak konsekuensi termasuk posmodernitas.

[16] Op.cit

[17] Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis

[18] Lash, Scott. 2004. Sosiologi Posmodernisme.Hlm.3

[19] Ritzer, George. 2000. Teori Sosial Posmodern

[20] Castels, Manuel. 2000. The Rise of the Network Society, The Information Age: Economy, Society and Culture

[21] Op.cit

[22] Eagleton, Terry. 1985. Ideology : An Introduction

[23] Callinicos, Alex. 2008. Menolak Posmodernisme.

[24] Foucault, Michel.Discipline and Punish. Panopticon adalah istilah yang dipopulerkan Foucault untuk menjelaskan sebuah mekanisme pengawasan, yaitu relasi orang yang mengawasi dan ada yang diawasi yang dapat menimbulka kesadaran dikontrol secara terus menerus bagi yang diawasi dan cara mempertunjukkan berfungsinya kekuasaan bagi yang mengawasi. Dalam ranah keilmuan, postmodern kemudian menjadi “pengawas” bagi modernisme.

[25] Loc.cit, hlm.13

[26] Der Derian, James. 2003. ‘War as Game’

[27] Loc.cit, hlm.29

[28] Hardt, Michael and Negri, Antonio. 2000. hlm.354

[29] Strange, Susan. 1986. Casino Capitalism.


No comments: